"Jadikanlah Lukman sebagai suri teladan bagi keluarga kita. Ada dua hal penting yang diajarkan Lukman kepada anaknya: bukan harta dan kekuasaan yang menjadi tujuan utama, seperti yang sering diinginkan banyak orang saat ini, tetapi di atas itu, ia tanamkan tauhid dan ia ajarkan akhlak."
***
Kalimat di atas bukanlah khutbah, bukan pula mantra tapi cuplikan dialog film “Cinta tapi Beda”yang disutradarai Hanung Bramantya.
Pengambilan gambar film dilakukan di Kotagede, Yogyakarta. Syuting dilakukan selama lima hari di kota yang sebagian besar masih berdiri rumah tua khas kota bekas kerajaan Mataram itu.
Dalam skenario film diceritakan, seorang jemaah bernama Fadoli (Ketua RW) dirundung masalah serius: anak laki-lakinya berencana menikahi seorang penari asal Padang beragama Kristen. Masalah ini ia tanyakan kepada saya yang dalam film itu memerankan ustaz. Pertanyaan Fadoli itu saya jawab seperti kalimat yang saya kutipkan di awal tulisan ini.
Rupanya jawaban saya membuat seorang ibu yang menjadi figuran dalam film terisak. Karena isak tangis tak ada dalam skenario, adegan diulang hingga tiga kali. Saya baru menyadari ibu itu terisak saat pengulangan yang ketiga. Saya tak tahu persis apa yang ada dalam pikiran dan hatinya sampai isak tangisnya tak juga bisa ditahan.
Jam 03.00 syuting berakhir. Para figuran yang sudah di lokasi sejak siang langsung berhamburan pulang. Sementara pemain masih menunggu pembayaran honor. Sutradara, asisten sutradara, aktor, dan artis kembali ke hotel. Sedangkan kru dan kamereman bekerja kilat memberesi peralatan karena besok pagi mereka harus bergegas ke Jakarta. Saya sendiri masih di lokasi untuk mengemasi properti yang saya kenakan.
Tidak kurang 20 menit keadaan di rumah tua yang dibuat background syuting pengajian itu kembali gelap seperti semula. Ini rumah besar tahun 1800, milik orang kaya waktu itu. Ratusan tahun kemudian setelah dihuni beberapa generasi rumah itu diam. Kondisinya muram.
Jika siang, saya bisa mengamati bekas kejayaan di sana. Pendapa luas, beranda panjang, lantai keramik bermozaik, perabotan dari Eropa, jam besar kuno, lampu gantung porselin, meja kursi dari jati tua, dan deretan kamar kosong mirip bekas kastil. Tapi semua kusam. Hanya bagian belakang rumah yang nampaknya dihuni, itupun bangunan baru yang terkesan menempel.
Malam itu, hanya saya dan beberapa orang yang duduk di pendapa. Saya melihat rumah ini benar-benar menampakkan wajah aslinya. Saya tercekam seolah terjebak di sebuah tempat ratusan tahun silam.
Saat saya sibuk mengemasi properti, tiba-tiba dari kegelapan sebuah sosok tertatih mendekat.
“Pak ustaz, bolehkah saya bertanya sesuatu?”ujarnya lirih.
“Ya, bu,” jawab saya.
Ketika lampu gantung kecil menyinari wajahnya, saya terperanjat. Rupanya ini ibu yang menjadi figuran dan terisak dalam adegan tadi. Raut wajahnya diliputi kesedihan.
“Islam KTP itu apa pak ustaz?” lanjutnya.
Saya mengira dia guyon dengan menyebut judul sinetron. Tapi muka pedihnya segera meralat kesan saya itu.
“Islam KTP itu mengaku Islam tapi tidak menjalankan perintah agama, bu?” jawab saya.
“Tidak salat, tidak puasa ya, pak?”ia menegaskan
Saya mengiyakan sembari meraba arah pembicaraan.
“Kalau sejak kecilnya dididik secara Kristen, tinggal di lingkungan Kristen, orang tua Kristen, bagaimana menurut pak ustaz?”
“Maksudnya pripun, Ibu?” tanya saya.
“Apa namanya tetap Islam KTP? Amal perbuatannya tidak diterima Tuhan? Kalau mati bagaimana?”
Belum selesai saya memberi jawaban si ibu melanjutkan. “Te te ta pi, pak ustaz…..,” tanya dengan terbata-bata. “Bagaimana kalau di akhir hayatnya orang itu pernah sekali salat, pak…?”
Wajahnya terlihat sedih. Mukanya tertunduk lesu. Saya perhatikan tubuhnya menggigil lembut.
Saya mulai paham situasinya. Ia memerlukan dukungan. Kesan saya, situasi traumatis seperti pernah melanda hidupnya.
“Tidak ada orang yang tahu akhir sebuah kematin, bu. Orang yang kita lihat sehari-hari tidak agamis, tidak menjalankan perintah agama, bisa jadi pada akhir hayatnya mendapatkan hidayah. Ia khusnul khatimah. Dan sebaliknya, mereka yang nampak rajin beribadah, tetapi menjelang ajal malah syu’ul khatimah. Misalnya dia tidak sabar diberi sakit, mengumpat, menyalahkan Allah, lalu meninggal,” saya mencoba menasihati sambil memegang pundaknya.
“Begitu, ya pak ustaz,” sahutnya dengan matanya menerawang.
“Kita hanya bisa mendoakan orang-orang terkasih kita di akhir hayatnya khusnul khatimah,” saya melanjutkan.
Si ibu diam namun masih menerawang. Kali ini ada gurat kelegaan di wajahnya. Saya pun pamit dengan membawa rasa penasaran, siapa sosok ibu ini.
***
Saya menuju parkiran halaman masjid yang letaknya 200 meter dari lokasi syuting. Ketika hendak masuk mobil terlihat dua orang berdiri di teras. Mereka warga sekitar yang juga jadi figuran dalam film itu. Sepertinya mereka tengah menunggu waktu subuh.
Saya tanyakan sosok ibu tadi kepada mereka. Jawabnya sungguh mengejutkan.
“Beliau pemilik rumah yang dipakai syuting itu,” kata mereka.
“Suaminya meninggal beberapa hari lalu. Dulu pernikahannya ditentang orang tuanya karena masalah beda agama,” mereka melanjutkan.
Saya pamit, lalu bergegas masuk mobil. Dalam perjalanan pulang, saya menjadi tahu rupanya selama lima hari syuting, si ibu menyaksikan drama hidupnya diputar kembali di depan mata. Tokoh-tokoh di film itu mengulang kejadian puluhan silam, bukan di tempat lain tapi justru di rumahnya, tempat yang sama dengan kejadian yang dia alami.
Saya jadi faham arti tangisnya saat adegan pengajian itu. Hanya bedanya, kalau film itu tak berending –namun drama si ibu berlanjut hingga kematian.
Kesedihan sang ibu sangat nyata. Dan cerita dalam film Hanung yang diproduksi pada 2012 itu sebenarnya juga ingin mengangkat sejumlah fakta yang ada di masyarakat kita. Sayangnya, film Hanung itu batal tayang karena menuai protes keras dari masyarakat Padang yang menganggapnya kontroversial.
Farid Mustofa
Staf Pengajar Fakultas Filsafat UGM, mahasiswa S3 Universitas Leipzig, Jerman.