Aku adalah Al-Ma’mun, khalifah Abbasiyah ketujuh yang terukir dalam sejarah sebagai penguasa besar. Dalam Bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir — legenda sejarawan Islam klasik, mencatat silsilahku tersambung pada Abu al-Abbas al-Saffah, pendiri Dinasti Abbasiyah yang merupakan keturunan Abbas bin Abd al-Muttalib. Dengan begitu, al-Saffah, kakek keenamku, adalah sepupu jauh Nabi Muhammad. (Ibnu Katsir, vol. 14)
Orang-orang mengenangku sebagai orang dengan kecerdasan yang mumpuni, sebab aku mencintai ilmu dan kebebasan berpikir. Aku juga disebut bijaksana karena mampu mengelola kerajaan yang begitu luas. Jalaluddin al-Suyuthi, sejarawan yang tidak kalah kondang dengan Ibnu Katsir, dalam Tarikh al-Khulafa memujiku sebagai tokoh Abbasiyah yang paling top, berkemauan kuat, penyabar, berwawasan luas, cemerlang, cerdik, dan berwibawa. (as-Suyuthi, 244). Syasuddin adz-Dzahabi, ulama eksiklopedik kelahiran Damaskus, dalam Siyar A’lam al-Nubala, mengelukan perangaiku yang katanya benar-benar sempurna. (adz-Dzahabi, vol. 10, 273)
Tapi, di balik itu para sejarawan juga mencatat kisah kelamku. Di balik kejayaanku sebagai khalifah, ada tetes darah dan air mata. Di balik perangainya yang sempurna, Al-Ma’mun, selain harus bertarung dengan musuh-musuh dari luar, tapi juga dengan saudaranya sendiri. Di balik mentereng silsilah nasabnya, Al-Ma’mun harus membunuh saudara kandungnya, Al-Amin, untuk merebut kekhalifahan ini.
Ya, sekarang aku akan bicara tentang sesuatu yang lebih dalam, lebih getir—politik. Politik bagi-bagi kekuasaan, atau power-sharing, seperti dikatakan Arend Lijphart, ilmuwan politik Belanda. Inilah jalan politikku—jalan yang penuh duri, yaitu bagi-bagi kekuasaan.
Perebutan Kekuasaan
Semua berawal saat ayahku, Harun al-Rasyid, membagi kekuasaan di antara anak-anaknya. Al-Amin, saudara kandungku, mendapat takhta di Baghdad. Aku hanya diutus ke Khurasan untuk mengelola wilayah yang jauh di timur. Bukan pembagian yang adil. Tentu aku lebih cerdas dan lebih pantas menjadi khalifah. Tapi ayah memilih Al-Amin, karena dia anak dari Zubaydah -- istri Arab bangsawan. Sedangkan aku hanya anak dari seorang selir Persia.
Zubaydah adalah perempuan terhormat dan bangsawan dari keluarga Abbasiyah, cucu dari Khalifah Al-Mansur. Banyak kitab sejarah berkisah tentang itu. Adz-Dzahabi misalnya, dalam buku biografi babonnya yang kini menjadi koleksi perpustakaan-perpustakaan raksasa, Siyar A'lam al-Nubala, menulis Zubaydah sebagai sosok perempuan terpandang. (Adz-Dzahabi, vol. 10, 241)
Selain itu, Zubaydah juga terkenal sebagai wanita yang sangat berpengaruh di Istana, kaya raya, dan dikenal karena kontribusinya dalam membangun berbagai fasilitas di Mekah, seperti pembangunan saluran air yang terkenal.
Sedangkan Marajil al-Badghisiyyah, ibuku, hanya hamba sahaya dari Badghis, di wilayah Persia yang sekarang menjadi bagian dari Afghanistan. Dia wong cilik yang tidak dilirik sejarawan. Coba saja anda lihat Siyar A'lam al-Nubala, dibuka dari jilid pertama sampai jilid terakhir —ke-30, tidak akan menemukan catatan apa pun tentang dia.
Ketika ayahku —Harun al-Rasyid— wafat, semua berubah. Al-Amin ingin memerintah sendirian dan tak ingin berbagi. Perang saudara -- yang menghancurkan persaudaraan, kota-kota, rakyat, pun meletus. Pada akhirnya, aku menang. Saudaraku mati lalu aku duduk di atas takhta Baghdad.
Namun, apa yang kudapatkan? Sebuah kekhalifahan yang hancur, penuh dengan intrik, pemberontakan, dan ketidakpuasan. Al-Amin tetaplah Al-Amin, saudaraku sendiri. Kematiannya menyisakan rasa bersalah besar dalam diriku. As-Suyuthi sudah mengisahkan cukup detail peristiwa getir ini dalam Tarikh al-Khulafa.
