Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama pernah dituturkan langsung oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, sosok penting “penghubung” antara Kiai Khalil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari, Jombang. Melalui Kiai As’ad muncul semacam simbol atau “isyarah” restu spiritual pendirian NU. Info sejarah dari Kiai As’ad bisa disebut sebagai sumber primer sebab ia yang terlibat langsung dan kesaksiannya tersimpan dengan baik.
Dalam sebuah rekaman video yang dikoleksi pihak Pesantren Sukorejo,— juga tersebar di platform digital— kesaksian Kiai As’ad begitu jelas menceritakan kelahirkan Nahdaltul Ulama beserta kondisi sosial keagamaan di Indonesia pada waktu itu.
Konteks Sosial-Historis pada Waktu itu
Mula-mula, Kiai As’ad memulai kisah pendirian NU dengan sebuah pertanyaan retoris berbahasa Madura
“Aponapa mik pas badha NU e Endonesia? Ponapa sababbha?/“Kenapa ada NU di Indonesia? Apa sebabnya?’
Menurut Kiai As’ad, sejak 700 tahun yang lalu— dihitung dari Kiai As’ad menyampaikan—, tepatnya ketika Islam masuk ke bumi Indonesia, para pendakwah membawa syariat Islam yang beraliran salah satu dari empat mazhab atau Islam Ahlussunnah waljamaah. Secara khusus mazhab Syafi’i dan ini menjadi mazhab terbesar di Indonesia. Inilah ajaran Islam yang dibawa oleh para Wali Songo.
Kira-kira di tahun 1920, Kiai Muntaha Bangkalan, menantu Kiai Khalil, kedatangan tamu terdiri dari 66 ulama dari penjuru Indonesia. Tujuan mereka adalah agar Kiai Muntaha berkenan untuk menjadi “penyambung lidah” antara mereka dengan Kiai Khalil, mahaguru ulama Nusantara itu.
Kepada Kiai Muntaha, para kiai itu bercerita bahwa saat ini ada pihak yang sangat anti pada ulama salaf, tidak senang dengan karya ulama salaf dan menurut mereka yang bisa diikuti hanya al-Quran dan Hadis saja. Isu inilah yang hendak dikonsultasikan ke Kiai Khalil.
Belum bertemu dengan Kiai Khalil, masalah yang dititpkan pada Kiai Muntaha sudah tersampaikan. Melalui Kiai Nasip, Kiai Khalil menitipkan beberapa ayat al-Quran sebagai jawaban atas kegelisahan para kiai itu. Ayat tersebut berbunyi:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (Qs. Al-Taubah: 32)
Sejumlah Peristiwa Historis sebelum Pendirian Nahdlatul Ulama
Pertemuan Para Kiai di Kawatan, Surabaya
Pada kisaran tahun 1921-1922, ulama se-Jawa terdiri dari 46 orang berkumpul di Kawatan Surabaya, kediaman Kiai Alwi Abd. Aziz. Mereka membahas terkait pendirian jam’iyah. Beberapa nama yang disebut Kiai As’ad di antaranya; Kiai Syamsul Arifin Sukorejo, Kiai Hasan Genggong, Kiai Sidogiri (entah siapa yang dimaksud), Kiai Saleh Lateng, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Tahir Bungkuk, dan kiai-kiai dari Jombang.
Pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya beberapa ide misalnya seperti, tidak perlu membuat organisasi baru, cukup organisasi yang ada saja direvitalisasi. Ada juga usulan untuk segera melahirkan organisasi baru.
Kebuntuan berpikir ini terus berlangsung hingga memasuki tahun 1923. Di sisi lain, gerakan wahabisme sudah mulai merajalela di mana-mana. Dan mereka gencar menolak amaliyah-amaliyah orang pesantren, seperti tabarruk, tawassul, dan amaliyah lain.
Catatan Manuskrip Sunan Ampel
Setelah menceritakan kisah di atas, Kiai As’ad menuturkan bahwa ada seorang kiai menyampaikan sebuah sejarah pada Kiai Khalil yang didasarkan pada tulisan Sunan Ampel. Isinya adalah; ketika Sunan Ampel ngaji dan berada di Madinah, Sunan Ampel pernah bermimpi bertemu Nabi. Dari mimpi itu Nabi berpesan agar Islam Ahlussunnah Waljamaah dibawa hijrah ke Indonesia, sebab di tanah asalnya ia sudah tidak berdaya. Dan perlu diketahui bahwa di zaman itu belum ada wahabi.
