Menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia merupakan perintah yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Dalam praktiknya, perintah ini terkadang sulit dilakukan, terlebih kepada orang yang pernah menyakiti. Hanya orang-orang berhati bersihlah yang mampu melakukannya, satu di antaranya adalah Syekh Abu Yazid Al-Busthami.
Fariduddin ‘At-Thar dalam kitab Tadzkiratul Auliya (Damaskus: Darul Maktabi, 2009), halaman 193 mengisahkan, suatu malam Abu Yazid berziarah di sebuah pamakaman. Saat pulang ia berpapasan dengan seorang anak pejabat yang sedang mabuk sambil bermain kecapi.
"Lâ ḫaula walâ quwwata illâ billâh," ucap Abu Yazid berzikir.
Kalimat hauqalah yang dibaca Abu Yazid ini rupanya terdengar oleh pemabuk itu. Merasa tersinggung dan marah, dia pun langsung memukul kepala Abu Yazid dengan kecapi yang ada di tangannya. Saking kerasnya, pukulan itu sampai membuat kepala Abu Yazid berdarah dan kecapi pemuda itu pun jadi rusak.
Meski dizalimi, Abu Yazid tetap bersabar dan tidak melakukan perlawanan apapun. Mungkin ia memaklumi karena pemuda tersebut sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Abu Yazid pun langsung bergerak pulang menuju kediamannya.
Usai sholat Subuh, Abu Yazid memanggil salah seorang santrinya dan menanyakan kisaran harga sebuah kecapi. Setelah mengetahui kisaran harganya, Abu Yazid memasukkan sejumlah uang dirham ke dalam sebuah wadah. Tidak hanya itu, ia juga menyiapkan aneka makanan lezat.
"Berikan uang dan makanan ini pada si Fulan yang ada di sana," ucap Abu Yazid pada santrinya sambil menjelaskan ciri dan lokasi orang yang tadi malam menyerangnya.
"Berikan padanya uang dirham ini untuk mengganti kecapinya yang telah rusak karena memukul kepalaku. Adapun makanan ini sebagai pengganti kesedihannya karena kehilangan kecapi itu," ungkap Abu Yazid.
Setelah menemukan orang yang dimaksud, santri Abu Yazid ini mewakili gurunya menyampaikan permohonan maaf atas tragedi tadi malam. Dia kemudian menyerahkan uang dirham dan makanan sebagai pengganti kecapi dan kesedihannya.
Balasan dan perlakuan Abu Yazid itu rupanya membuat pemuda ini terenyuh hingga membuatnya merasa sangat bersalah. Akhirnya dia mengajak santri Abu Yazid untuk mengantarkan pada gurunya. Ketika sudah bertemu dengan Abu Yazid, dia kemudian meminta maaf dan akhirnya bertobat.
Kisah ini tentu mengandung hikmah yang bisa dipetik pelajarannya bagi umat Islam. Di antaranya adalah tentang pentingnya menanamkan rasa kasih sayang kepada semua makhluk Allah, bahkan kepada orang yang berbuat zalim. Jika kezaliman yang bersumber dari amarah itu diibaratkan api, maka kasih sayang adalah air yang bisa memadamkannya.
Kisah ini juga menggambarkan tentang keberhasilan dakwah bil hal atau dakwah dengan tindakan nyata. Selain itu, kisah ini juga menegaskan bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar mestinya dilakukan dengan cara yang 'ma'ruf', bukan dengan cara 'munkar', sebagaimana telah dicontohkan oleh Abu Yazid Al-Busthami. Wallahu a'lam.