"Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama."
Kalimat itu milik R.A Kartini yang sudah berumur lebih dari seabad. Meski usianya sudah cukup tua namun masih begitu relevan dengan zaman. Di abad ke-21, dengan segala keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologinya masih kita jumpai narasi yang mendukung pernikahan anak dengan balutan agama.
Alasan mendukung pernikahan itu beragam, mulai dari menghindari zina, mencari pahala, hingga mengikuti sunnah Rasul. Pemahaman itu bisa disebut sempit kalau tidak mau dikatakan sesat pikir. Antara permasalahan yang disuguhkan dengan jawaban yang diberikan tidak make sense. Mendorong pernikahan anak dengan alasan demikian seperti berusaha menjauh dari kandang ular tapi mempersilakan diri masuk ke kandang singa. Menghindari luka untuk menjemput kematian.
Jika yang dipermasalahkan adalah soal menghindari zina, semestinya jawaban yang lebih tepat adalah memberikan seks education yang komprehensif pada masyarakat sedini mungkin agar anak-anak bisa paham bahaya dan risiko dari perbuatan zina, atau dengan memberikan space yang lebih luas dan bervariatif bagi anak muda untuk mengoptimalisasikan potensi dirinya.
Untuk alasan mencari pahala dan mengikuti sunnah Rasul, ini memerlukan kajian secara kontekstual. Nash ayat suci ataupun sunnah selalu terikat oleh konteks ruang dan waktu. Kita tidak bisa melakukan 'cocoklogi' nash hanya demi kepentingan pribadi.
Karena itu, alternatif menyoal pahala dan sunnah dapat dilakukan dalam bentuk lain seperti ritual ibadah secara pribadi, menolong orang lain, memberi makan fakir miskin, berbuat baik pada keluarga, menuntut ilmu dan sejuta hal lain. Aktivitas itu dirasa lebih mengandung manfaat dan pahala ketimbang melahirkan permasalahan baru seperti pernikahan anak.
Memberikan solusi dari permasalahan zina dan upaya mengikuti sunnah Rasul melalui pernikahan anak jelas bukan hal yang tepat. Pernikahan anak hanya akan melahirkan berbagai permasalahan karena belum siapnya perangkat-perangkat yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Perangkat itu meliputi kesiapan finansial, psikologis, biologis, dan pengetahuan. Ketika hah-hal tersebut absen, hubungan pernikahan akan rentan pada kekerasan seksual, penelantaran anak, perceraian, perdagangan manusia, hingga kematian.
Film dokumenter berjudul Wadon Ora Didol (2022) garapan Watchdoc Documentary mengisahkan dampak pernikahan anak yang terjadi di Indramayu. Bu Rusminah, salah satu korban dalam praktik tersebut mengatakan bahwa pernikahan anak tidak akan mudah untuk dijalani karena banyak menimbulkan permasalahan yang rumit. Lalu, salah satu korban juga mengisahkan nasibnya yang harus bekerja dalam lingkup prostitusi karena menikah diusia dini.
Dalam film tersebut, pernikahan anak rentang dengan tindakan objektifikasi perempuan, kekerasan juga perampasan hak untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat.
Tidak cukup dalam film, negara yang mengalami permasalahan serupa seperti India dan Mesir juga merekam dampak yang terjadi akibat perkawinan anak melalui novel Homeless Bird (2000) gubahan Gloria Whelan dan Perempuan di Titik Nol (2018) gubahan Nawal El Saadawi adalah dua karya yang menggambarkan dampak perkawinan anak terutama bagi perempuan.
Homeless Bird (2000) menceritakan seorang anak bernama Koly yang harus melangsungkan pernikahan diusia yang belum genap empat belas tahun. Meski alasan pernikahan yang dibangun berdasarkan atas tradisi, tetapi iming-iming yang diberikan hampir sama dengan orang-orang yang kerap menggunakan dalih agama, yaitu terkait pada ketentraman kebahagiaan, pahala dan masa depan yang lebih cerah.
Nyatanya, pernikahan anak tidak sesuai dengan apa yang digambarkan. Koly justru menemukan dirinya terasing di keluarga barunya karena dianggap tidak memiliki kontribusi apapun. Ia justru merasa terbuang dan tersesat dalam dunia yang kejam dan tidak dikenalnya. Perampasan hak memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk mengoptimalisasikan potensi diri membuat Koly terjebak pada kondisi hidup yang menyedihkan.
Dalam Perempuan di Titik Nol (2018), pernikahan anak menjerumuskan gadis kecil penuh impian ke dalam lingkar prostitusi. Pengalaman itu dikisahkan oleh Nawal melalui sosok bernama Firdaus. Paksaan keluarga yang mendorongnya untuk menikah di usia dini membuatnya berkali-kali menerima kekerasan seksual baik dalam bentuk fisik maupun psikologis. Kondisi itu pada akhirnya menjebaknya dalam lingkar prostitusi.
Kita juga menemukan salah satu publik figur yang sempat mempromosikan pernikahan muda dengan dalih agama. Yang terjadi, pada tahun 2021 pernikahan itu diakhiri perceraian. Pihak perempuan mengungkapkan bahwa sang suami tidak memenuhi tanggung jawab secara psikologis baik untuk dirinya maupun anak.
Yang kita pahami, pernikahan anak melahirkan sengkarut persoalan yang merugikan banyak pihak. Mula-mula pada pasangan, lalu berdampak pada anak. Lingkaran itu memberikan efek domino tidak hanya pada masalah individu tapi juga generasi masa depan yang akan menentukan arah masyarakat, negara juga dunia.
Indonesia menjadi negara kedua tingkat ASEAN dan ketujuh dunia sebagai negara dengan perkawinan anak terbanyak. Angka itu semestinya sudah menjadi peringatan bagi berbagai elemen untuk saling bahu membahu menuntaskan permasalahan tersebut, termasuk melalui pintu agama. Agama sejatinya memuat nilai kemaslahatan dan prinsip rahmatan lil’alamin yang bisa dijadikan sebagai alat untuk memutus permasalahan pernikahan anak.
Ketika kita menemukan dalih agama justru digunakan sebagai justifikasi atas tindakan yang melahirkan kerugian juga kerusakan di muka bumi, sudah bisa dipastikan sang mengutip tidak sungguh-sungguh memahami tujuan dan konteks dari nash yang dibawa.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.