Dark
Light
Dark
Light

Gaza Cola: Minuman Perlawanan Palestina

Gaza Cola: Minuman Perlawanan Palestina

Arina.id - Tampilan kaleng minuman itu sungguh menggoda. Balutan warna merah, hijau, putih, dan hitam dipercantik dengan aksen keffiyeh. Semua disempurnakan dengan aksara Arab bergaya kaligrafi. "Gaza Cola"-- dengan huruf besar berwarna putih, menegaskan identitas minuman itu.  

Dengan kemasan itu jelas siapa pun dengan cepat mengenali asal minuman karbonasi ini. “Gaza Cola hadir dengan pesan yang jujur dan jelas,” ujar Osama Qashoo, 43 tahun, produsen minuman ini.

Gaza Cola bukan minuman karbonasi biasa. Qashoo menyebutkan minuman itu terbuat dari bahan-bahan kola yang umum. Meski memiliki rasa manis dan asam, tapi katanya berbeda dari formula yang digunakan minuman kola yang terkemuka itu.

Ide membuat kola ini bermula tak lama setelah Israel menyerbu Gaza dengan berbagai jenis bom, pada awal Oktober tahun lalu. Namun perlu waktu yang lama untuk mengenalkannya pada publik.

September lalu, setelah hampir setahun, secara resmi Qashoo mengenalkanya pada publik dalam acara pawai nasional untuk Gaza, di London, Inggris. Saat itu, Qashoo membagikan kaleng dan selebaran tentang produknya. Para pengunjuk rasa pun antusias membeli minuman itu.   

Kini, menurut pemberitaaan Aljazeera, minuman ini sudah banyak ditemui di beberapa tempat di Inggris. Di antaranya di Hiba Express – jaringan makanan cepat saji di Holborn, lingkungan pusat kota London. Minuman ini juga menjadi pilihan mereka yang datang ke Palestine House,  yang menjadi tempat berkumpul warga Palestina dan para pendukungnya.

Minuman tersebut juga dijual oleh pengecer seperti Al Aqsa yang berbasis di Manchester. Menurut manajer toko, Mohammed Hussain, minuman ini laris manis. Sejak awal Agustus, 500 ribu kaleng telah terjual.

Gaza Cola juga dijual secara online. Harganya tiga kali lebih mahal dari minuman kola yang menguasai pasar dunia. Sebungkus Gaza Cola dijual seharga 12 pound atau sekitar Rp 230 ribu.  Qashoo mengatakan bahwa keuntungan dari minuman tersebut disumbangkan untuk membangun kembali bangsal bersalin Rumah Sakit al-Karama, di sebelah barat laut Gaza.

Selain demi perjuangan, rasa kola ini rupanya pas di lidah. Nynke Brett, 53, yang tinggal di Hackney, London timur menyebutkan rasanya berbeda dengan minuman kola yang ada. “Lebih lembut, lebih enak di lidah,” katanya. “Rasanya lebih enak karena Anda mendukung Palestina.”

Seiring dengan meningkatnya gerakan boikot terhadap produk-produk yang mendukung Israel, tentu saja kehadiran Gaza Cola tentu menambah pilihan bagi publik. Sebelumnya ada Palestine Drinks, keluaran perusahaan Swedia yang diluncurkan pada Februari lalu.  Pendirinya, Mohamed Kiswani menyatakan telah menjual rata-rata 3 hingga 4 juta kaleng minuman – termasuk kola,  per bulan.

Ada juga Matrix Cola, yang didirikan di Yordania pada tahun 2008. Gerakan boikot membuat produksi mereka berlipat-lipat dalam beberapa bulan terakhir.

Produk lainnya adalah Spiro Spathis. Penjualan minuman soda tertua di Mesir, meningkat sebagai hasil dari kampanye boikot tersebut. Dengan menggunakan tagline, "100 persen Buatan Mesir" kola ini menjadi pilihan mereka yang meninggalkan produk serupa yang mendukung zionisme.  

Jeff Handmaker, seorang profesor sosiologi hukum di Universitas Erasmus Rotterdam di Belanda, menilai kampanye boikot mendapat hasil yang signifikan. “Dalam hal ini, kampanye boikot terbukti berhasil,” imbuh Handmaker.

Boikot pula yang mendorong Qashoo menciptakan Gaza Cola. "Dengan menyerang aliran pendapatan, membuat mereka berpikir," kata Qashoo. Dengan kata lain, gerakan boikot memukul secara finansial.

***

Berjuang dengan minuman menjadi langkah Qashoo dalam berjuang untuk Tanah Airnya. Sebelumnya, dia berada di garis depan perjuangannya.

Pada 2001, misalnya. Saat itu, ia ikut mendirikan International Solidarity Movement (ISM), sebuah kelompok yang menggunakan aksi damai dalam melawan pendudukan Israel atas tanah Palestina.

Namun, Qashoo terpaksa melarikan diri dari negerinya dua tahun kemudian. Keselamatannya terancam setelah dia terlibat dalam demonstrasi damai menentang "tembok apartheid" – yang dibangun Israel di Tepi Barat.

Inggris menjadi tanah pelariannya. Di sana dia sempat belajar membuat film. Hasilnya tak buruk. Triloginya, "A Palestinian Journey", memenangi Penghargaan Al Jazeera New Horizon pada 2006.

Namun tanah kelahirannya terus memanggilnya. Setahun kemudian dia mendirikan Gerakan Free Gaza, yang bertujuan untuk menghentikan pengepungan ilegal di Gaza.

Salah satu aksinya adalah mengorganisasi misi bantuan kemanusiaan dari Turki ke Gaza melalui laut. D ia pun ikut  dalam kapal Mavi Marmara. Namun kapal itu diserang Israel dan membuatnya kehilangan juru kamera dan peralatan pembuatan filmnya.

Ia kemudian ditangkap dan kemudian ditahan bersama hampir 700 orang lainnya. Keluarganya melakukan aksi mogok makan hingga ia selamat.

Setelah menetap di Inggris, Qashoo melanjutkan aktivitasnya. Namun tak lagi membuat film melainkan mengelola restoran. Hingga akhirnya jalan hidupnya kini menjadi juragan minuman berkarbonasi ini. "Tidak pernah terbayang sebelumnya," katanya.  

Mendapat respon yang positif, dia pun kini tengah meracik varian baru, yang lebih bersoda. Semua itu tak lain, dengan harapan agar melalui minumannya ini  orang akan terus ingat dengan tentang penderitaan Palestina.

“Kita perlu mengingatkan generasi demi generasi tentang holocaust yang mengerikan selama 75 tahun,” katanya.


$data['detail']->authorKontri->kontri

Irfan Budiman
Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.


Editor: Fajar WH
Home 2 Banner

Khazanah Lainnya

Home 1 Banner