Dark
Light
Dark
Light

Penguasa yang Memikirkan Matematika

Penguasa yang Memikirkan Matematika

Matematika itu urusan besar negara. Pada hari-hari awal berkuasa, Prabowo Subianto berpikiran matematika. Semula, ia menginginkan Indonesia maju dan terhormat dalam sains dan teknologi. Di situ, ada matematika. Di pidato menggebu, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto belum memberi diksi matematika. Pada 22 Oktober 2024, ia menghendaki matematika menentukan kemuliaan Indonesia. Ia pun mengusulkan agar matematika sudah dikenalkan kepada anak-anak di TK. 

Anak-anak itu bermain dan belajar. Kita mengira anak-anak bakal diajak bermain matematika, sebelum belajar matematika. Di majalah Femina, 4 Mei 1995, kita membaca penjelasan Kak Seto, pendiri dan pendidik di TK Mutiara: “… telah memperkenalkan anak-anak didiknya mengenai angka, huruf, dan berhitung. Usaha yang didukung oleh teori Glenn Domman itu dinilainya berhasil… Bahkan, Seto melihat matematika sederhana dapat diperkenalkan bukan hanya pada anak-anak usia TK tapi juga anak di kelompok bermain.” Keinginan Prabowo bukan mendadak. Pada masa lalu, ada TK sudah mengadakan pengajaran matematika. 

Kita ikut kepikiran masalah penguasa dan matematika. Dulu, Soekarno saat masih muda dan getol berpolitik sempat diminta mengajar matematika di Bandung. Ia mengaku lemah dalam matematika. Pada saat mengajar, Soekarno justru berbagi cerita untuk rangsang sejarah dan seruan-seruan nasionalisme. Ia tak seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, atau Sutan Sjahrir. Ilmu-ilmu dipelajari saat studi teknik di Bandung belum mampu membuat Soekarno bergairah matematika. Ia tak menjadikan matematika dalam menggerakkan ide-ide Indonesia. 

Pada saat berkuasa, Soekarno memang berseru sains dan teknologi. Kita mengingat matematika itu mata pelajaran di sekolah. Matematika bermisi pendidikan mungkin dibutuhkan dalam arus revolusi. Matematika dipastikan penting meski tak ada pidato khusus atau pembuatan kebijakan menghasilkan kecerdaasan matematika bagi jutaan orang di seantero Indonesia. 

Masa lalu Indonesia mengandung matematika. Kita membaca amanat Soekarno dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I (1958) di Malang: “Manakala ilmu pengetahuan tidak mengadakan heroientasi, maka ilmu pengetahuan menjadi beku. Maka, ilmu pengetahuan menjadi mandek. Maka, ilmu pengetahuan menjadi bangkai jang mungkin tjantik rupanja, tetapi tak berisi didalamnja… Pengalaman daripada revolusi kita 13 tahun ini membawa kita kedalam satu kesimpulan bahwa sampai sekarang kurang kita bawa ilmu pengetahuan itu didalam usaha revolusi kita. Artinja, didalam usaha untuk menjelenggarakan apa jang hendak ditjapai dengan revolusi kita, jaitu sebagai tudjuan jang achir, suatu masjarakat jang adil dan makmur.” 

Kongres itu dihadiri para ilmuwan, termasuk para ahli matematika. Mereka saling urun pendapat dan menentukan laju pengajaran ilmu-pengetahuan dilanjutkan penelitian-penelitian ilmiah di Indonesia. Prijono selaku Menteri Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan memberi pesan dalam kongres: “Tiap negara jang tidak ingin disebut terbelakang berusaha untuk mempertinggi kehidupan dengan menggunakan segala tjabang ilmu pengetahuan jang dapat didjangkaunja. Kita mengetahui bahwa sesudah Perang Dunia II, negara-negara besar mengeluarkan beribu-ribu djuta dollar untuk research dilapangan ilmu pengetahuan. Negara kita pun berusaha untuk mempertinggi dan memperkenalkan kesedjahteraan-kemakmuran rakjat kita dengan mempergiat usaha-usahanja dilapangan keilmuan.” Matematika tentu turut dipentingkan. 

