Oleh: Abbas Langaji
Tersebutlah seorang eksekutif muda (eksmud) baru mengubah jalan hidupnya. Dia pun berusaha untuk selalu datang ke masjid. Termasuk saat shalat Jumat. Tapi namanya juga eksmud, kemana-mana smartphone tak pernah lepas dari tangannya.
Sial, saat sholat Jumat saat khatib naik mimbar, dia lupa untuk mengubahnya ke mode silent. Walhasil, saat suasana di masjid itu hening karena mendengar khutbah, tiba-tiba smartphone menyalak keras. Sontak sebagian jamaah yang duduk di dekatnya berpaling padanya.
Tidak cukup itu. Kegeraman pun merayap pada sang khatib. Dia pun serta merta menegur sang eksmud dengan mengumandangkan berbagai ancaman dosa dan siksa neraka bagi jemaah yang melakukan aktivitas lain ketika khutbah berlangsung. Apalagi sampai mengganggu jemaah lainnya.
Sang Khatib pun membacakan potongan hadits yang artinya barangsiapa orang yang berbuat sia-sia maka tidak mendapatkan pahala Jumat. Dengan kata lain, yang bersangkutan tidak akan memperoleh pahala apapun alias jumatannya hari itu sia-sia.
Merasa disalahkan dari berbagai perspektif dan tak satu pun jamaah yang berkenan membelanya, sang eksmud itu bersumpah tidak akan ke masjid lagi. Di benaknya, kehadirannya di rumah Tuhan justru menjadi korban hujatan dari orang-orang yang menurutnya tidak berempati pada dia, yang "baru belajar bermain" di masjid.
Beberapa hari berikutnya, sang eksmud kambuh lagi penyakit lamanya. Dia kembali menghabiskan malamnya di kafe dan bar. Pada suatu ketika tanpa sengaja dia membuat kegaduhan. Tangannya menyenggol gelas berisi minuman yang ada di atas meja di hadapannya. Gelas pun pecah dan minuman pun tumpah.
Yang terjadi kemudian, orang-orang di sekitarnya berdatangan. Mereka yang beranjak pun seperti berbagi peran. Ada yang menyapanya sekadar memastikan keadaannya baik-baik saja, ada yang menyodorkan kertas tisu, ada yang memanggil petugas untuk membersihkan sisa-sisa pecahan gelas, bahkan ada memastikan tas dan ponselnya aman dari percikan minuman.
Tidak lama kemudian, manajer kafe itu pun datang dan memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Dia juga memastikan bahwa situasi dan kondisinya tetap baik, aman, dan terkendali. Dengan dalih kesalahan itu terjadi karena kesalahannya, manajer meminta minuman pengganti. Pelayan pun datang segelas minuman gratis dengan tersenyum manis.
Dengan kondisi tersebut, sang eksmud pun merasa nyaman dan kemudian betah. Tentu bak langit dan bumi dengan yang dirasakan saat berada di masjid. Saat itu pula, dia bertekad akan lebih sering datang berkunjung ke tempat tersebut.
Dua fragmen kisah imajiner itu setidaknya patut menjadi renungan bagi kita, khususnya yang mengelola dan mengurus rumah Tuhan. Kita dituntut untuk mewujudkan agar rumah Tuhan senantiasa ramai dan makmur. Setiap pengunjung yang datang harus dibuat menjadi betah dan nyaman. Bukan sebaliknya.
Sungguh ironis bila kemudian para pengelola tempat hiburan seperti kafe lebih berhasil membuat para pengunjungnya lebih nyaman dan betah saat berkunjung. Padahal kita tahu sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruh, pengunjung rumah Tuhan adalah mereka yang tengah berburu ketenangan batin (spritual) dengan mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta?
Kalau toh mereka melakukan masalah seperti merusak ketenangan pengunjung lain, yang bisa saja di luar kuasanya atau karena ilmu yang masih kurang, bukankah agama menawarkan metode yang beragam untuk menyadarkan setiap orang dengan beragam karakter dan latar belakang.
Salah satunya, misalnya dalam kalimat serulah manusia ke jalan Tuhan sesuai dengan kadar keilmuan dan status sosialnya. Pada saat yang sama, Al-Qur'an jauh sebelumnya sudah menekankan metode Mau'idzha al Hasanah, yakni dakwah yang bertujuan untuk memberi kesan pada jemaahnya bahwa juru dakwah adalah teman dekat yang menyayangi.
Di samping itu, dalam metode ini, juru dakwah berperan mencari segala hal yang bermanfaat dan membahagiakan jamaahnya,sasaran dakwah. Dengan kalimat lain, metode dakwah bertujuan agar seseorang merasa dihargai sehingga membuatnya tersentuh. Itu terjadi karena sang pendakwah mengedepankan konsep kasih sayang dalam khutbahnya tanpa membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain.
Abbas Langaji, Rektor IAIN Palopo