Ada sebuah pulau yang tak pernah mengalami kekeringan. Tanahnya subur dan makmur. Di pulau itu, hiduplah seekor sapi yang selalu bertambah gemuk dan sehat setiap harinya. Ia selalu menyantap rerumputan berlimpah. Sepanjang hari, ia menjelajahi padang rumput yang subur dan terus makan tanpa jeda sampai sore. Namun kini, entah karena apa, setelah hari mulai gelap dan rerumputan hijau tidak lagi terlihat, si sapi dihantui perasaan resah.
"Apa yang akan kumakan besok?" keluhnya. "Apakah akan ada makanan untuk kusantap lagi?"
Kecemasan menguasainya dari hari ke hari hingga tubuhnya mengurus. Setiap malam, si sapi kehilangan semua berat badan yang ia dapatkan pada hari sebelumnya karena mencemaskan persediaan makanan hari berikutnya. Pada pagi hari, tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, kurus dan tidak terawat. Dia hampir tidak bisa berjalan lurus karena kehilangan kekuatan dan merasa bahwa ini adalah hari terakhir hidupnya.
Saat matahari mulai bersinar dan kehijauan kembali terlihat, si sapi tidak bisa menahan kegembiraannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia menggasak rerumputan yang terus tumbuh sepanjang malam, dan menyantapnya seolah dia mengalami kelaparan selama bertahun-tahun.
Sehabis makan, berat badannya yang hilang pada malam hari kembali lagi dan segera saja tubuhnya segemuk dan sekuat hari sebelumnya.
Siklus ini berulang terus-menerus; si sapi resah sepanjang malam dan berat badannya turun, dan keesokan harinya, ketika melihat rumput, dia makan dan badannya kembali berisi.
Cerita itu merupakan potongan kisah dalam buku Kumpulan Cerita dan Fabel (2021) karangan Jalaludin Rumi. Gambaran yang mewakili kondisi jutaan orang yang hidup di muka bumi; mengkhawatirkan hari esok, meski sedang hidup di hari ini.
Mula-mula, semasa anak-anak, khawatir itu tidak ada. Kita selalu optimis menyambut terbitnya matahari. Pandangan kita soal esok hari adalah kebahagiaan, tawa, petualangan, dan cerita baru. Akan tetapi, setelah memasuki masa dewasa, semuanya berubah. Khawatir hadir menjadi penghuni baru dalam hidup.
Hari-hari yang kita lewati mulai dihantui rasa cemas, takut, dan bingung soal masa depan. Segunung pertanyaan memenuhi kepala: Apakah saya akan lulus dengan nilai yang tinggi? Apakah saya akan memperoleh pekerjaan? Apakah hidup saya akan baik-baik saja? Apakah saya akan mendapatkan jodoh? Apakah saya bisa mencukupi kebutuhan anak-anak kelak? Apakah setelah mati saya akan masuk surga? Disusul dengan ribuan pertanyaan lain.
Tak banyak hal yang semendua sikap kita terhadap rasa khawatir. Di satu sisi, khawatir bisa menjadi motivasi, pengingat diri, penyangga emosional, pemecah masalah, dan memperdalam pemikiran analis. Akan tetapi, di sisi lain, ketika tidak mampu mengontrolnya, khawatir bisa mendorong kita pada rasa depresi, gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, dan gangguan masalah kesehatan lainnya. Lalu, bagaimana caranya menyikapi rasa khawatir ?
Film Inside Out (2015) garapan Pete Docter dan Inside Out 2 (2024) disutradarai Kelsey Mann bisa menjadi salah satu sumber jawaban. Film itu mengisahkan persoalan beragam emosi dalam diri. Cerita yang dihadirkan mengingatkan manusia akan pentingnya memahami dan menerima setiap emosi yang muncul di berbagai fase kehidupan, termasuk rasa sedih dan khawatir.
Inside Out 2 adalah sekuel dari film animasi Inside Out yang melanjutkan petualangan Riley, seorang anak yang mulai memasuki fase remaja. Peralihan itu memunculkan beragam emosi baru yang lebih kompleks. Dalam film itu, emosi baru seperti kecemasan dan kebingungan diperkenalkan.
Emosi-emosi tersebut menambah keragaman cara Riley memahami dan menanggapi peristiwa dalam hidupnya. Film menghadirkan gambaran perkembangan psikologis anak yang beranjak dewasa. Kita bisa lebih paham, proses tumbuhnya beragam emosi dan cara untuk menyikapinya; diterima bukan disangkal.
Selain proses penerimaan, kesadaran untuk memisahkan hal-hal yang berada dalam kendali diri dan di luar kendali diri (dikotomi kendali) juga sangat penting. Misalnya, muncul perasaan khawatir soal pekerjaan. Kita tidak bisa memastikan apakah kelak akan mendapatkan pekerjaan yang bagus atau tidak. Tapi, kita punya kendali untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan goals tersebut.
Sebelum sampai pada waktunya untuk bekerja, kita bisa berusaha dengan giat memperdalam skill dalam suatu bidang dan memupuk sikap tanggung jawab, komitmen, kejujuran, dan kreativitas dalam diri. Usaha itu secara tidak langsung akan membawa kita pada tujuan yang kita harapkan.
Ada sebuah kisah menarik dalam buku berjudul Ma Yan (2009) gubahan Sanie B. Kuncoro yang menggambarkan maksud dikotomi kendali. Novel itu menceritakan kisah nyata perjalanan hidup seorang gadis muda di pedesaan Tiongkok yang amat miskin. Gadis itu berjuang dalam kesulitan ekonomi untuk tetap mengenyam pendidikan.
Dikisahkan, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, ia harus menahan lapar selama lima belas hari hanya untuk membeli sebatang pena. Tak jarang, ia juga harus berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya untuk menghemat ongkos. Semua itu ia lakukan demi perjuangannya untuk bersekolah.
Secara logika, mungkin akan sangat kecil peluang Ma Yan untuk bisa keluar dari lingkaran kebodohan dan kemiskinan yang membelenggu keluarga dan desanya. Bukan hanya fasilitas yang minim, akses transportasi untuk sampai ke desa Ma Yan juga amat sulit. Sangat jarang ditemui pendatang yang singgah.
Dalam situasi tersebut, Ma Yan bisa memenuhi kepalanya dengan sejuta rasa khawatir. Tetapi, yang dilakukannya justru tetap berjuang. Ia terus melakukan hal-hal yang sanggup ia lakukan semaksimal mungkin. Ia sadar, hal-hal yang berada di dalam kendalinya adalah terus belajar dengan sungguh-sungguh. Soal apakah kelak ia akan berhasil atau tidak, itu berada di luar kuasanya.
Pada akhirnya, perjuangan keras Ma Yan untuk bersekolah membuahkan hasil. Setelah menuliskan pergulatan hidupnya dalam buku harian, catatan tersebut sampai ke tangan seorang jurnalis Prancis yang tergerak untuk membantunya.
Kisah hidup Ma Yan kemudian menyebar ke dunia internasional, menarik perhatian banyak orang untuk memberikan dukungan agar Ma Yan dan anak-anak lain di desanya bisa melanjutkan pendidikan dengan layak.
Belakangan, kita menjadi paham bahwa perasaan khawatir yang muncul bukan untuk disangkal apalagi dihilangkan. Rasa itu membuat kita lebih peka dan cermat menjalani hidup. Yang perlu kita lakukan, adalah pengelolaan yang tepat, agar hidup kita tidak seperti sapi yang selalu cemas dengan rumputnya hingga akhir hayat.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.