Mbah Surip “hidup” lagi. Pagi itu, Jumat 27 September 2024, Varid Dwi Wahyu Peristiawan, 41 tahun, tampil dengan rambut gimbalnya plus kupluk besar khas Jamaika, dan jari-jemarinya dipenuhi cincin batu. Penampilannya memang tak ubahnya dengan ayahnya -- penyanyi terkenal di era akhir 2000-an, Mbah Surip.
Pada 2008, boleh dibilang hampir semua orang di negeri ini mengenal Mbah Surip yang memiliki nama lengkap Urip Achmad Rijanto. Lagunya, “Tak Gendong” dinyanyikan dengan irama reggae disukai hampir semua orang.
Liriknya yang simpel dan lucu membuat banyak orang yang menyukainya. Tak heran, jika lagu ini meroket dan masuk jajaran top hits di antara band anak muda dengan profit nada panggil atau ring back tone yang menembus angka Rp 9 miliar.
Tak lama berselang, lagu lainnya “Bangun Tidur” dan “I Love You Full” juga meledak. Lagi-lagi kekuatan lirik yang jenaka dan gaya bernyanyi Mbah Surip -- jangan lupakan juga tawanya yang khas di sela lagu, membuat orang jatuh hati.
Popularitas yang tentu saja tidak jatuh dari langit. Mbah Surip melakoninya dengan sebuah perjalanan panjang dan juga totalitas dalam berkarya. Akibatnya, keempat anaknya jarang bertemu dengan sang ayah.
“Dulu, saya sempat membencinya karena Bapak jarang ada di rumah. Tapi setelah melihat bagaimana totalitas beliau dalam berkarya, saya mulai mengerti bahwa itu adalah bentuk pengorbanan,” ujar Varid.
Sayang, masa keemasan Mbah Surip tak berlangsung lama. Perjalanan dari panggung ke panggung, yang tak pernah sepi, membuat dia keletihan. Hingga akhirnya, dia wafat pada 4 Agustus 2009 dalam usia 60 tahun. Panggung hiburan pun mendadak kehilangan salah satu bintangnya.
Varid – yang merupakan anak lelaki satu-satunya dari Mbah Surip tak lantas tinggal diam. Baginya kepergian sang ayah tentu menyedihkan. Namun, dia memiliki tugas untuk meneruskan peninggalan Mbah Surip.
“Ada sekitar 200 lagu warisan dari Bapak. Ada lagu yang idealis judulnya ‘Indonesia Satu’ yang biasanya saya bawakan saat manggung,” kata Varid ditemui dikediamannya di Kranggan, Jatisampurna, Kota Bekasi. “Kalau lagu ‘Tak Gendong’ itu sih wajib, karena orang pasti tahu itu.”
Bakat seni dari sang ayah menurun padanya. Varid tumbuh di lingkungan seni yang kental. Di masa remajanya, ia aktif bermain musik bersama pemuda Karang Taruna di tempat tinggalnya, Mojokerto, Jawa Timur.
Kecintaannya pada musik tidak pernah surut, meski pernah menjajal berbagai profesi. Salah satunya bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Namun ia selalu membawa gitar sebagai teman setianya. Setiap malam ia akan meluangkan waktu bermain musik bersama teman-temannya di warung kopi.
Dengan memakai nama Putra Mbah Surip, pada 2015 – Varid pernah merilis lagu-lagu sang ayah dalam sebuah album “Jus Melon”. Tak berhenti di situ, Varid berkelana dengan musiknya. Dari panggung ke panggung dan juga berbagai komunitas. Satu di antaranya, Komunitas Musisi Jalanan Center (MJC) di Jakarta.
Dari sana pula, dia mengenal dunia yang menarik hatinya. Setelah beberapa kali mengisi acara di berbagai pesantren, dia pun bertemu dengan para kiai. “Ketemu kiai, tabaruk. Dulu saya hanya anak band yang kerjanya menyanyi pulang harus dapat duit. Tahunya cuma itu saja,” celoteh Varid.
Ia mengaku banyak belajar perilaku dari tiap tokoh yang ditemuinya. “Saya banyak belajar dari pesantren. Misalnya di Yogyakarta, saya melihat Kiai Muwafiq di tengah kesibukannya masih bisa main musik dan menghayati lagunya,” ujarnya.
Varid juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, seperti Barisan Ansor Serbaguna (Banser)—badan semi otonom dari Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Yayasan Orang Indonesia atau OI yang didirikan Iwan Fals.
Menjaga Legasi Mbah Surip
Varid menjalani hidup dengan terus berkarya sembari mengenang ajaran-ajaran Mbah Surip, ayahnya. Baginya, Mbah Surip tidak semata meninggalkan karya-karya tapi juga filosofi hidup yang harus dijaganya.
Bagi dia, seni adalah tentang perilaku dan tindakan, bukan sekadar kata-kata. Dalam setiap karyanya, belajar pada Mbah Surip, Varid berusaha untuk tetap mengedepankan nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan kebersamaan.
“Bapak banyak mengajarkan seni, Seperti enggak boleh songong sama operator, ngomong di panggung jangan ditekan, sering bergaul dengan seniman tanpa pilih-pilih,” kata dia.
Selain meneruskan warisan musik Mbah Surip, Varid juga memanfaatkan musik sebagai sarana dakwah. Baginya, musik bukan sekadar hiburan, melainkan medium untuk menyampaikan pesan-pesan positif, termasuk soal keberagaman dan toleransi.
Ia mencontohkan pengalamannya saat bersahabat dengan anak-anak non-Muslim di masa remajanya. Dalam kebersamaan itu, Varid tidak hanya belajar menghargai perbedaan, tetapi juga menjadikan musik sebagai jembatan untuk menyatukan berbagai latar belakang yang berbeda.
Pengalaman-pengalaman ini membuat Varid menyadari betapa pentingnya menjaga perilaku dalam merawat keberagaman. Baginya, toleransi bukan hanya tentang saling menghormati agama atau suku, tetapi juga tentang memahami cara berkomunikasi yang tepat di setiap konteks budaya. “Jika saling memahami kita pasti tidak mudah nge-judge orang,” imbuhnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Varid berusaha menanamkan nilai toleransi kepada keluarganya. Ia mengajarkan anak-anaknya untuk tidak membeda-bedakan teman berdasarkan agama, suku, atau warna kulit. Baginya, toleransi harus dimulai dari hal-hal kecil, dan contoh nyata di lingkungan keluarga.
“Toleransi dimulai dari hal sederhana. Perilaku dijaga paling penting saya menerapkan kepada keluarga dahulu sebelum saya nasehati orang lain. Saya harus paksa syiar itu,” katanya.
Semua itu, semata dilakukan untuk meneruskan keteladanan, sang ayah: Mbah Surip.
Liputan ini terbit atas kerja sama Arina.id dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama.