Dark
Light
Dark
Light

Tari Sintong, Ekspresi Budaya dan Pesan Tolerasi dari Pulau Madura

Tari Sintong, Ekspresi Budaya dan Pesan Tolerasi dari Pulau Madura

Pergilah ke Sumenep. Di salah satu kabupaten di Pulau Madura itu Anda akan menemukan banyak sekali wisata sejarah dan kesenian. Di wilayah ini Anda bisa mengekplorasi kekayaan daerahnya. Mulai dari keraton bersejarah, pulau-pulau indah, hingga desa keris.

Di Sumenep kita bisa menemukan kesenian tradisional, seperti musik tong-tong dan tari Muang Sangkal. Namun, ada satu kesenian khas Sumenep yang masih jarang diketahui, yaitu tari Sintong (baca: Sintung)

Di Desa Batang, Ambunten, Sumenep, Madura tarian ini dipertahankan dan dijaga eksistensinya oleh warga setempat. Tidak hanya dilakukan orang tua, kesenian ini juga diikuti oleh anak-anak dan remaja.

Tari Sintung diambil dari kata macepta, abektah, ka settong yang berarti tari sebagai sebuah media untuk mendekatkan diri dan wujud pencerahan rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya dan Nabi Muhammad SWT.

Gerakan tari Sintung memadukan gerakan pencak silat dan gerakan salat yang merupakan refleksi dari perpaduan budaya kejawen dan nilai-nilai keislaman. 

Zaini, salah satu pelaku tari Sintong,  kepada Arina.id menjelaskan tari Sintong merupakan kesenian bernafaskan Islam yang terdiri dari unsur seni tari, seni musik, dan olah vokal.

Kata Sintong merupakan akronim dari rangkaian wang awang sintung. Wang awang mempunyai arti mengangkat kaki. Kata Sin berasal dari bahasa arab yang berarti gembira ria. Sedangkan tung merupakan kepanjangan dari kata settung (satu) artinya bahwa tarian ini mengingat Allah, mencari cara bagaimana menuju-Nya. 

Sebab itu dalam tarian diekspresikan dengan cara mengangkat kaki bergembira ria sambil melompat-lompat diiring selawat dan berzanji. Gerakan dalam seni sintung merupakan hasil modifikasi hadrah dan gambus dengan gerak yang rancak, dinamis, dan hidup. 

Tari ini diikuti oleh 20 orang, yang melambangkan sifat wajib Allah SWT seperti wujud, qidam, dan baqo. Musik yang mengiringi tari ini tidak hanya sekadar hiburan melainkan juga zikir dan pujian.

Musik Pengiring dan Maknanya 

Selain gerakan yang penuh filosofi hidup, tari Sintong juga didukung alat musik tradisional. Ada tiga alat musik utama yang mengiringnya yakni gendang, bedug atau jidur, dan kentongan yang dibuat dari buah siwalan atau buah lontar yang sudah kering. Ada dua gendang yang dipakai. Pertama, gendang korpian. Kedua, gendang wuruk.

Ketiga alat musik ini mempunyai makna bahwa untuk menuju Allah sang pengiring di kehidupan ialah, pertama Islam. Ini ditandai dengan gendang. Sementara pelengkap hidup dengan Iman. Dan untuk penyempurna keduanya diperlukan Ihsan atau berbuat kebaikan yang ditandai dengan bedug. 

“Kita hidup di dunia ini seperti orang menari berarti disimbolkan saya hidup seperti orang menari. Orang kalau tidak diiiringi saat menari pasti kurang sempurna sama halnya kita hidup di dunia ini kalau tidak ada pengiringnya tidak sempurna,” kata Zaini, akhir Oktober lalu. 

Pesan toleransi dalam Tari Sintong

Tak hanya menjadi sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Hubungan kepada sesama manusia juga ditunjukkan dalam tari Sintong. Tarian ini membawa pesan toleransi yang kuat. Pada salah satu bagian lagu pengiring, terdapat syair “insi mujinis’’ yang berarti “berterbarlah kalian semua di muka bumi wahai orang-orang yang berjenis-jenis- baik dari agama apa pun, suku, warna kulit. 