Pada masa kekuasaan Soeharto, matematika makin penting. Konon, kepintaran anak atau remaja ditentukan penguasaan dalam matematika. Di kampung, orang-orang mudah menandai anak dan remaja pintar matematika bakal memiliki masa depan cerah. Negara menginginkan kaum pintar matematika demi memajukan Indonesia atau mengikuti perintah-perintah atas nama pembangunan nasional. Anak dan remaja kadang tak cukup belajar di sekolah. Mereka mengikuti les atau bimbingan belajar agar makin mumpuni matematika. Pesona matematika makin membesar saat murid-murid di Indonesia mengetahui BJ Habibie menjadi menteri memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa Orde Baru. Matematika makin penting di Indonesia. Pada masa setelah kejatuhan Soeharto (1998), Habibie tampil sebagai presiden: memberi pembuktian jika orang pintar matematika berhak menjadi penguasa.  

Selama 30-an tahun, Soeharto berkuasa tapi bukan panutan bagi anak dan remaja menggemari matematika. Soeharto tetap berpengaruh dalam laju pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Konon, kurikulum selalu ditentukan kekuasaan. Di Indonesia, pemberlakuan kurikulum, sejak 1970-an, memberi kemuliaan untuk beragam mata pelajaran, terutama matematika.

Di majalah Tempo, 1 Februari 1975, kita diajak mengikuti perkembangan ilmu matematika dan ikhtiar menerapkan di Indonesia. Judul membikin penasaran: “Matematika Baru Salah?” Di sampul majalah, kita pelbagai angka dan simbol mengingatkan matematika. 

Kita bertemu kolom dibuat oleh pakar matematika Andi Hakim Nasution. Khotbah penting berlatar Orde Baru: “Matematika perlu diketahui dan diresapi oleh segenap lapisan masyarakat sebagai alat berpikir dalam menentukan tindakan apa yang akan dipilih dari suatu gugus tindakan-tindakan yang mungkin dibuat. Maka, kita harus mengusahakan aga sedikit-sedikitnya manusia Indonesia muda yang benci terhadap matematika, sehingga sebanyak-banyaknya manusia Indonesia masa depan akhirnya mampu bertindak menghadapi tantangan lingkungan yang semakin lama semakin sulit ini, dengan cara-cara yang lebih efisien melalui penggunaan pemikiran matematika.” 

 

Andi Hakim Nasution tak pernah menjadi menteri atau presiden. Khotbah itu penting tapi biasa ditanggapi sinis dan murung oleh jutaan murid Indonesia mengaku dipusingkan matematika. Murid-murid di SD, SMP, dan SMA sering takut dan bingung saat mengikuti pelajaran matematika. Ujian matematika makin membuat mereka sewot, bergetar, dan menderita. Indonesia tetap memiliki murid-murid gandrung atau ketagihan matematika. Mereka menentukan nasib dan membentuk masa depan dipengaruhi matematika tanpa mengabaikan beragam mata pelajaran.

Cerita tentang pengajaran matematika di Indonesia memberi girang, prihatin, bahagia, lesu, dan unik dapat kita baca dalam novel berjudul Guru Aini (2020) gubahan Andrea Hirata. Novel bertokoh guru matematika dengan misi-misi mulia. Pengakuan mengharukan saat Desi memberi jawab berkaitan hasrat menjadi guru matematika: “Sejak berjumpa dengan Bu Guru Marlis, kelas 3 SD dulu, aku sudah ingin menjadi guru matematika, Bu. Itulah harapan terbesar dalam hatiku karena aku selalu merasa: menjadi guru matematika adalah alasan mengapa di dunia ini, aku ada.”  

Perbincangan dan perbantahan tejadi gara-gara keinginan mengabdi sebagai guru matematika. Si tokoh itu heroik saat berani melakoni hidup bila ditempatkan di daerah terpencil. “Indonesia perlu guru matematika,” jawaban mengandung kesungguhan dan ketulusan. Ia ingin memajukan pendidikan Indonesia. Ia ingin Indonesia bermatematika.

Ia berpihak kebijakan-kebijakan pemerintah. Keinginan turut dalam pemajuan pendidikan matematika. Kesadaran justru mendapat bantahan-bantahan keluarga dan teman-teman: “Negeri ini kekurangan guru matematika, terutama di kampung-kampung.” Kita mengingat lagi keinginan Prabowo Subianto mementingkan matematika untuk Indonesia. Perintah itu diterjemahkan oleh menteri dengan rencana membuat kebijakan “mendidik” dan “memajukan” guru-guru matematika di seantero Indonesia, sebelum berperan besar mengajak jutaan murid menggemari matematika. Indonesia bakal semringah. Begitu.  
 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Home 2 Banner

Mozaik Lainnya

Home 1 Banner