Pada mulanya, Muhammadiyah adalah “organisasi massa” atau non government organization yang dibentuk KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan di tahun 1912. Tujuan pendirian untuk menghimpun potensi-potensi terbaik pemuda-pemudi muslim di tanah air.
Ideologi, paham keagamaan, ataupun kultur organisasi belum terbangun secara sempurna. Bahkan, Majelis Tarjih —institusi yang secara khusus menampung paham keagamaan resmi organisasi belum terpikirkan pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, sehingga hanya membentuk empat unsur pembantu pimpinan — Bagian Tabligh diketuai H Fachrodin, Bagian Pengajaran H Hisyam, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem H Syujak, dan Bagian Taman Poestaka, H. Mochtar—minus departemen atau bagian keagamaan.
Secara legal, dari proses penyusunan Statuten (anggaran dasar) hingga Muhammadiyah resmi diakui oleh pemerintah kolonial Belanda (Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914 (Mustafa Kamal & Adabi Darban:2000), menunjukkan bahwa template awal organisasi ini memang belum terisi ruang atau wadah khusus untuk menampung paham pemikiran keislaman tertentu.
Dalam Statuten awal disebutkan tujuan organisasi Muhammadiyah: ”(a) menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Meski demikian, terdapat indikasi yang memungkinkan untuk melahirkan “wadah khusus” lewat penggunaan diksi-diksi khas ala Muhammadiyah pada waktu itu, seperti Kamardikan (Kebebasan/Kemerdekaan), Kiyai Kemajengan (Ulama Kemajuan), Islam Nyawa Kemajuan, termasuk Zaman Kemajuan.
Adanya indikasi-indikasi tersebut memungkinkan untuk membuka ruang atau wadah khusus bagi pembentukan institusi keagamaan resmi di Muhammadiyah, yang dalam catatan sejarah terbentuk pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (pasca kepemimpinan KH Ahmad Dahlan).
Karena ruang atau wadah khusus yang menampung pemikiran keislaman di Muhammadiyah pada masa-masa awal berdiri belum dibentuk, sebagai konsekuensinya, fiqih ibadah (kaifiat ibadah) Muhammadiyah masih sama seperti paham fiqih ibadah yang beredar pada umumnya. Terbukti dengan ditemukan Kitab Fiqh (tiga jilid) yang ditulis menggunakan arab pegon, dan diterbitkan Taman Poestaka Muhammadiyah pada 1926 (1343 H).
Dalam Kitab Fiqih ini memang terdapat topik-topik yang dinilai kontroversial seputar paham fiqih ibadah di Muhammadiyah, antara lain: 1) pada tulisan pengantar disebutkan kata “sayyidina” ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW. 2) ketika membahas bab shalat terdapat penjelasan tentang niat yang berbunyi: “Ushalli fardla...”. 3) setelah takbir membaca “Kabira wal hamdulillahi katsiraa...” 4) membaca surat Al-Fatihah dalam shalat diawali dengan bacaan basmalah (jahr), 5) setelah shalat disunatkan wirid dengan bacaan: istighfar, allahumma antassalaam, kemudian baca subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, allahu akbar 33 kali, dan 6) shalat tarawih 20 rakaat, tiap dua rakaat salam.
Respons yang cukup hebat dari kalangan akar rumput Muhammadiyah yang sampai kini masih sangat sensitif dengan ”fiqih tradisional”—bahkan beberapa kalangan menyebut kesamaan fiqih Muhammadiyah periode awal sama seperti fiqih NU. Di sinilah penulis berusaha mengingatkan dan sekaligus menjelaskan bahwa memahami Muhammadiyah dengan segenap instrumentasinya tidak boleh abai atau malah sengaja melupakan dimensi sejarah.
Salah satu instrumen organisasi Muhammadiyah saat ini yang dikenal dengan istilah ”unsur pembantu pimpinan” yang disebut Majelis Tarjih dengan segenap produk keputusan, fatwa, dan wacananya tidak bisa, dan tidak boleh dipahami secara taken for granted—seolah-olah ada dengan sendirinya tinggal diambil dan diyakini kebenarannya. Maka janganlah sekali-kali melupakan sejarah!
