Demokrasi itu berat. Kita mengetahui berat tak sekadar bobot. Di Indonesia, demokrasi itu diwujudkan dengan sekian ton kertas. Berat! Kita tak pernah mengetahui ketepatan berat kertas saat digunakan dalam hajatan demokrasi di seantero Indonesia, 27 November 2024. Kertas-kertas dalam kerja demokrasi untuk kemunculan gubernur, wali kota, dan bupati.
Para pendamba jabatan itu bersaing untuk menang. Mereka berhak mengatakan “lawan” atau “pesaing” itu “berat”. Kita mengartikan “berat” berurusan kecerdasan, ketampanan, kegagahan, kesopanan, kewibawaan, dan keanggunan. Mereka tak boleh “mengentengkan” atau “meremehkan” pesaing. Para pengamat ikut menggunakan sebutan “berat” jika menjelaskan situasi di Jakarta dan Jawa Tengah. Konon, dua tempat itu memang “berat” dalam pembuktian demokrasi.
Kita ingin berpikiran berat itu kertas saja. Sekian bulan lalu, kebutuhan kertas dalam selebrasi demokrasi memilih presiden, DPR, dan DPD sekian ton. Kertas-kertas tak dibiarkan kosong. Di situ, ada foto, logo, kata, dan angka. Kertas-kertas dalam demokrasi telah menghasilkan pemenang. Ribuan orang berhasil menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Pemenang terpenting tentu Prabowo-Gibran. Mereka menang dengan lakon kertas. Kini, kita tak mengetahui nasib kertas-kertas pernah membuat Indonesia tegang dan ruwet.
Selebrasi (kertas) demokrasi masih berlanjut. Kita memastikan bobot (ton) kertas berbeda dengan bobot peristiwa 14 Februari 2024. Ingatan-ingatan tentang kertas sekian bulan silam mulai merapuh. Kita memilih “lupa” ketimbang hidup tambah “tersiksa” dan “sia-sia”. Semua sudah berlalu. Kita berpikiran sekian kertas masih tersimpan agar kelak masuk daftar koleksi jika terjadi pendirian museum demokrasi di Indonesia.
Kertas itu tersaji untuk para pemilih melalui rapat-rapat dan pembuatan pelbagai keputusan. Kertas-kertas tampak terhormat setelah diurusi oleh perusahaan-perusahaan percetakan. Lembaran-lembaran kertas memerlukan ribuan orang untuk kerja melipat. Kesibukan demokrasi dalam kertas. Anggaran besar digelontorkan demi pemaknaan kertas dalam selebrasi demokrasi.
Kertas dalam demokrasi berbeda dengan penglihatan kita terhadap kertas dalam buku pelajaran, koran, tiket, kwitansi, dan lain-lain. Kertas demokrasi mendapat pengakuan dan perlindungan agar tak digunakan sembarangan. Perintah pemusnahan kadang terjadi bila ada kerusakan. Kita belum perlu menangis mengetahui pemusnahan kertas. Tindakan demi mutu demokrasi. Kertas itu dianggap representasi suara diberikan warga. Sebutan mentereng meski agak membingungkan: “kertas suara”.
Pada awal abad XX, kertas memang suara. Kita membuka lembaran sejarah. Dulu, kaum politik dan terpelajar rajin menulis artikel dimuat dalam beragam surat kabar. Mereka mengungkapkan pendapat-pendapat. Pada masa kolonial, tulisn di kertas itu “suara” berhak menuntut, protes, menghina, atau menghasut. Penilaian berdasarkan undang-undang (kolonial), etika publik, atau iman. Kertas dan suara dalam jalinan erat menggerakkan tanah jajajahn. Di kertas, tulisan-tulisan dalam beragam bahasa dibaca orang-orang di pelbagai tempat. Kewajaran jalinan dan makna itu menguat dengan penamaan surat kabar menggunakan istilah “soeara”, “swara”, atau “suara”. Ingatan silam atas kertas dan suara mengandung benih dan semaian demokrasi. Kita belum mengartikan demokrasi itu memilih presiden, DPR, DPD, gubernur, bupati, atau wali kota.
Kertas-kertas berperan “suara” dari masa lalu itu tak semua musnah. Sekian kertas masih tersimpah di perpustakaan, museum, rumah kolektor, dan pasar buku bekas. Kertas-kertas mudah rusak dalam arus waktu. Kertas-kertas itu fana tapi sempat berperan besar dalam pembentukan dan pengisahan Indonesia. Masa lalu kadang memberi ingatan “puitis” saat kertas-kertas memberi keajaiban, keonaran, dan kemuliaan.
Masa lalu itu masih kertas. Pada 2024, kita berpikiran lagi kertas. Orang-orang mau menjadi pemilih dipastikan bergaul dengan kertas: undangan, poster, dan surat suara. Demokrasi itu kertas. Di keseharian, orang-orang hidup dengan gawai berakibat abai dan meremehkan kertas. Di lakon demokrasi, kertas itu “wajib” demi perwujudan jujur dan adil.
Pada saat kertas-kertas beredar di seantero Indonesia dibawa dengan beragam alat transportasi dan perlindungan “bersenjata”, kita mengikuti berita-berita dan gosip demokrasi melalui televisi dan gawai. Kita dalam situasi (terlalu) berbeda dalam memastikan demokrasi bakal serapuh dan sefana kertas atau tampil dalam kemutakhiran digital.
Demokrasi tak membiarkan kertas mutlak mulut. Lipatan kertas dianjurkan dibuka untuk “dipelajari” sebelum orang memilih. Kertas bakal “rusak”. Kita hidup dalam seruan “coblos”. Benda tajam bakal menjadikan kertas itu berlubang. Kita agak meragu bila menganggap itu “rusak”. Coblosan benar mengartikan suara untuk dihitung dalam penentuan kemenangan. Kertas dianggap rusak jika tak sesuai ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Rusak menghendaki pemusnahan. Kertas-kertas dicoblos dianggap benar dan bukti amalan demokrasi dihitung dan “disimpan” demi mutu demokrasi. Kertas-kertas dalam perjalanan jauh, pemberlakuan aturan, dan pemaknaan rawan perdebatan.
Kita memikirkan lagi: demokrasi itu ton. Selebrasi (kertas) demokrasi itu ton. Kertas-kertas di hadapan jutaan orang. Kertas dalam bilik itu rahasia. Kertas dalam kotak itu ketentuan. Kertas dipegang dan diperlihatkan itu peristiwa menghitung suara. Kini, Indonesia sedang berpesta (kertas) demokrasi meski tak abadi. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah