Dark
Light
Dark
Light

Geger Tuduhan Komunisme di Klenteng Hon Sang Kiong

Geger Tuduhan Komunisme di Klenteng Hon Sang Kiong

GEGER menyusul peristiwa G30S pada 1965, akhirnya merambat juga ke Gudo, Jombang, Jawa Timur. Klenteng Hon Sang Kiong, yang menjadi rumah ibadah umat Konghucu tak luput dari sasaran. Ketika itu apa pun yang berbau Tionghoa adalah komunisme.

Pada 1967, sekelompok orang yang dibawa dua truk merangsek di jalan menuju klenteng. Tujuan mereka menutup rumah ibadah itu. Namun iringan itu terhenti sekitar 500 meter sebelum sampai di tujuan.  

Seorang lelaki berdiri dan mengusir mereka untuk menjauh dari klenteng. Satu pesannya  tak ada yang boleh menganggu umat Konghuchu di Gudo. Seketika gerombolan itu pun menurut. Mereka pergi dan tak pernah kembali.

Lelaki itu Abdul Aziz, seorang tokoh masyarakat muslim di Gudo. Dia adalah kakek dari Shinta Nuriyah, istri KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. “Kala itu, dia mengatakan klenteng itu tidak boleh ditutup,” kata Nanik Indrawati, 55 tahun, salah satu pengurus Klenteng Hon Sang Kiong. 

Keberanian Abdul Aziz itu sejatinya merupakan cermin dari sikap warga Gudo, yang telah hidup berdampingan dengan kaum Tionghoa bahkan jauh sebelum pecah prahara yang menyebabkan Orde Lama tumbang itu. 

Di sana, warga muslim dan umat konghucu telah hidup berdampingan dengan damai. Klenteng yang sudah berdiri sejak 1883 itu adalah saksi betapa warga di sana memang sudah guyub dan saling bersaudara.  

Sejak diusir Abdul Aziz, tak pernah ada lagi gangguan yang datang ke klenteng Hon Sang Kiong. Dengan dukungan masyarakat di sana pula umat Konghuchu di Gudo tetap melakukan kegiatan peribadatan ketika banyak klenteng ditutup. 

Tidak hanya itu, mereka pun dapat menggelar pertunjukkan wayang potehi -- kesenian yang memadukan budaya Nusantara sama Tionghoa, ketika segala kesenian yang berbau Tionghoa di Indonesia dilarang. Tentu saja, mereka sangat gembira. Setidaknya mereka masih bisa memahami dan mempelajari apa yang dititahkan dan diwariskan oleh leluhurnya.

“Pergelaran wayang potehi hanya boleh di sini dan Semarang. Kalau tempat lain ya nggak boleh,”  kata  Nanik. “Di sini pun masyarakat membolehkan dan bahkan mendukung kami menggelar pertunjukkan wayang potehi.

Toh begitu, semua kegiatan agama, sosial, dan budaya hanya bisa digelar di Gudo. Bagaimana pun, Orde Baru tak main-main. Mereka bisa menggaruk siapapun yang berani menggunakan simbol Tionghoa di muka umum. 

Reformasi akhirnya menumbangkan Orde Baru. Saat menjadi Presiden, Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 – yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. 

Dengan Keppres itu, Gus Dur ingin memberikan kebebasan pada etnis Tionghoa untuk menjalankan agama, kepercayaan, dan adat-istiadat dengan tenteram seperti warga negara lainnya.

Tak pelak, Nanik dan umat Konghuchu di seluruh negeri ini merasakan angin segar setelah sekian lama berusaha dibungkam oleh rezim Orde Baru. Mereka pun menganggap Gus Dur sebagai sosok pahlawan. Mereka turut memperingati haulnya setiap 30 Desember.

“Gus Dur sangat berjasa bagi kami. Ia memberi kami kesempatan untuk dipersamakan sebagai minoritas dengan warga negara lain,” akunya.

Abdul Aziz dan Gus Dur meninggalkan warisan tentang pentingnya menjaga keberagaman di sana. Warga muslim dan Konghucu pun hidup damai di sana.  Klenteng kemudian menjadi “rumah” bersama. 

Di sana sering pula digelar kegiatan pengajian, sholawatan, dan acara lainnya. Eratnya kekeluargaan pun kian terasa saat Ramadhan tiba. Selain memajang poster ajakan untuk menghormati kaum muslim dalam menjalani ibadah puasa, mereka juga memberikan makanan berbuka puasa atau takjil, kepada masyarakat Muslim di Gudo. 

“Terus kalau puasa kan kita biasanya bagi-bagi makanan untuk berbuka. Ya, masyarakat sini yang dibagi,” tuturnya. 

Di klenteng pula, menjadi tempat leburnya masyarakat dalam kegiatan seni dan budaya. Warga sekitar mendatangi klenteng untuk menonton pertunjukan wayang kulit yang sering digelar selepas perayaan Imlek. “Ketika pandemi, kami tak sempat nanggap wayang. Mereka bertanya kapan nanggapnya,” ungkapnya.

Masyarakat Gudo juga begitu antusias mengikuti pelatihan Barongsai -- yang diberikan instruktur dari kalangan Tionghoa. Mereka lebur di sana. Pun dengan saat wayang potehi digelar di sana. 

Toni Harsono (55), pelestari wayang potehi setiap malam agar masyarakat sekitar bisa tertarik dan kemudian ingin belajar. Dengan cara ini, ia berharap dapat memiliki generasi penerus yang menjaga wayang potehi dari kepunahan.

"Kami menerima siapa pun yang ingin belajar wayang potehi. Sekarang ini, yang main wayang potehi justru lebih banyak dari kalangan yang bukan berasal dari Tionghoa," ujarnya.

Klenteng Hon Sang Kiong, yang telah berusia lebih dari satu abad, telah menjadi saksi betapa harmonisnya hubungan umat Konghuchu dan Muslim di Gudo. Perbedaan yang ada di antara mereka bukan menjadi penghalang terwujudnya persaudaraan.  

 

=============   
Liputan ini terbit atas kerja sama Arina.id dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama.


$data['detail']->authorKontri->kontri

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Home 2 Banner

Khazanah Lainnya

Home 1 Banner