Sesungguhnya, persoalan ini akan mudah dijelaskan secara jernih dengan menggunakan pendekatan historis. Harus diakui, selama ini warga Muhammadiyah memang a-historis dengan sejarah gerakannya sendiri. Penjelasan historis akan mudah menghubungkan kembali matarantai paham agama dalam Muhammadiyah sejak organisasi ini dirintis hingga terbentuknya Majelis Tarjih yang telah memiliki manhaj istimbath hukum tersendiri saat ini.
Bahwa template organisasi ini ketika pertama kali didirikan belum memberikan ruang atau wadah khusus untuk paham keagamaan adalah fakta historis yang tidak dapat dipungkiri. Gerakan Muhammadiyah periode awal sebenarnya belum menyentuh pada ranah fiqih (paham agama), karena sebagai organisasi massa pada waktu itu lebih fokus pada pembentukan dengan mengakomodasi potensi-potensi kaum muda muslim. Secara otomatis, ketika ranah paham keagamaan (fiqih) belum dirambah, maka praktik fiqih di Muhammadiyah pada masa periode awal dapat dikatakan identik dengan fiqih keagamaan mayoritas.
KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan sebenarnya sangat terbuka dan akomodatif terhadap paham keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Khusus berkaitan dengan topik fiqih keagamaan (kaifiat ibadah), KH Ahmad Dahlan dalam Sworo Moehammadijah (No 2 tahun 1915) pernah menjelaskan tentang persoalan-persoalan ibadah, di antaranya adalah pembahasan shalat tarawih 20 rakaat. Artinya, KH Ahmad Dahlan mempraktikan shalat tarawih 20 rakaat pada dasarnya karena mengikuti paham agama pada umumnya umat Islam waktu itu. Kemudian, KH Ahmad Dahlan juga mempraktikkan bacaan qunut pada shalat subuh.
Dengan membaca data-data historis tersebut, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa paham agama Muhammadiyah periode awal memang belum menyentuh pada ranah fiqih. Setelah menyadari perbedaan paham agama semakin tajam di kalangan para ulama di tanah air, Muhammadiyah baru menggagas pentingnya membentuk institusi yang secara khusus membahas persoalan-persoalan agama (fiqih) berdasarkan manhaj istimbath hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di masa kepemimpinan KH Ibrahim. Majelis Tarjih resmi dibentuk sebagai institusi yang melahirkan produk-produk keputusan, fatwa, dan wacana keagamaan yang mengikat bagi warga Muhammadiyah.
Kilas Balik Majelis Tarjih
Penulis pernah mengenyam kuliah Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman (2018) yang disampaikan Prof. M Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga dan secara kebetulan mendapat tugas untuk me-review pemikiran Milton Karl Munitz dalam bukunya, Contemporary Analytic Philosophy (1981)—khususnya topik tentang “The Progress of Science.” Secara jujur penulis menggarisbawahi bahwa teori Munitz sangat relevan untuk membaca sejarah Majelis Tarjih karena institusi ini mewadahi pemikiran (ide) yang dikelola secara struktural (melibatkan banyak tokoh dengan latar belakang sosial yang berbeda) dan menghasilkan produk-produk hukum (fatwa) yang sebenarnya tidak steril dari kepentingan (politik, ekonomi, sosial, dan seterunya) karena ia berada dalam dinamika sejarah.
The progress of science adalah sebuah metode pembacaan kritis (analitik) atas kesinambungan (sustainability) ilmu pengetahuan dalam estafet sejarah kehidupan manusia, dari sejak manusia mengenal ilmu pengetahuan hingga masa kini. Dalam konteks sejarah Majelis Tarjih, the progress of tajdid adalah suatu ikhtiar memotret secara kritis-analitis kesinambungan pemikiran keislaman dalam dinamika (pasang-surut) Majelis Tarjih Muhammadiyah dari sejak awal berdiri hingga masa kepemimpinan Amin Abdullah. Hasil dari proses pembacaan kritis tersebut akan diketahui, apakah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang cukup berarti atau justru sebaliknya, mundur dan mengalami pembekuan, kristalisasi, hingga akhirnya menunjukkan watak yang jumud. Kesinambungan ilmu pengetahuan melewati batas-batas ruang dan waktu, meliputi batas etnis-budaya dan merentang sejak zaman kolonialisme Belanda hingga saat ini.
