Qasidah Burdah karangan Imam al-Bushiri adalah sekumpulan syair pujian terhadap Nabi Muhammad SAW. Burdah begitu populer dan menuai banyak sanjungan dari para sufi. Beberapa dari mereka telah memberikan ulasan, meringkas, menambah, dan menggubah puisi dengan meniru pola serta ritme yang khas dari al-Bushiri.
Sejumlah komentar dan buku-buku tentang syair al-Bushiri juga telah disusun tidak hanya dalam Bahasa Arab, tetapi dalam berbagai bahasa.
Di beberapa kelompok tarekat, Burdah telah diadopsi sebagai salah satu awrad (syair) yang dibacakan di pagi dan malam hari dengan penuh penghormatan dan penjiwaan yang sangat dalam. Hingga hari ini, bait-baitnya dibaca sebagai mantra perlindungan dan permohonan kepada Allah SWT untuk meminta kesehatan, sebagai wasilah permohonan ampun kepada Allah SWT dan sebagai syair kerinduan kepada Nabi SAW. Sejumlah aturan juga diterapkan untuk pembacaan Burdah, seperti harus berwudhu, menghadap kiblat dan sebagainya.
Imam Ibn Hajar al-Haytami (w. 974/1567), hanya beberapa generasi setelah al-Bushiri, menulis tentang Burdah, “Popularitasnya telah berkembang hingga orang-orang mempelajarinya di rumah-rumah dan masjid-masjid seperti halnya mereka mempelajari al-Qur’an.” Hal inilah yang melatarbelakangi adanya majelis pembacaan Burdah di Syam, Mesir dan Maghribi (Maroko), terutama pada Kamis malam. Selama majelis berlangsung, setiap orang akan bergantian melantunkan syair tersebut, bait demi bait, maupun per bab. Tradisi demikian bahkan telah mengakar kuat hingga ke Indonesia sampai hari ini. Di langgar-langgar, musala, masjid dan di hampir seluruh pesantren.
Selama berabad-abad, umat Islam di seluruh dunia telah mengajarkan anak-anak mereka Burdah di samping mengajarkan al-Qur’an di makatib (sekolah-sekolah yang dikhususkan untuk pengajaran bahasa Arab dan menghafal al-Qur’an). Dengan cara ini, mereka berusaha untuk menyatukan al-Qur’an yang mulia – yang merupakan sumber dari segala pengetahuan – dengan Burdah, yang mengartikulasikan perasaan kasih sayang yang paling murni dan paling kuat kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan cara inilah, masayarakt Muslim tradisional berusaha untuk membangun dasar-dasar keimanan yang kokoh dan tidak tergoyahkan dalam hati dan pikiran anak-anaknya. Mereka meyakini bahwa keimanan yang baik tidak dapat dibangun kecuali atas dasar cinta yang dalam dan mendalam.
Imam al-Bushiri
Memiliki nama asli Imam Syaraf al-Diin Muhammad bin Sa’id Hammad al-Sanhaji al-Bushiri (lahir 1 Syawal, 608 M/ 7 Maret 1213 – wafat 695 M / 1295 H) adalah seorang ulama ahli sastra puji-pujian kenabian).
Imam al-Bushiri terkenal karena syair-syairnya yang mengangungkan Rasulullah SAW dan masyhur di seluruh penjuru bumi. Puisi-puisinya memiliki keistimewaan karena ditulis dengan perasaan yang murni dan tulus, maknanya yang indah dan citranya yang memikat, bahasanya yang cermat dan bentuknya yang menawan, serta susunannya yang terampil. Puisi-puisi al-Bushiri dengan sendirinya menjadi pendobrak lahirnya penyair sesudahnya. Puisi-puisi al-Bushiri menjadi model untuk ditiru oleh para penyair setelahnya, yang berusaha menulis dengan gayanya dan mengadopsi pendekatan al-Bushiri. Setelah al-Bushiri wafat, banyak lahir puisi-puisi pujian terhadap nabi yang sama masyhurnya, yang menjadi saksi atas keutamaan Imam al-Bushiri dan penguasaannya yang tak tertandingi dalam bidang seni sastra.
Al-Bushiri dilahirkan di desa Dalaṣ di provinsi Beni Suef, yang sekarang dikenal dengan nama Beni Suef, Mesir Hulu, pada 1 Syawal 608 H (7 Maret 1213). Ia lahir dari keluarga yang berasal dari Bani Anhajah dan tumbuh tidak jauh dari tempat kelahirannya di desa Buṣir. Beranjak dewasa, ia pindah ke Kairo. Di sini ia menjadi imam di masjid-masjid, mempelajari ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa seperti tata bahasa, morfologi, dan prosodi, literatur Arab, dan sejarah Islam, khususnya Sirah Nabi SAW.
Al-Bushiri memulai perjalanan keilmuannya sejak usia yang sangat muda dan menjadi murid ulama-ulama terkemuka. Sejak kecil ia telah menghafal al-Qur'an dengan sang ayah. Sepanjang hidup, al-Bushiri menjalankan laku keilmuan yang luar biasa, Ia juga dikenal sebagai penyair kontemporer sekaliber ʿUmar ibn al-Fariḍ (w. 632/1235) Ibn Maṭruḥ (w. 649/1251)4, dan al-Baha’ Zahir (w. 656/1258). Sebagaimana ia mendapatkan inspirasi dari lingkungan yang dihuni oleh tokoh-tokoh tersebut, al-Bushiri juga menjadi sosok yang memengaruhi tokoh-tokoh penting yang meriwayatkan syair-syairnya, di antaranya adalah dua ulama terkemuka dari al-Andalus: Abu Hayyan al-Gharnaṭi (wafat Abu al-Fatḥ ibn Sayyid al-Nas al-Ya'mari (w. 745/1344)6 dan Abu al-Fatḥ ibn Sayyid al-Nas al-Ya'mari (w. 734/1334)7. Al-'Izz ibn al-Jama'ah (w. 767/1366)8 juga meriwayatkan syair-syairnya, sebagaimana banyak tokoh penting lainnya.