Istikharah di Maqbarah Wali Songo dan Nabi Muhammad Saw.
Temuan manuskrip tersebut justru membuat para kiai merasa berat, belum menemukan solusi. Ketika kondisi seperti ini, ada 4 kiai ditugaskan untuk istikharah di maqbarah para sunan selama 40 hari. Ada juga yang ditugaskan untuk istikharah di Madinah, maqbarah Nabi Muhammad Saw.
Di penghujung tahun 1923, semua kiai yang petugas menjalankan istikharah melakukan pertemuan untuk melaporkan hasil istikharah mereka. Dan menurut Kiai As’ad, laporan ini tertulis, dan naskahnya ada. Meski Kiai As’ad tidak memastikan siapa yang menyimpan hasil pertemuan ini. “Insyaallah, badha (ada)...,” ujar Kiai As’ad.
1924 Kiai As’ad dipanggil Kiai Khalil Bangkalan
Karena belum menemukan jalan keluar, pada tahun 1924 Kiai As’ad yang saat itu sedang belajar di Bangkalan dipanggil oleh Kiai Khalil. Kiai Khalil berkata pada Kiai As’ad:
“Lagguna be’en entar ka Hasyim Asy’ari, Jombang”, “Besok pergi ke Hasyim Asy’ari, Jombang..”. Dalam perjalanan ke Jombang ini, Kiai Khalil menitipkan tongkat dan sebuah ayat yang berbunyi:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ أَلْقِهَا يَامُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى (21)
"Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?", (17) Dia (Musa) berkata, "Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain." (18), Dia (Allah) berfirman, "Lemparkanlah ia, wahai Musa!" (19), Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (20) Dia (Allah) berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, (21)”. (Qs. Thaha: 17-21).
Singkat cerita, sesampainya di Jombang Kiai As’ad ditemui langsung oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Pada momen ini, Kiai Hasyim bertanya latar belakang Kiai As’ad dan ternyata, Kiai As’ad memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Hasyim lewat jalur ibu beliau yang bernama Nyai Maimunah (maqbarah ibunda Kiai As’ad ada di Talangsiring Pamekasan).
Setelah itu, Kiai As’ad menyampaikan titipan Kiai Khalil berupa tongkat. Bagaimana respons Kiai Hasyim? Kata Kiai As’ad, ketika pertama kali mendengar ada titipan tongkat, Kiai Hasyim kaget penuh heran bertanya-tanya. Dan beliau tidak segera menerima tongkat tersebut. Lalu Kiai As’ad meneruskan obrolan dengan membacakan surat Thaha di atas yang dibacakan oleh Kiai Khalil.
Setelah selesai membacakan surat tersebut, dengan penuh haru Kiai Hasyim Asy’ari merespons
“Alhamdulillah, cong, engkok tolos mabadha jam’iyah Ulama, tolos mabadha jam’iyah ulama, tolos engkok, kalabhan tongket reya, areya tongket nabi Musa ebaghi ka engkok bhik Kiai Khalil”... artinya, “Alhamdulillah, nak, saya jadi mendirikan Jam’iyah Ulama, jadi mendirikan Jam’iyah Ulama, saya jadi mendirikan dengan (isyarah) tongkat ini. Ini tongkat nabi Musa diberikan ke saya oleh Kiai Khalil”...
Pada waktu itu, menurut Kiai As’ad belum ada nama Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim menggunakan term “Jam’iyah Ulama...”. Kemudian Kiai As’ad pamit dan sebelum pamit beliau minta didoakan pada Kiai Hasyim. Dan sebelum benar-benar pergi, Kiai Hasyim sekali lagi menitipkan salam untuk Syaikhana Khalil, berupa kabar bahwa sebentar lagi akan didirikan Jam’iyah ulama.
Kiai As’ad kembali Dipanggil Kiai Khalil
Menjelang berakhirnya tahun 1924, Kiai As’ad dipanggil kembali oleh Kiai Khalil. Pada waktu, Kiai As’ad masih sebagai santri di Bangkalan. Panggilan yang kedua ini Kiai As’ad ditugas untuk kembali ke Tebuireng. Jika sebelumnya membawa tongkat, pada misi kedua ini ia diperintah membawa tasbih. Bukan hanya tasbih, Kiai Khalil juga menitipkan dua asmaul husna; Ya Jabbar, Ya Qahhar. Satu bacaan satu putaran, begitu pula bacaan satunya. Lalu Kiai As’ad menjulurkan kepalanya agar tasbih yang dimaksud dikalungkan saja.