Perkembangan paradigma keilmuan di Majelis Tarjih Muhammadiyah terkini tentu tidak lepas dari masa lalu. Setiap zaman, dalam konteks sosial-budaya yang berbeda-beda, memiliki karakteristik dan konstruksi ilmu pengetahuan yang khas. Karakteristik dan konstruksi ilmu pengetahuan yang khas yang dimiliki generasi terdahulu terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dinamika zaman atau justru sebaliknya, mengalami kemunduran, kejumudan, dan bahkan hilang sama sekali.
Dengan membaca sejarah kelahiran Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH Ibrahim, yaitu ketika KH Mas Mansur, konsul Muhammadiyah Surabaya yang menyampaikan usulan dalam Kongres ke-16 Muhammadiyah yang digelar di Surabaya, terdapat hal-hal penting yang perlu digarisbawahi. Usulan KH Mas Mansur dalam Kongres ke-16 kemudian ditindaklanjuti dan diterima dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 (1927) yang digelar di Pekalongan. Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang pemikiran berdirinya majelis ini:
- Perbedaan (ikhtilafiyah) dalam pemahaman fiqih agama (baik akidah, ibadah, maupun muamalah) sangat berpotensi melahirkan perpecahan umat Islam di tanah air;
- Otoritas pemahaman keagamaan yang terpusat pada satu figur/tokoh berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang sehingga perlu dibentuk badan atau struktur yang dapat mendelegasikan kewenangan pemahaman agama berdasarkan kapasitas keilmuan yang berragam.
Dengan memahami masalah-masalah yang sebenarnya sudah menjadi fakta historis umat Islam pada waktu itu ketika Majelis Tarjih diusulkan oleh KH Mas Mansur, maka kita dapat menandai hal ini sebagai titik kisar awal atau barangkali inilah “lompatan paradigma” pertama dalam estafet sejarah pemikiran Islam di Muhammadiyah. Sebab, usulan yang kemudian direalisasikan dengan membentuk tim kecil beranggotakan tujuh orang tersebut belum pernah terjadi pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (Irfan Nurdin: 2017).
Menariknya, dengan melihat latar belakang keilmuan dan kompetensi ketujuh tim kecil (komisi) Tarjih kita dapat mengukur bahwa struktur ini memiliki kewenangan-delegatif yang multi-talenta (belum sampai pada tahap multi-disiplin keilmuan). Disebut multi-talenta karena ketujuh anggota komisi tersebut adalah:
- KH Mas Mansur (Surabaya) dengan basis keilmuan syariah (hukum Islam), akidah (teologi/filsafat) tetapi ia terlibat aktif dalam politik pergerakan nasional.
- AR Sutan Mansur (Sumatra Barat) dengan keilmuan akidah (tauhid), syariah (hukum Islam) tapi ia juga seorang pengusaha.
- H Mochtar (Yogyakarta) dengan basis keilmuan syariah dan pemikiran Islam (filsafat) tapi juga ia seorang pengusaha.
- HA Mukti (Kudus) dengan keilmuan syariah dan ia seorang aktivis pergerakan.
- M Kartosudarmo (Betawi) dengan basis keilmuan agama dan ia seorang pegawai administrasi (pegawai kolonial).
- M Kusni (Yogyakarta) seorang intelektual muda dan seorang administrator (Sekretaris HB Muhammadiyah pada masa KH Ahmad Dahlan).
- M. Junus Anis (Yogyakarta) seorang mubbaligh muda, aktivis, dan administrator.
Kerja tim kecil (komisi) yang beranggotakan tujuh orang dengan latar belakang keilmuan dan keahlian multi-talenta tersebut menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang diajukan kepada HB Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928 terbentuklah struktur pertama Majelis Tarjih dengan komposisi sebagai berikut:
- KH Mas Mansur, ketua
- KRH. Hadjid, wakil ketua
- HM. Aslam Zainuddin, sekretaris
- H Jazari Hisyam, wakil sekretaris
- KH Ahmad Badawi, anggota
- KH Hanad, anggota
- KH Wasil, anggota
- KH Fadlil, anggota
- Dll
Selanjutnya, dalam kongres akbar Muhammadiyah (kongres ke-29) di Yogyakarta, Majelis Tarjih di bawah kepemimpinan KH Mas Mansur mengeluarkan keputusan resmi tentang 11 dalil atau kaidah ushul fiqih yang kemudian menjadi metode istinbath dalam Muhammadiyah.
