Bulan ketiga, tepatnya tanggal 12 dalam penanggalan hijriah menjadi babak terpenting dalam rangkaian peristiwa bersejarah. Lahirnya Nabi Muhammad, yang oleh astrofisikawan Yahudi kebangsaan Amerika, Michael H Hart, disebut sebagai orang paling berpengaruh karena kemampuannya mengubah jalannya arah sejarah manusia.
Kelahiran Nabi adalah kelahiran kemuliaan. Ia diutus tidak sekadar melempengkan ketauhidan umat. “Sungguh, aku [Muhammad] diutus untuk menyempurnakan Akhlak”. Akhlak dapat berarti; moralitas, kesantunan, tata krama, budi pekerti, etika, susila, adab, juga kesopansantunan.
Kenangan akan kelahiran Nabi juga bisa menjadi memoar pepatah Jawa: "Wong ora ngerti, luwih becik tinimbang wong ngerti nanging ora ngamalake." Pemaknaan serupa berarti, “Orang yang tidak tahu lebih baik daripada orang yang tahu tetapi tidak mengamalkan ilmunya”. Sederhananya, pengetahuan tanpa tindakan nyata tidak ada gunanya.
Pembahasaan Jawa ini erat kaitannya dengan pentingnya "budi" dalam hidup. Nilai-nilai pekerti adalah keutamaan. Perannya menjadi "koentji" bagi orang yang berhubungan dengan orang lain. Wajar jika ada yang berkata: "Pengetahuan tanpa budi ibarat pedang di tangan orang gila."
Pepatah ini sangat terkenal dan menunjukkan betapa buruknya ilmu pengetahuan jika tidak diimbangi dengan etika yang baik. Pengetahuan tinggi tanpa moralitas bisa menjadi senjata mematikan. Dan mudah bagi kita untuk melihatnya. Tidak sedikit orang pintar di sekitar kita. Berjejer runut gelar akademik menyertai namanya. Pun gelar kesalehan; kiai, ajengan, tengku, tuan guru, pendeta, pastur, rahib, dan lainnya. Namun yang kita lihat dan dengar akhir-akhir ini adalah standar moral orang-orang ini menurun. Tak terkecuali di dunia pendidikan.
Institusi pendidikan dinilai tidak kuasa membangun moralitas yang tinggi, dan fokus mengedepankan aspek keilmuan semata. Dampaknya, dengan mudah kita melihat semakin banyak kasus kekerasan di dunia akademik. Siswa memukul guru. Siswa membakar sekolah. Dan yang paling keji perilaku siswa membunuh orang tuanya.
Belum lagi di media sosial. Kerusuhan di platform X, misalnya. Akan sangat mudah kita temukan ujaran-ujaran kebencian yang justru menderas dari orang-orang yang tersematkan gelar akademik bergengsi. Kemerosotan moralitas begitu nyata. Ada banyak orang pintar, namun sangat sedikit dari mereka yang tampak mulia.
Rasanya tepat jika kita menggerakkan ulang Al-Akhlaq Fauqal Ilmi, yakni pemaknaan atas etika lebih tinggi dari ilmu. Ini merupakan suatu pemahaman mendalam bahwa nilai-nilai moralitas haruslah menjadi landasan utama dalam setiap bentuk pengetahuan yang kita miliki. Prinsip Al-Akhlaq Fauqal Ilmi yang dikenal luas di lingkungan pesantren sangat relevan sebagai refleksi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa terdapat pepatah lain yang berbunyi “Ngunduh wohing pakarti” yang artinya seseorang akan memetik hasil dari perbuatan atau akhlaknya. Pernyataan ini menegaskan bahwa kebiasaan baik merupakan landasan untuk menciptakan hasil yang baik dalam hidup. Mendapat ilmu tanpa disertai akhlak dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Demikian pula kebajikan dalam filsafat Yunani mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pengetahuan dan moralitas. Misalnya, Aristoteles menekankan pentingnya areté (kebajikan atau keunggulan moral) untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati. Menurutnya, ilmu pengetahuan harus setara dengan kebijaksanaan moral agar dapat membawa kesejahteraan manusia. Tanpa etika, pengetahuan hanya akan menjadi alat yang digunakan secara egois dan merusak.
Sementara dalam Islam, Rasulullah SAW menegaskan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Penekanan pada akhlak sebagai tujuan utama dari risalah kenabian telah menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan tanpa akhlak tidak akan membawa keberkahan atau kebahagiaan yang hakiki.
Peringatan Maulid Nabi saat ini menjadi momentum menabur kembali Al-Akhlaq Fauqal Ilmi. Masyarakat diingatkan untuk tidak hanya fokus pada penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan akhlak yang mulia. Rasulullah SAW tidak hanya dikenal sebagai pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pribadi yang penuh kasih sayang, keadilan, dan kebaikan.
Dalam konteks institusi pendidikan, baik di lingkungan pesantren, madrasah, perguruan tinggi keagamaan, bahkan sekolah umum, perlu ditekankan lagi pentingnya gerakan "budi pekerti di atas ilmu". Disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kecakapan hidup yang ingin dituju lembaga pendidikan, harus diintegrasikan melalui pembentukan karakter.
Keselarasan nilai antara ajaran Jawa, filsafat Yunani, dan kebajikan Islam menegaskan bahwa pengetahuan harus dibingkai dengan moralitas. Dengan meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW, kita bisa menciptakan masyarakat berilmu dan berbudi pekerti luhur sekaligus. Jangan pernah abai untuk membangun masyarakat yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga unggul dalam karakter. Semoga.
Thobib Al Asyhar
Dosen Psikologi Sufistik SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.