Sebagaimana kisah pertama, selama perjalanan beliau menjadi sorotan banyak mata; ada yang meledek sebagai orang gila sebab ia masih muda tetapi berpegang pada tongkat. Pun perjalanan keduanya, ketika Kiai As’ad berkalung tasbih sebagian orang menganggapnya wali karena penampilannya yang aneh.
Menariknya, disampaikan juga bahwa; selama menjalankan tugas-tugas berat ini, Kiai As’ad berpuasa sepanjang Bangkalan-Tebuireng; ia tidak makan, tidak minum, tidak merokok bahkan selama perjalan beliau tidak berbicara pada siapa pun. Jadi beliau “puasa” bicara. Karena sedang membawa amanat kiai. Kata Kiai As’ad, “Sebelum bertemu dengan Kiai Hasyim saya tidak akan berbicara dengan siapa pun”.
Sesampainya di Tebuireng, Kiai As’ad melaporkan amanatnya berupa titipan tasbih. Kiai Hasyim dawuh
“Masyaallah, masyaallah, engkok ekemani ongghu bhik ghuru...”, artinya, “Masyallah, masyaallah, saya disayang betul sama guru saya...”.
Dan betapa kagetnya, saat Kiai Hasyim tahu bahwa tasbih yang dimaksud ada di leher Kiai As’ad. Jadi, Kiai As’ad tidak menyentuh tasbih tersebut. Di Bangkalan dipasang langsung oleh Kiai Khalil dan di Jombang diambil langsung oleh Kiai Hasyim. Lalu Kiai As’ad membacakan dua lafadz Asmaul Husna yang juga dititipkan mengiringi tasbih tersebut. Kiai Hasyim merespons:
“Sapa se bengal ka NU ancor, karena jam’iyah ulama, ancor...” artinya, “Siapa yang berani (kurang ajar) kepada NU akan hancur, sebab (ini) adalah jam’iyah ulama”.
1925 Kiai Khalil Wafat
Tahun 1925 bertepatan dengan 29 Ramadan, mahaguru ulama Nusantara, Syaikhana Khalil Bangkalan wafat. Kata Kiai As’ad, info kewafatan Kiai Khalil terjadi kehebohan luar biasa di publik luas. Umat seperti kehilangan pelita yang selama ini menyinari bumi Nusantara.
1926 NU resmi berdiri
Bertepatan pada bulan Rajab tahun 1926 Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Tahun ini semua kebutuhan NU sebagai organisasi disusun satu persatu. Kiai As’ad menyebut nama Kiai Dahlan, Nganjuk, sebagai sosok yang menyusun anggaran dasar rumah tangga organisasi. Lalu ada beberapa pertemuan ulama untuk mendelegasikan utusan ke Gubernur termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
***
Kisah di atas, adalah beberapa poin yang bisa saya tangkap dari rekaman sejarah pendirian Nahdlatul Ulama oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, pelaku langsung pendirian NU yang bukti kesaksiannya terekam dengan baik dan tersimpan rapih di Pesantren Sukorejo.
Dalam salah satu keputusan sidang pleno PBNU baru-baru ini, ada poin agar beberapa lembaga melakukan penelitian terhadap beberapa sejarah NU yang konon ada penyimpangan oleh beberapa oknum.
Keputusan yang cukup solutif dan seraya saya berharap agar usaha tidak berhenti di situ akan tetapi juga juga ada ikhtiar penelitian dan penulisan resmi dari sumber yang valid oleh pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang pendirian organisasi yang amat kita cintai ini. Sebab yang membutuhkan sejarah NU yang valid bukan hanya generasi hari ini tetapi juga kelak generasi yang akan datang.
Ahmad Husain Fahasbu
Instruktur Nasional Cegah Stunting Perspektif Agama Gerakan Keluarga Maslahah Nahdlatul Ulama. Ia juga concern dalam isu keluarga dan anak perspektif Islam. Menulis buku “Teladan Kebahagiaan dari Rumah Tangga Kenabian: Sirah Keluarga Nabi”. Tinggal di Bondowoso, Jawa Timur.