Jika latar belakang keilmuan KH Mas Mansur sudah diketahui berbasis syariah dan pemikiran Islam, maka struktur Majelis Tarjih pertama yang dibentuk pada tahun 1928 lebih merepresentasikan keseragaman basis keilmuan karena rata-rata mereka adalah para lulusan pondok pesantren (monodisiplin: Agama Islam). Hal ini dengan dibuktikan lewat produk-produk yang dihasilkan pada masa kepemimpinan Tarjih periode awal, seperti lahirnya Kitab Iman (fikih bidang akidah). Kitab Iman inilah produk ijtihad dari institusi keagamaan pertama di Muhammadiyah dengan kewenangan-delegatif yang sekaligus membedakan dengan produk-produk fikih tradisional yang pada umumnya dihasilkan dari kewenangan tunggal sang tokoh/kiai kharismatik.
Secara berturut-turut, produk-produk Tarjih berupa keputusan maupun fatwa keagamaan dipengaruhi oleh corak dan latar belakang keilmuan dari para pimpinan dan anggotanya. Seperti pada masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma (1936-?), KH Ahmad Badawi (1942-?), KRH. Hadjid (1951-1957), dan Muhammad Wardan Diponingrat (1963-1985) yang pada umumnya (ada beberapa produk yang dinilai progresif pada zamannya seperti fatwa/keputusan (?) tentang “bayi tabung”) produk-produk Tarjih masih menggunakan pendekatan mono-disiplin (Agama Islam). Sifat dan bentuk produk Tarjih berupa tuntunan dan panduan melaksanakan ibadah agama.
Dalam amatan penulis, gejala stagnansi pemikiran di Majelis Tarjih sempat terjadi pada era kepemimpinan tokoh-tokoh di atas mengingat kurangnya asupan pemikiran keislaman kontemporer. Pemikiran keislaman kontemporer, baik ilmu syariah, ilmu kalam (teologi), politik Islam, dan lain-lain telah berkembang di universitas-universitas di Barat. Tetapi Majelis Tarjih—khususnya tokoh-tokoh di majelis ini—tampaknya lamban atau bahkan alergi dengan pemikiran keislaman kontemporer. Kondisi semacam ini sepertinya dibiarkan sehingga memunculkan apa yang disebut oleh Arthur Rorsch sebagai gejala “ortodoksi ilmiah.”
Salah satu problem besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah munculnya tantangan baru yang sekaligus menjadi laboratorium eksperimen baru untuk menguji kebenaran dalam teori-teori ilmu pengetahuan sebelumnya. Tantangan tersebut dalam bentuk “otrodoksi ilmiah” yang dinilai sebagai penghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Ortodokasi ilmiah muncul dari filsuf maupun ilmuwan/ulama pada zamannya yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: lemahnya kajian dan campur tangan politik.
Kepemimpinan Tarjih Muhammadiyah pada masa KH Ahmad Azhar Basyir, M.A. (1985-1990) sempat menciptakan angin segar perubahan di internal majelis ini (Iva Fauziah:2017). Sosok “KH Azhar Basyir, M.A”—kombinasi gelar tradisi keislaman lokal dan gelar akademik modern” sempat dianggap sebagai agen perubahan, terutama dalam hal akses ilmu-ilmu keislaman kontemporer di Muhammadiyah. Tetapi kuatnya kritik internal dari kalangan angkatan muda di Muhammadiyah ibarat bom waktu yang ditanam pada masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma, KH Ahmad Badawi, KRH. Hadjid, dan Muhammad Wardan Diponingrat.
Dalam rangkaian seminar jelang Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta, muncul kritik dan usulan yang pada intinya ingin mengritik produk-produk tarjih dan mengembalikan fungsi Majelis Tarjih sebagai institusi pembaruan paham keagamaan di Muhammadiyah. Tokoh yang paling getol menyuarakan ini adalah M. Amien Rais—yang di kemudian hari dalam Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh terpilih sebagai Ketua Umum. Mulai dari kritik tentang kaderisasi ulama (Muhammadiyah minus kader ulama), produk-produk Tarjih yang kadaluarsa dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT), fungsionalisasi majelis untuk menjawab isu-isu keumatan kontemporer, seperti usulan tentang zakat profesi dan Keluarga Berencana (KB).