Kehidupan Profesional dan Karier al-Bushiri
Sebelum dikenal luas sebagai seorang penyair, al-Bushiri lebih dahulu terkenal karena kepiawaiannya dalam menulis kaligrafi. Dasar-dasar dan prinsip penulisan ia pelajari dari seorang guru yang terampil bernama Ibrahim ibn Abi ’Abd Allah al-Misri. Ia belajar dengan sosok tersebut bersama ribuan murid lainnya.
Kepiawaian al-Bushiri dalam hal tulis-menulis membuat al-Bushiri muda bekerja sebagai sekretaris dan juru tulis. Ia hidup berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lainnya dan dari satu pos ke pos lainnya, baik di Kairo maupun di berbagai provinsi di Mesir. Ia bahkan pernah naik jabatan menjadi kepala administrasi provinsi al-Sharqiyyah di Delta Nil. Namun, selama masa ini, ia mendapati dirinya dikelilingi oleh para pegawai yang membuatnya tercengang karena perilaku mereka yang kotor. Ketidakjujuran dan korupsi tampak jelas di mata al-Bushiri. Situasi ini mengilhaminya menyusun puisi untuk menyindir perilaku kotor orang-orang di sekelilingnya dengan mengungkap keburukan demi keburukan serta berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Mengetahui hal tersebut, orang-orang yang merasa tersindir bersekongkol untuk memusuhi al-Bushiri, merancang beberapa rencana keji hingga memfitnah al-Bushiri.
Keadaan mencapai titik di mana al-Bushiri merasa tidak dapat lagi berada dalam lingkungan tersebut. Ia lalu memilih mengundurkan diri dari kerja-kerja resmi dan formal dan mendekatkan diri kepada Taqi al-Din Abi al-Hasan ’Ali ibn ’Abd al-Jabbar al-Sharif al-Idrisi al-Shadhili (wafat 656/1258) dan muridnya, Syaikh Abi al-Abbas al-Mursi Ahmad bin ’Umar al-Anshari (w. 686/1287) untuk belajar tasawuf.
Al-Bushiri, Sang Petapa Sufi
Al-Bushiri belajar tasawuf kepada syaikhnya, al-Imam Abi Abbas al-Mursi, yang merupakan murid dari al-Imam al-Shadhili dan menerima pengajaran dari Ibnu ’Ataillah al-Iskandari (wafat 709/1309), yang mengarang kitab Hikam. Antara Abi al-Abbas al-Mursi dan al-Bushiri terjalin hubungan cinta yang mendalam.
Sejak memutuskan untuk mengambil jalan sufi, Imam al-Bushiri hidup dalam masa-masa sulit dan mengalami kesengsaraan yang luar biasa. Ia adalah seorang pertapa, hidup dengan cita-cita spiritual (himmah) dan kecukupan atas hal duniawi (qanā'ah). Dia secara bersamaan menderita kemiskinan yang parah dan penyakit. Meskipun demikian, ia tidak pernah merasa jengkel atau berkecil hati karena ajaran-ajaran para sufi telah memblokir jendela-jendela keputusasaan di dalam jiwanya dan sebaliknya membuka pintu-pintu harapan dan ambisi-ambisi yang lebih tinggi yang melampaui motivasi-motivasi dan keprihatinan-keprihatinan duniawi.
Al-Bushiri Sang Perintis Syair Pujian Kenabian
Syair-syair yang diciptakan al-Buṣhiri secara khusus terserap oleh Sirah Nabi Muhammad SAW. Ia membaca banyak literatur tentang kehidupan Rasulullah SAW – mulai dari kisah-kisah singkat dan personal yang memberikan gambaran rinci tentang Nabi Muhammad SAW hingga kompilasi yang lebih besar yang menggabungkan biografi Rasulullah. Dia mencurahkan energi dan puisi dan penguasaan artistiknya untuk memuji Nabi Muhammad SAW.
Di antara syair-syairnya yang paling terkenal adalah al-Kawakib al-Durriyyah fii Madḥ Khayr al-Bariyyah (“Cahaya Surgawi yang Memuji Sebaik-baik Penciptaan”), atau lebih dikenal dengan sebutan al-Burdah, yang merupakan salah satu permata puisi Arab dan salah satu syair paling indah yang berisi pujian terhadap Rasulullah.
Syair-syair dalam Qasidah Burdah adalah permata yang disusun selama berabad-abad. Burdah pada ujungnya juga menjadi inspirasi bagi penyair yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad sesudahnya.
Qasidah Burdah adalah puisi panjang yang terdiri dari 160 bait, dengan satu baris bait pembuka yang sangat masyhur dari puisi Arab mana pun.
Karena mengidap stroke yang menggerogoti tubuhnya, al-Bushiri menjadikan Burdah sebagai media permohonan kepada Allah SWT untuk memulihkan kesehatannya. Setelah menulis puisi, al-Bushiri berbaring untuk beristirahat, hanya untuk melihat Rasulullah dalam mimpi. Setelah membacakan syairnya kepada Nabi Muhammad SAW, nabi menyeka tangannya yang terhormat di atas tubuh al-Buṣhiri yang sakit. Al-Buṣhiri terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya, dengan izin Allah, telah sembuh total.
Imam al-Buṣhiri wafat di Iskandariyah pada tahun 695 H/1295 M dalam usia 87 tahun. Raḥimahu Allahu Ta'ala