Dark
Light
Dark
Light

Ngaji Ihya Gus Ulil Abshar Abdalla: Kerakusan akan Menghilangkan Sisi Kemanusiaan

Ngaji Ihya Gus Ulil Abshar Abdalla: Kerakusan akan Menghilangkan Sisi Kemanusiaan

KH. Ulil Abshar Abdalla selama sesi Ngaji Ihya’ Ulum al-Din edisi ke-402, memaparkan tentang bahaya penyakit rakus akan dunia [شره], sebuah sifat yang menggerus nilai kemanusiaan. Sejatinya, penyakit syarah ini, membuat jiwa haus akan materi, posisi, dan segala kenikmatan duniawi yang tak pernah terpuaskan. “Orang kalau rakus atau tamak akan kehilangan kemanusiaannya, kemudian merosot menjadi bintang yang taat kepada majikannya,” tutur Gus Ulil, sebagaimana dikutip dari Channel Ghazalia College, Senin (28/20/2024). 

Lebih lanjut, penyakit rakus [شره], kata Gus Ulil, dapat merusak sifat kemanusiaan seseorang, hingga membuatnya tak ubahnya seperti binatang yang dicocok batang hidungnya, sehingga hanya tunduk pada keinginan majikan. Dalam keadaan seperti ini, seseorang yang “rakus” tidak lagi memiliki kebebasan atau kendali atas dirinya sendiri. Mereka seolah hidup semata-mata untuk memenuhi hawa nafsu, menurunkan derajat kemanusiaannya dan menjadi budak dari keinginan duniawi yang tak pernah terpuaskan.

Pun, bagi orang yang terjangkit penyakit rakus, dunia menjadi satu-satunya pusat perhatian dan orientasi hidup. Kehidupan mereka dipenuhi oleh keinginan material tanpa melihat dampaknya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Gus Ulil mengingatkan bahwa obsesi terhadap dunia semacam ini menghambat seseorang untuk berpikir secara jernih dan berbuat baik. Alih-alih berupaya mencapai keseimbangan hidup, mereka justru terjebak dalam lingkaran tak berujung untuk memuaskan keinginan yang terus membesar. “Pada akhirnya, akibat penyakit rakus, manusia terjatuh kepada memburu kekayaan yang menguasai hati dan pikirannya,” tambahnya.   

Gus Ulil lalu menukil kisah sufi besar, Fudhail bin Iyadh. Ulama kelahiran Uzbekistan 107 H ini telah mengingatkan jauh hari, bahwa penyakit syamah, mengakibatkan seseorang kehilangan ketenangan batin. Rasa rakus, berimplikasi pada sikap “ingin memiliki” yang begitu kuat. Pada akhirnya, tidak pernah merasa cukup, bahkan selalu merasa membutuhkan lebih. Simak nasihat bijak Fudhail berikut;


وقال رجل للفضيل : فسر لي قول كعب ، قال : يطمع الرجل في الشيء فيطلبه ، فيُذهب عليه دينه ، وأما الشره .. فشره النفس في هذا وفي هذا، حتى لا تحب أن يفوتها شيء ، ويكون لك إلى هذا حاجة وإلى هذا حاجة ، فإذا قضاها لك .. خزم أنفك ، وقادَكَ حيث شاء ، واستمكن منك ، وخضعت له ، فمن حبك للدنيا سلمت عليه إذا مررت به ، وعدته إذا مرض ، لم تسلم عليه لله عز وجل ، ولم تعده الله عز وجل ، فلو لم يكن لك إليه حاجة .. كان خيراً لك ، ثمَّ قال : هذا خيرٌ لكَ مِنْ مئة حديث عن فلان وفلان

Artinya: Seorang lelaki berkata kepada Fudhail bin Iyadh: “Jelaskanlah kepadaku perkataan sahabat Ka’ab tadi.” Fudhail menjawab, “Seseorang memiliki keinginan [tamak] terhadap sesuatu, lalu dia berusaha keras untuk mendapatkannya hingga agamanya hilang karenanya. Adapun mengenai kerakusan… adalah keserakahan jiwa dalam berbagai hal, sehingga seseorang tidak ingin melewatkan apapun. Dia merasa butuh ini dan itu, dan ketika keinginannya terpenuhi, dirinya seolah terikat seperti hidung yang dikekang/ditusuk, dibawa ke mana pun yang diinginkan oleh yang mengikatnya. Akhirnya, dia tunduk dan patuh. Karena cintanya pada dunia, dia memberi salam ketika bertemu kerasukan itu, dan menjenguknya saat sakit – bukan karena Allah SWT, tetapi karena kebutuhan pribadinya. Seandainya dia tidak memiliki kebutuhan tersebut, itu akan lebih baik baginya.” Kemudian Fudhail berkata, “Ini [tutur ka’ab] lebih bermanfaat bagimu daripada seratus hadits dari orang-orang tertentu,” [Ihya Ulumiddin, Jilid VI, hlm. 145]. 

