Dark
Light
Dark
Light

Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan: Membuka Jejak Gelap Human Trafficking

Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan: Membuka Jejak Gelap Human Trafficking

Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) adalah kampanye yang berupaya mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Rentang Waktu 25 November sampai dengan 10 Desember dipilih karena beberapa peristiwa menyelimuti tanggal tersebut.

25 November dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva dan Maria Teresa). 29 November sebagai Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia/Women Human Rights Defender (WHRD) Internasional. 1 Desember merupakan hari AIDS Sedunia yang pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional pada tahun 1988.

2 Desember merupakan Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan. 3 Desember adalah Hari Internasional bagi Penyandang Disabilitas. 5 Desember diperingati Hari Internasional bagi Sukarelawan. 6 Desember sebagai Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan. 9 Desember merupakan Hari Pembela HAM Sedunia. 10 Desember adalah Hari HAM Internasional, yang dikenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948.

Beberapa tanggal tersebut mengacu pada beragam masalah kemanusiaan dan upaya dunia internasional untuk menanggulanginya. Human trafficking adalah salah satu masalah yang yang samapi saat ini masih menjadi PR bersama. Sejak dahulu hingga kini, kehadirannya masih tetap eksis di balik tangan-tangan kotor dan pikiran culas. 

Dalam praktiknya, korban sering kali diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual, kerja paksa, pernikahan paksa, hingga perdagangan organ tubuh demi keuntungan beberapa pihak. Fenomena ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merusak masa depan individu, masyarakat, negara, dan dunia.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan bahwa 97 persen korban perdagangan manusia di Indonesia pada tahun 2019-2023 adalah perempuan dan anak. Sepertinya, yang disebut sebagai revolusi perubahan hanyalah pergeseran beberapa centimeter. Perempuan dan anak masih menjadi kelompok yang paling rentan dalam kasus human trafficking.

Jika ditelisik lebih dalam, kondisi itu bisa terus terjadi lantaran ada kombinasi beberapa faktor. Pertama adalah kemiskinan, kedua adalah kurangnya pendidikan, ketiga adalah kekerasan dalam keluarga, keempat adalah perang dan konflik. Dan yang terakhir, tentu absennya negara dalam menjamin keselamatan rakyatnya. Beberapa karya sastra, hasil reportase, dan penyelidikan langsung di lapangan membantu saya dalam memahami faktor-faktor tersebut.

Novel Jatisaba (2012) gubahan Ramayda Akmal, adalah salah satu karya yang menggambarkan siklus sindikat perdagangan manusia di banyak perdesaan. Melalui tokoh Mainah atau Mae, Ramadya mengaitkan human trafficking dengan politik, kemiskinan, minimnya pendidikan, dan mangkirnya negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan.

Di Mesir, saya menjumpai Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol (2014) gubahan Nawal El Saadawi. Perempuan itu dikisahkan masuk dalam lingkar perdagangan manusia lantaran jebakan dari keadaan. Situasi yang dialaminya lahir dari budaya patriarki yang meletakkan perempuan dalam posisi tidak berdaya, baik di hadapan pendidikan, ekonomi, agama, dan masyarakat.

Budaya itu membentuk perempuan tidak berkemampuan untuk mandiri dan berani membela hidupnya. Yang terjadi, perempuan hanya dipandang sebagai properti atau objek seks yang bisa dipindah tangankan dari satu orang ke orang lainnya.

Novel Twenty-Four Eyes (2021) gubahan Sakae Tsuboi menyajikan dampak peperangan bagi perempuan dan anak-anak. Bu Guru Oishi, tokoh utama, menjadi saksi atas kehidupan dua belas muridnya, salah satunya adalah Fujiko, gadis pintar yang hidupnya berakhir di hadapan jurang prostitusi.

Fujiko awalnya adalah anak seorang bangsawan yang hidup dalam kemakmuran. Namun akibat dampak perang, kehidupannya menjadi berbalik 180 derajat. Ia dan keluarganya mengalami kesulitan bahkan untuk sekadar makan. Akibat perubahan itu, Fujiko dijual oleh orang tuanya.

Ia diperlakukan seperti perabot atau pakaian demi bisa membeli makanan untuk sehari-hari. Fujiko yang dibesarkan tanpa pernah harus bekerja keras, harus merasakan pahitnya kehidupan dengan profesi pekerja seks. Selain menjalani paksaan dari orang tuanya, ia juga harus menanggung sejuta cemooh dan pandangan rendah dari banyak mata masyarakat.

Latar belakang kejahatan human trafficking juga diungkap dengan amat kritis oleh Lydia Cacho dalam karyanya bertajuk Bisnis Perbudakan Seksual (2021). Cacho memaparkan bahwa dalam lingkar prostitusi, ada jejaring yang sudah tersusun secara sistematis dan melibatkan berbagai pihak, termasuk para petinggi negara.

Dalam bukunya itu, ia menuliskan bahwa para perempuan dan anak yang dijadikan sebagai pekerja seks, sebenarnya tidak menyukai komodifikasi seksual. Tetapi, secara halus mereka dimanipulasi oleh para germo untuk percaya bahwa mereka membutuhkan profesi tersebut. Manipulasi itu dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya dengan memberikan pemahaman bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan hidup adalah hanya dengan menjadi pelayan seks.

Keluarga yang hidup dalam kemiskinan dan tingkat pendidikan yang minim, sering kali menjadi target mudah para pelaku perdagangan. Dengan iming-iming pekerjaan atau kehidupan yang lebih baik, korban dijebak untuk meninggalkan rumah mereka dan masuk dalam dunia tanpa pintu keluar. 

Cacho menceritakan salah satu kisah mengerikan yang dialami korban, ketika berupaya kabur dari lingkaran tersebut. Perempuan yang berniat pergi akan dibunuh oleh sang germo lalu tubuhnya dijadikan sup untuk dimakan oleh anak-anak dan perempuan yang tersisa. Hal itu dilakukan agar memberikan efek jera bagi siapa pun yang berniat untuk melarikan diri. Kisah ini tentu diikuti dengan cerita menyeramkan lainnya.

Pada akhirnya, kita menyadari bahwa perdagangan perempuan dan anak adalah pelanggaran berat terhadap kemanusiaan. Kebiadaban itu membutuhkan perhatian dari banyak pasang mata. Upaya pencegahan dan penghentian kejahatan tersebut harus segera dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena melindungi mereka berarti melindungi masa depan kita bersama. Membiarkan human trafficking terjadi, sama saja mendukung genosida yang tersembunyi di balik jaringan tanpa wajah. 
 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.

Home 2 Banner

Khazanah Lainnya

Home 1 Banner