Syamsuddin adz-Dzahabi sejarawan lainnya, melukiskan kekacauan Baghdad akibat perang saudara saat itu dalam Tarikh al-Islam -- dengan kutipan syair berikut:
بكيت دما على بغداد لما * فقدت غضارة العيش الأنيق
أصابتنا من الحساد عين * فأفنت أهلها بالمنجنيق
Kutatap tangisku, air mata darah mengalir deras,
Sirna sudah keelokan hidup, terhapus tanpa bekas.
Karena hasutan jahat yang membakar jiwa,
Penduduk musnah di bawah hempasan manjaniq yang menggila.
(adz-DZahabi, 50)
Berbagi Kekuasaan
Setelah perang saudara usai, aku sadar membutuh banyak dukungan. Bukan hanya dari satu kelompok, tapi dari berbagai kelompok yang membentuk kerajaan Abbasiyah. Satu-satunya jalan adalah dengan berbagi kekuasaan. Meski memenangkan takhta, aku tak bisa sepenuhnya berkuasa.
Aku harus berbagi kekuasaan dengan para pemimpin Khurasan. Orang-orang Persia yang kuat itu membantuku naik takhta tentu ingin dihargai. Aku memberikannya dengan menempatkan di posisi strategis. Al-Fadl ibn Sahl menjadi perdana menteri, Al-Hasan ibn Sahl sebagai gubernur Persia, dan Tahir ibn Husayn sebagai gubernur Khurasan.
Pada saat yang sama, aku juga harus menjaga keseimbangan dengan kelompok Arab. Agar tak memberontak, mereka yang selalu merasa lebih berhak atas kekhalifahan ini. juga harus kuberi tempat, agar tak memberontak.
Lalu ada kelompok lainnya: Syiah. Aku harus berurusan dengan mereka. Syiah menginginkan keturunan Ali sebagai penerus kekhalifahan, sesuatu yang selama ini ditolak oleh dinasti kami, Abbasiyah. Aku tahu, Syiah bisa menjadi ancaman serius jika dibiarkan tumbuh di bawah tanah. Aku mengambil langkah kontroversial yang akan mengejutkan banyak pihak. Aku tetapkan Ali bin Musa al-Ridha, Imam Syiah sebagai calon penerusku. Ini memang politik dan politik adalah tentang kompromi.
Dengan cara ini, aku bisa meredam Syiah dan menjaga stabiltas. Nyatanya memang tidak mudah. Mereka dari kalangan Sunni merasa terancam. Gelombang ketidakpuasan mulai muncul. Sebelum semuanya semakin rumit, Ali al-Ridha meninggal secara mendadak. Orang-orang bicara tentang racun, tapi aku tak akan berkomentar lebih jauh. Yang jelas, posisinya dihapus. Begitulah politik. Sekali lagi, bagi-bagi kekuasaan tak selalu bisa dilakukan tanpa pengorbanan.
Terkait kematian Ali al-Ridha, Ibnu Katsir mengisahkan aku begitu terpukul atas kepergiannya. Sebagai bentuk hormat, jasadnya aku kebumikan di samping pusara ayahku, Harun ar-Rasyid, di Kota Thus, Iran. (Ibnu Katsir, vol. 14, 126)
Selalu Ada Tempat untuk Pendukung
Di bawah pemerintahanku, aku membangun kembali kekaisaran ini dengan cara yang berbeda. Aku buka pintu bagi semua golongan. Bukan hanya Arab, tapi juga Persia, Syiah, Sunni, dan kelompok lainnya. Siapa pun yang bisa menjaga stabilitas dan memberikan dukungan, selalu ada tempat buat mereka.
Tetapi, jangan salah paham. Bagi-bagi kekuasaan ini bukanlah tanda kelemahanku. Justru sebaliknya. Inilah bukti kebijaksanaanku. Kekhalifahan yang begitu besar seperti Abbasiyah tidak bisa dipimpin dengan tangan besi saja melainkan juga memerlukan kebijaksanaan, negosiasi, dan kesediaan untuk berbagi, bahkan kepada mereka yang pernah menjadi musuh.
Sepertinya orang melihatku sebagai penguasa yang bijak. Tapi, di balik senyuman ini, selalu ada kalkulasi politik yang rumit. Di balik bagi-bagi kekuasaan ini ada pengorbanan, rasa kehilangan, juga perasaan bersalah. Seperti ketika aku harus membunuh saudaraku sendiri. Ya, Al-Amin harus mati agar aku bisa memimpin. Inilah harga politik.
Sehingga saat kalian mengenang Al-Ma’mun sebagai khalifah cendekia yang mencintai ilmu, aku juga pemain politik yang harus tahu kapan bertindak tegas dan saat bersikap lunak. Politik bagi-bagi kekuasaan bukanlah tanda kelemahan. Sebab dalam politik hanya ada satu aturan: bertahan atau binasa.
Muhamad Abror
Dosen Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.