Pasca Azhar Basyir, tampaknya gerakan mengembalikan fungsi Majelis Tarjih sebagai institusi pembaruan pemikiran keislaman di Muhammadiyah kembali dilanjutkan oleh Prof. Asjmuni Abdurrahman (1990-1995). Kepada tokoh yang satu ini, secara khusus penulis memiliki pengalaman tersendiri tentang bagaimana komitmen dan ikhtiar Ketua Majelis Tarjih ini hendak membawa Muhammadiyah ke kancah dinamika pemikiran keislaman kontemporer. Pada tahun 2008, penulis menjadi penyunting kedua edisi revisi buku Tekstual, Kontekstual, dan Liberal: Koreksi atas Loncatan Pemikiran karya Prof. Asjmuni Abdurrahman yang diterbitkan oleh penerbit Suara Muhammadiyah. Kesan penulis khusus untuk tokoh yang satu ini adalah bahwa beliau sangat hati-hati terhadap kemunculan diskursus keislaman kontemporer, tetapi tidak antipati atau menutup mata dengan pemikiran atau teori baru yang relevan dan sejalan dengan manhaj Muhammadiyah. Sangat berhati-hati, selektif, dan selalu merujuk pada manhaj tarjih Muhammadiyah, demikian kesan penulis kepada Prof. Asjmuni Abdurrahman.
Lompatan Paradigma
Adalah suatu peristiwa yang langka dan mungkin menyalahi legasi Majelis Tarjih ketika seorang ketuanya ditunjuk bukan sosok yang memiliki basis keilmuan syariah. Ini terjadi ketika Prof. M Amin Abdullah yang basis keilmuannya adalah Ushuluddin (Filsafat Islam) ditunjuk sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) pada periode 1995-2000.
“…pada tahun 1995, sewaktu berlangsung Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, saya diberi kesempatan berbicara di hadapan para muktamirin. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, sehingga akhirnya Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Pak Amien Rais mempercayai saya menjadi ketua majelis Tarjih. Bagi saya, ini merupakan keputusan yang luar biasa, dalam arti kepemimpinan Majelis yang berasal dari tradisi Syariah beralih ke Ushuluddin,” demikian pengakuan M. Amin Abdullah ketika mengawali karier di Majelis Tarjih (Muhammad Husain Kamaruddi: 2017).
Pengalaman dan kesaksian ini pun kembali disampaikan Prof. Amin Abdullah ketika pada suatu sore hari penulis bersama Azaki Khoirudin dan Hendra Darmawan bersilaturrahim ke kediaman beliau. Kepada kami bertiga, Prof. Amin Abdullah menuturkan cerita bagaimana beliau bisa terlibat aktif di Muhammadiyah, khususnya di majelis yang paling vital dalam organisasi pembaruan Islam ini. Bahwa sosok yang paling berjasa mengajak dan mengenalkan beliau kepada Muhammadiyah adalah Prof. Asjmuni Abdurrahman. Tidak hanya diajak dan dikenalkan kepada Muhammadiyah, bahkan Prof. Amin Abdullah akhirnya mendapat amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam pada masa kepemimpinan Prof. Amien Rais.
Ibarat “tumbu ketemu tutup”—peribahasa mengandung arti “orang dalam momentum yang tepat”—kehadiran Prof. M Amin Abdullah adalah jawaban atas kegelisahan angkatan muda yang melihat gejala “ortodoksi ilmiah”—meminjam istilah Arthur Rorsch—yang sedang terjadi di tubuh Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Peran Prof. Asjumi Abdurrahman yang mampu menemukan talenta yang dibutuhkan Muhammadiyah pun pantas diapresiasi. Ibarat tubuh yang sakit, maka yang dibutuhkan adalah jasa seorang dokter yang mampu mendiagnosa penyakit dalam tubuh untuk kemudian diberi resep obatnya. Kehadiran Prof. Amin Abdullah dengan kecakapan keilmuan Filsafat adalah obat yang paling tepat untuk mendiagnosa penyakit yang bersarang di tubuh Majelis Tarjih. Krisis manhaj Muhammadiyah yang sebelumnya selalu dimonopoli oleh tradisi keilmuan syariah sedang mengalami gejala “ortodoksi ilmiah” sehingga harus didiagnosa secara filosofis untuk menemukan dan membedakan high order thinking dan low order thinking sehingga diketahui secara jelas dan tegas (clear and distinc) mana wilayah-wilayah al-tsawabit (hal-hal yang tetap, disting) dan al-mutaghayyirat (hal-hal yang dapat berubah, prediktif).