Lebih jauh, Gus Ulil menambahkan bahwa rakus pada dunia tidak hanya merugikan secara batin, tetapi juga membawa kerugian pada agama. Seseorang yang mengejar dunia dengan penuh kerakusan sering kali melupakan batasan-batasan agama, melanggar nilai-nilai yang seharusnya dijaga, demi memuaskan keinginan hati yang tak pernah terpuaskan. “Kerakusan ini,” jelas Gus Ulil, “Membuat orang tersebut tak peduli kepada agama dan ilmunya,” sambung dia. 

Di dalam kitab Ihya (hlm. 145), Imam Ghazali mengutip perkataan Abdullah bin Salam, seorang sahabat Nabi dari Bani Qainuqa, Madinah. Suatu ketika, Abdullah bertanya kepada Ka’ab, sahabatnya yang juga seorang alim, “Apa yang membuat ilmu hilang dari hati para ulama setelah mereka memahaminya?” Ka’ab menjawab, “Ketamakan, kerakusan, dan mengejar hal-hal duniawi.” Jawaban ini bukan sekadar kalimat, tetapi gambaran kehidupan yang menyentuh hati para pencari ilmu yang tulus.

Sejatinya, Abdullah bin Salam dan Ka’ab memahami betapa rapuhnya hati manusia di hadapan gemerlapnya dunia. Ilmu adalah cahaya, namun ketika hati manusia diliputi ketamakan, cahaya tersebut memudar. Orang yang hatinya terbiasa memburu harta dan ambisi duniawi perlahan-lahan akan kehilangan kejernihan pikirannya, hingga pada akhirnya ia tak lagi mampu memahami ilmu yang sejati.

Abdullah bin Salam melihat bahwa ilmu dan harta sesungguhnya tidak bisa berdampingan dengan kemurnian hati yang terganggu oleh kerakusan. “Orang yang terlalu memburu harta, tak peduli kepada agama dan ilmunya,” tutur Gus Ulil ketika mengomentari nasihat Ka’ab ini.  


وقال عبد الله بن سلام لكعب : ما يُذهب العلم مِنْ قلوب العلماء بعد إذ وعَوْهُ وعقلوه ؟ قال : الطمع ، وشره النفس ، وطلب الحوائج

Artinya: Abdullah bin Salam bertanya kepada Ka’ab, “Apa yang menghilangkan ilmu dari hati para ulama setelah mereka menyerapnya dan memahaminya?” Ka’ab menjawab, “Ketamakan, kerakusan diri, dan memburu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat duniawi.” [hlm. 145]

Sebagai penutup, ada satu nasihat bijak dari seorang Badui kepada saudaranya yang terlalu berambisi terhadap kekayaan. Sejatinya, kata si Badui, Allah telah menjamin rezeki setiap orang, sehingga mengejar harta dengan penuh keserakahan justru tidak akan membawa ketenangan. Ia mengibaratkan bahwa yang tersembunyi atau belum dimiliki tidak selalu perlu dikejar dengan penuh ambisi, karena apa yang sudah menjadi milik kita akan datang sesuai dengan ketetapan Allah.

Toh, seringkali keserakahan malah membawa seseorang menjauh dari apa yang diinginkannya, sedangkan mereka yang zuhud atau rendah hati justru dipermudah dalam urusan rezeki. Simak nasihat Badui tersebut;

وعاتب أعرابي أخاه على الحرص فقال : ( يا أخي ؛ أنت طالب ومطلوب ، يطلبك مَنْ لا تفوته ، وتطلب أنت ما قد كُفيته ، وكأن ما غاب عنك قد كُشِفَ لكَ ، وما أنتَ فيه قد نُقلت عنه ؛ كَأَنَّكَ - يا أخي - لم تر حريصاً محروماً ، وزاهداً مرزوقاً )

Artinya; Seorang Arab Badui menasihati saudaranya yang terlalu berambisi. Ia berkata, “Wahai saudaraku, engkau adalah pencari sekaligus yang dicari (oleh Allah). Ada yang mencarimu dan Dia tidak pernah lalai darimu, sementara engkau mengejar sesuatu yang sebenarnya sudah dijamin bagimu. Seolah-olah apa yang tersembunyi darimu telah tersingkap bagimu, dan apa yang ada padamu sudah kau tinggalkan. Seakan-akan, wahai saudaraku, engkau tidak pernah melihat seorang yang rakus itu malah terhalang dari keinginannya, sedangkan orang yang zuhud justru diberi rezeki.”

 

=============   
Baca artikel lain terkait kajian TASAWUF dalam rubrik ISLAMI

Home 2 Banner

Islami Lainnya

Home 1 Banner