Anak manusia dirawat kera dalam hutan belantara. Cerita itu dikisahkan dalam film Tarzan (1999) disutradarai Chris Buck. Lalu dalam novel Anak Rusa Mencari Tuhan (2024) juga diceritakan seorang anak manusia hidup dalam asuhan seekor rusa di sebuah pulau. Kisah-kisah itu dirayakan dan disambut decak kagum, meski kecil kemungkinan benar-benar terjadi.
Pengasuhan anak oleh hewan dianggap menyenangkan bahkan terasa tidak tabu untuk dibayangkan. Tapi anehnya, ketika anak diasuh oleh manusia, spesifik “ayah”, maka akan terdengar janggal. Ramai-ramai orang akan mengatakan bahwa itu adalah tugas perempuan bukan laki-laki. Merawat anak dianggap keperempuan-perempuanan sehingga tidak cocok dengan laki-laki yang dicitrakan maskulin.
Konon, akibat dari keyakinan itu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah fatherless sangat besar. Fatherless adalah kondisi ketika anak kehilangan peran ayah baik secara fisik maupun psikologis. Yang dimaksudkan ada kehilangan peran ayah baik dalam kehidupan maupun pengasuhan.
Dampak fatherless bagi anak sangat berbahaya, di antaranya rendahnya penghargaan atas diri sendiri, merasa minder, merasa takut dan cemas, merasa tidak aman, memiliki hubungan yang rumit dengan pasangan, masalah kejiwaan, dan berpotensi melakukan kejahatan atau kenakalan remaja.
Salah satu faktor penyebab terjadinya fatherless adalah budaya patriarki yang masih melekat di Indonesia. Budaya itu meyakinkan masyarakat bahwa laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik sementara urusan domestik yang didalamnya menyangkut pengasuhan anak merupakan tanggung jawab perempuan.
Pengasuhan anak semestinya bisa dilakukan baik oleh ibu maupun ayah. Asumsi yang menyatakan pengasuhan bukan tugas laki-laki adalah konstruk gender yang amat bias. Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1996) menjelaskan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Konstruksi itu sebenarnya bersifat dinamis dan bisa diubah menyesuaikan konteksualitas budaya dan waktu. Namun, karena masih banyak pemahaman yang menganggap gender adalah kodrat maka stereotip soal pengasuhan masih tetap dipertahankan hingga saat ini, yaitu merawat anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki.
Padahal, peran ayah sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan anak. Pengasuhan tidak menuntut laki-laki menghilangkan sisi maskulin atau aktivitas publik yang dijalani. Mengasuh dan bekerja dapat dilakukan bersamaan. Hal serupa banyak terjadi dalam keluarga yang sudah menerapkan parenting seimbang. Salah satunya dikisahkan dalam buku Apa yang Diajarkan oleh Anak Kita (2002) gubahan Piero Ferrucci.
Buku itu mengisahkan pengalaman Ferucci dalam mengasuh Emilio, putra sulungnya. Ferucci adalah seorang psikolog yang bekerja di ruang publik. Aktivitasnya itu sama sekali tidak menghambatnya untuk juga memenuhi peran ayah dalam hidup anaknya. Bahkan, dalam bukunya itu ia menuliskan beragam pembelajaran baru yang dia dapatkan dari proses interaksinya bersama Emilio.
Upaya menghentikan masalah fatherless dalam kehidupan anak juga bisa kita temukan dalam buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (2023) gubahan Luis Sepulveda. Novel itu berkisah mengenai seekor kucing jantan bernama Zorbas yang harus merawat bayi camar karena sudah berjanji pada sang induk.
Zorbas ditampilkan sebagai sosok yang amat berani, agresif, rasional, dan kuat. Hal itu digambarkan saat ia melawan para kucing berandalan yang mencoba mengganggunya tanpa rasa takut sedikitpun. Lalu, dalam adegan ketika bernegosiasi dengan pemimpin tikus, lagi-lagi penulis menggambarkan Zorbas dengan sangat maskulin.
Di tengah karakter maskulin yang dibangun oleh penulis, Zorbas digambarkan juga amat penyayang dan pengasih pada anak asuhnya, seekor camar bernama Fortuna. Ia mampu menjadi sosok ayah yang hadir secara fisik maupun psikologis. Kemaskulinan Zorbas tidak lantas menjadikan ia sebagai sosok dengan hati dan tangan serupa besi.
Awalnya, tentu Zorbas merasa tidak mengetahui bagaimana cara merawat anak, ia merasa akan gagal dan tidak memiliki kemampuan untuk itu. Namun lewat proses belajar bersama beberapa kucing jantan lainnya, ia bisa menjadi sosok ayah ideal. Zorbas tidak hanya memenuhi kebutuhan Fortuna secara fisik tetapi juga batin, salah satunya melalui kalimat-kalimat yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Dalam salah satu kutipan, Zorbas berujar: “Kami semua menyayangimu Fortuna. Dan kami menyayangimu karena kau seekor camar, seekor camar yang cantik…Kami melindungimu dari sejak saat kau menetas. Kami mencurahkan semua kasih sayang kami tanpa pernah berpikir untuk menjadikanmu kucing. Kami mencintaimu sebagai camar. Kami merasa kau juga mencintai kami, bahwa kami temanmu, keluargamu, dan kami ingin kau tahu bahwa bersamamu kami belajar sesuatu yang membuat kami sangat bangga.”
Julia I Suryakusuma dalam tulisan bertajuk Konstruksi Sosial Seksualitas yang diterbitkan majalah Prisma edisi Juli 1991, mengungkapkan bahwa ada asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa sifat tertentu diasosiasikan dengan feminitas, dan yang lain dengan maskulinitas.
Yang tergolong “feminin” misalnya kepekaan perasaan, kesabaran, kelembutan, irrasional, kesetiaan, sifat mengalah, dan lemah. sedang yang “maskulin” diidentikan dengan keberanian, agresivitas, sifat dominan, rasionalitas, ketidaksetiaan, dan kekuatan. Ada kecenderungan mengasosiasikan sifat feminin pada perempuan dan sifat maskulin pada laki-laki.
Asosiasi tersebut sangat tidak tepat, karena semua sifat itu bisa terdapat pada semua manusia. Seorang laki-laki bisa sangat maskulin sekaligus feminin, pun sebaliknya. Membatasi perilaku dan perkembangan individu justru hanya akan memenjarakan dalam suatu peran sosial yang ditentukan dari luar. Salah satu contohnya pada peran pengasuhan yang sering dilekatkan hanya pada perempuan.
Kehadiran buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (2023) menjadi angin segar untuk mematahkan anggapan mengenai peran pengasuhan dan konstruksi sosial mengenai yang feminin dan maskulin. Zorbas menjadi sosok yang merepresentasikan kombinasi dari keduanya. Di satu sisi ia bisa menjadi maskulin di sisi lainnya amat feminin.
Pendidikan anak tentu menjadi tanggung jawab tidak hanya bagi sang ibu tetapi juga ayah. Bahkan, dalam kultur budaya Timur anak juga kerap memperoleh pendidikan dari masyarakat sekitar misalnya tetangga atau keluarga terdekat. Pembatasan pengasuhan dengan alasan gender tidak hanya berdampak pada perkembangan tubuh juga jiwa anak, tetapi juga hubungan sosial yang terbangun dalam masyarakat.
Identitas buku:
Judul: Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Penulis: Luis Sepulveda
Tahun Terbit: Edisi ke-2 2023
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN: 978-602-0788-06-7.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.