Selama masa kepemimpinan Prof. Amin Abdullah inilah, nomenklatur Majelis Tarjih ditambah dengan “Pengembangan Pemikiran Islam” (MTPPI). Sejak zaman pertama kali berdiri (1927) sampai masa kepemimpinan KH. Ahmad Azhar Basyir, nama unsur pembantu pimpinan ini selalu menggunakan nama “Majelis Tarjih.” Maka, penulis kembali mempertegas bahwa ini suatu momentum lompatan besar dalam sejarah organisasi Muhammadiyah. Dan tampaknya, penambahan “Pengembangan Pemikiran Islam” ini sejalan dengan kegelisahan angkatan muda yang menghendaki kembalinya fungsi Majelis Tarjih sebagai lembaga tajdid (pembaruan) yang menjadi identitas Muhammadiyah. Ditopang dengan political will dari orang nomor satu di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu Prof. Amien Rais, yang dikenal sebagai salah satu “Pendekar Chicago”—meminjam istilah Abdurrahman Wahid untuk menyebut tiga sosok intelektual lulusan Universitas Chicago: Nurcholis Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafii Maarif.
Lompatan besar dilakukan oleh Prof Amin Abdullah ketika memimpin Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan mengenalkan tokoh-tokoh epistemolog baru dalam Studi Islam kontemporer, sebut saja Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Abdullah Saeed, Ibrahim M. Abu-Rabi’, Abdolkarim Soroush, Jasser Auda, Khaled Aboe El-Fadl, dan lain-lain. Belum lagi pemikiran dari tokoh-tokoh Barat yang sangat berpengaruh dalam perkembangan keilmuan sosial (social humanities) kontemporer maupun ilmu-ilmu pasti lainnya. Lompatan paradigma ini telah melahirkan respons berupa guncangan besar di internal Muhammadiyah.
Jika sebelumnya tradisi epistemologi keilmuan di Majelis Tarjih masih terbatas pada penerapan pendekatan bayani (penjelasan deskriptif—verbal), maka lewat pemikiran M.’Abid Al-Jabiri, Prof. Amin Abdullah mengenalkan pendekatan burhani (demonstratif, positivistik) dan irfani (sufistik, asketis) sehingga memperkaya sekaligus memperluas radius Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Kehadiran tata norma baru internasional tidak bisa dihindari sehingga Muhammadiyah harus merespons dengan cara mengadopsi sekaligus mengadaptasi tata norma baru tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu legasi Prof. Amin Abdullah dalam pengembangan pemikiran metodologis di Majelis Tarjih (sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid) adalah penggunaan kerangka epistemologi dari M. ‘Abid Al-Jabiri ini, yaitu metode bayani, irfani, dan burhani (Muhammad Husain Kamaruddin:2027).
Guncangan besar di internal Muhammadiyah dimulai ketika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam mengeluarkan salah satu produknya, yaitu buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang memicu beragam respons negatif dari internal Muhammadiyah sendiri. Munculnya pandangan negatif ini menunjukkan gambaran senyata-nyatanya bahwa sebelum Prof Amin Abdullah menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, khazanah keilmuan keislaman di lingkungan persyarikatan benar-benar tertinggal jauh. Penulis punya pengalaman tersendiri terkait penerbitan buku ini. Yaitu, ketika salah seorang tokoh penting di salah satu Amal Usaha Muhammadiyah di Yogyakarta di depan penulis menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa sosok M. Amin Abdullah dianggap liberal dan sesat. Padahal, pada waktu itu Prof. M Amin Abdullah sedang menjabat sebagai salah satu ketua dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode Prof. Ahmad Syafii Maarif.
Kerangka-kerangka keilmuan epistemologis dari tokoh-tokoh lain, seperti teori Ibrahim M. Abu-Rabi’ dengan konsep studi Islam multiperspektif, teori perluasan maqashid dari Jasser Auda, dan konsep ijtihad progresif dari Abdullah Saeed tampak mewarnai kerangka metodologis dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah saat ini. Khusus pemikiran Abdullah Saeed tentang gagasan “Ijtihad Progresif,“ secara pribadi penulis memiliki pengalaman spesial dengan Prof. Amin Abdullah. Pada awal tahun 2019, penulis mendapat amanah khusus untuk menghimpun dan mengedit naskah buku Fresh Ijtihad: Manhaj Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi terbitan Penerbit Suara Muhammadiyah. Dari sinilah penulis mendapati banyak konsep-konsep teoritik Abdullah Saeed yang kemudian menginspirasi judul buku tersebut.
