Senin (16/9/2024) lalu menjadi hari yang amat menggembirakan bagi Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Pasalnya, tokoh yang akrab disapa Gus Yahya ini bisa menghadiri forum penting yang digelar lembaga ternama dan berpengaruh di Amerika Serikat. Saya Ahmad Ghufron Siroj (sekretaris pribadi Gus Yahya) turut mendampingi kunjungan tersebut.
Bertolak dari Jakarta Ahad (15/9/2024) dini hari waktu Indonesia bagian barat, kami mendarat di Washington, DC, Amerika Serikat, pukul 17.15 waktu setempat. Agenda padat Senin (16/4/2024) sudah menanti. Hari itu kami tak hanya menghadiri satu acara tapi beberapa acara yang digelar dalam pertemuan terpisah secara maraton, dari pagi hingga malam hari.
Mulai pukul10.00 waktu setempat, Gus Yahya menjadi tamu dalam sebuah diskusi dengan para pakar di The Heritage Foundation. Lembaga ini merupakan think tank atau salah satu aktor yang berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan pada politik Amerika Serikat, khususnya di kalangan Partai Republik.
Di markas organisasi itu, Gus Yahya bertemu dan berdiskusi di antaranya dengan Dr. Edwin Feulner (pendiri The Heritage) dan Jeff Smith (Direktur Pusat Studi Asia di lembaga itu).
Dalam diskusi itu, Gus Yahya memaparkan potensi peran penting Indonesia dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam dinamika geopolitik, khususnya di dunia Islam dan di kawasan Indo Pasifik. Para pakar yang hadir terlihat menyimak dengan tekun dan cermat apa yang dipaparkan Ketua Umum PBNU itu.
Usai paparan, Jeff Smith menyatakan komitmennya untuk berusaha mendukung pengembangan kerja sama dengan Indonesia, khususnya NU, dengan cara apa pun di masa depan.
Usai pertemuan selama dua jam lebih itu, kami diajak makan siang bersama Peter Berkowitz, mantan Kepala Divisi Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri AS yang memiliki pengaruh dan jaringan luas di lingkaran-lingkaran pembuatan kebijakan di negara Paman Sam itu. Berkowitz bukan orang asing bagi Gus Yahya. Karena ia pernah terlibat sebagai narasumber dalam forum R20 yang digelar NU di Bali, November 2022.
Dalam jamuan makan siang itu, Berkowitz memuji inisiatif yang telah digelar NU itu. Kata dia, forum itu merupakan inisiatif luar biasa penting yang meninggalkan kesan tak terlupakan. Karena kesan itu, ia lantas menyambungkan Gus Yahya dengan simpul-simpul strategis di AS yang diharapkan dapat mendukung dan membantu NU dalam inisiatif-inisiatif internasional lebih lanjut.
Usai jamuan makan siang, Gus Yahya beranjak ke markas The Atlantic Council. Ini adalah sebuah think tank lain dari poros yang berbeda. Di hadapan para pakar, termasuk Fred Kempe (Presiden dan CEO The Atlantic Council), William Wechsler (Direktur Senior The Hariri Center dan Program-program Timur Tengah), Ryan Arant (Direktur The N7 Research Institute—sebuah lembaga penelitian tentang perdamaian di Timur Tengah), dan Dr. Matthew Kroenig (Direktur Senior pada Scowcroft Center for Startegy and Security—sebuah pusat riset dan pengembangan kebijakan di bidang keamanan), Gus Yahya memaparkan pentingnya mendorong integrasi dunia Islam kedalam sistem global.
Selain itu, Gus Yahya juga mendorong terwujudnya tatanan internasional yang sungguh-sungguh adil dan harmonis yang ditegakkan di atas prinsip penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia.
Dalam dialog itu, The Atlantic Council menyambut gembira inisiatif-inisiatif yang dilakukan NU. Ia berkomitmen mendukung dan membantu NU dalam inisiatif-inisiatifnya di arena Internasional.
“Saat ini di Amerika sedikit sekali yang memahami arti penting peran NU dalam dinamika Global. Tapi saya sangat paham, paham sepenuhnya,” bisik Fred Kempe kepada Gus Yahya saat perpisahan.
Malam harinya, Johnnie Moore, seorang tokoh Evangelis terkemuka, mengatur pertemuan makan malam Gus Yahya bersama sejumlah tokoh kunci dari berbagai kalangan di Amerika. Mulai dari kalangan media, politikus, investor dan pelaku industri, filantropi, dan teknologi. Hadir dalam jamuan makan malam itu di antaranya Michael Abramowitz (Direktur Voice of America) dan John W. McArthur (senior fellow dan direktur pada The Center for Sustainable Development at The Brooking institution).
Pada kesempatan itu, Gus Yahya menguraikan gagasan tentang fiqih peradaban dan pentingnya mengukuhkan kembali prinsip-prinsip dasar dalam Piagam PBB. Menurut Gus Yahya, ini penting demi mencegah berlanjutnya konflik internasional yang cenderung meluas dan berpotensi menyulut perang besar-besaran di masa depan.
Senin itu pertemuan berlangsung hingga malam. Kami kembali ke hotel untuk istirahat sebelum keesokan harinya atau Selasa (17/9/2024) siang waktu setempat, harus kembali menghadiri agenda seminar bertajuk “A Multi-Religious Path Towards Middle East Peace” (Jalan Multi-Agama Menuju Perdamaian Timur Tengah) di The Washington Institute for Near East Policy. Seminar yang dipandu Robert Sotloff, Direktur Eksekutif lembaga, Gus Yahya diundang menjadi salah satu narasumber.
Selesai? Belum. Usai seminar, Gus Yahya melakukan pertemuan diplomatik dengan Uzra Zeya, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Bidang Keamaan, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, di Kantor Kementerian Luar Negeri AS, sebelum kemudian langsung bertolak ke New York.
Di New York, Gus Yahya telah dijadwalkan menghadiri sejumlah agenda pada Rabu (18/9/2024).
*Ahmad Ghufron Siroj, Waketum GP Ansor dan Sekretaris Pribadi Ketum PBNU
Ahmad Ghufron Siroj
Waketum GP Ansor dan Sekretaris Pribadi Ketum PBNU