Ai  muhibban bainaka artinya saling mencintai di antara kamu. Tasykuna -kita harus ingat berseru atau berdoa. Ya hua- itu Allah, Ya Naa-Hai diriku, Ya Sultoni-penguasaku- yang dimaksud Allah SWT, ujar Zaini.

Syair ini mengajak siapa pun untuk saling mencintai, menghargai, mengingatkan bahwa keberagaman adalah anugerah yang harus disyukuri. “Ini yang harus dilakukan juga oleh para pelaku tari dalam laku hidup,” jelasnya. 

Keberagaman dan kekompakkan juga tercermin dalam setiap gerakan tarian yang dilakukan 20 penari. Contohnya di tari mohebbat, tasykuna, insi mujinis harus ada kekompakkan. Jika tidak pasti penari yang jatuh. Mereka juga harus belajar mengalah. Misalnya ada yang satunya gerak ke atas, satunya ke bawah. 

“Jadi pelajaran hidupnya bahwa ada saatnya kita harus mengalah demi terciptanya keharmonisan bersama,” ucap Zaini.

Kesenian Sintong biasanya digelar pada malam hari dengan durasi selama 6 jam. Biasanya, pementasan Sintong ini memiliki fungsi sebagai media dakwah yang ditampilkan di beberapa acara, seperti pernikahan, penyambutan jemaah haji, acara petik laut atau dalam acara besar Islam.

Kesenian Sintong sempat vakum 20 tahun namun kembali digandrungi saat mendiang Kiai Zamiel El-Muttaqien meminta tari Sintong ditampilkan lagi pada penyambutan Presiden RI Joko Widodo di Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep pada momen Hari Perdamaian Internasional, 2017 silam.

“Waktu itu ada kunjungan Jokowi ke Annuqayah, pas pada momen Hari Perdamaian Internasional 2017 itu. Nah, ketika itu Mbah Miming berinisiatif supaya Sintung hidup kembali. Beliaulah yang mencetuskan Sintung pertama kali,” ujar salah satu pelopor Sintong asal Kecer, Dasuk, Faiqul Khair.

Penampilan Sintong saat itu menyedot perhatian masyarakat, termasuk Presiden Jokowi, dan sekian tamu yang hadir saat itu. Selepas acara itu Kiai Miming meminta agar Sintung terus dilestarikan.

Di era digital, tari Sintong semakin dikenal luas. Berkat media sosial dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat. Di beberapa desa rutin menggelar latihan setiap Kamis malam, diikuti banyak anak muda dari desa tersebut dan sekitarnya. 

“Ini cara mengenalkan warisan budaya asli Madura kepada anak-anak muda sekaligus dakwah kepada masyarakat luas bahwa tari Sintong tak lebih dari sekadar tarian tapi berisi pelajaran hidup,” katanya.

Dalam buku “Berkenalan dengan Kesenian Tradisi Madura” (2004) karangan Lilik Rosida Irmawati, disebutkan, kesenian Sintung ini berasal dari Asia Tengah, yaitu semenanjung Arabia. Kesenian ini dibawa oleh para pedagang Gujarat (India), bersamaan dengan misi mereka yaitu menyebarkan agama Islam. Dari arah Sumatera, tepatnya Aceh, perjalanan kesenian ini terus menuju ke arah timur pulau Jawa, dan akhirnya sampai ke dataran pulau Madura.

Menurut Lilik, kesenian ini diperkirakan setua pesantren di kampung Parongpong, Kecamatan Rubaru. Pesantren ini diperkirakan berdiri sekitar abad XVIII. Di pesantren Parongpong, Kecamatan Rubaru inilah kesenian Sintung diajarkan kepada para santri. Di antara para santri tersebut ada yang berasal dari Desa Tambaagung Barat, yang secara kebetulan mempunyai hubungan kekerabatan.


Editor: Fajar WH
Home 2 Banner

Mozaik Lainnya

Home 1 Banner