Penutup
Berpiknik lewat jendela buku, berdialog dengan teks-teks, dan menikmati lalu lintas konsep dan pemikiran keislaman di Muhammadiyah saat ini, penulis sebenarnya serasa seperti sedang membaca pikiran Prof. Amin Abdullah, khususnya ketika Majelis Tarjih dan Tajdid di bawah kepemimpinan Prof Syamsul Anwar. Kedua tokoh ini, sekalipun berbeda basis keilmuan, tetapi ketika menjadi nahkoda Majelis Tarjih sama-sama telah menciptakan lompatan besar paradigma keilmuan di Muhammadiyah.
Jika penulis meletakkan Prof. Amin Abdullah sebagai “dokter” atau “filsuf” yang berhasil melakukan diagnosa penyakit di dalam tubuh Majelis Tarjih atau seorang filsuf yang berhasil menemukan celah kekeliruan ataupun kesalahan konseptual dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, maka Prof. Syamsul Anwaradalah terapis yang mengobati penyakit atau penerjemah pikiran-pikiran filsafat keislaman kontemporer sehingga majelis ini mampu melahirkan produk-produk tarjih yang kontekstual dan tentunya yang relevan dengan dinamika zaman.
Daftar Pustaka
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengadjaran Islam jang Diselenggarakan oleh Muhammadijah, Singosari: Ken Mutia, 1962.
Kiyai Suja’, Islam Berkemajuan. Jakarta: al-Wasath, 2009.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tokoh dan Pimpinan Tarjih: Riwayat Hidup dan Pemikiran, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2017.
Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy. New York: Macmillan Publishing Co.Inc., 1981.
Mustafa Kamal & Adabi Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2000.
“Poetoesan Madjlis Tardjih” dalam Congres Moehammadijah Djokjakarta, Boeah Congres Akbar Moehammadijah Ke 29.
Artikel dan Media Massa
- Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago,” Tempo, 27 Maret 1993.
- Arthur Rorsch, “The Progress of Science: Past, Present and Future,” www.mdpi.com/journal/humanities. Published: 2 October 2014. (Diakses 26 Februari 2018).
- Djarnawi Hadikusuma, “Muhammadiyah Mulai Siapkan Kader Ulama”, Suara Muhammadiyah, Nomor. 15/65/1985.
- “Fungsionalisasi Majlis Tarjih: “PR” Zakat Profesi”, Suara Muhammadiyah, no. 2/66/Th. 1986.
- Muhammad Husain Kamaruddin, “Muhammad Amin Abdullah: Tokoh Studi Islam dan Perumus Pengembangan Manhaj Tarjih” dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tokoh dan Pimpinan Tarjih: Riwayat Hidup dan Pemikiran, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2017.
- Mu’arif, “Dari Pengajian Hingga Pengajaran,” Langkah Baru no. 07/th ke-2/Mei-Juni 2009.
- H. Fachrodin, “Agama Islam Nyawa Kemajuan.” Soewara Moehammadijah, no. 4/th ke-3/1922.
- K.H. Ahmad Dahlan, “Agama Islam.” Sworo Moehammadijah, nomor 2 tahun 1915.
- “Kamardikan,” Soewara Moehammadijah No. 1 Tahun 1922.
- Irfan Nurdin, “K.H. Mas Mansur: Pencetus Lahirnya Majelis Tarjih” dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tokoh dan Pimpinan Tarjih: Riwayat Hidup dan Pemikiran, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2017.
- Iva Fauziah, “K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.: Pejuang Hukum Islam Indonesia” dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tokoh dan Pimpinan Tarjih: Riwayat Hidup dan Pemikiran, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2017.
- Siti Bariyah, “Tafsir Maksoed Moehammadijah.” Soewara Moehammadijah nomor 9 tahun ke-4 bulan September 1923.
Mu’arif
Pengkaji sejarah Muhammadiyah, menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.