Al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Farisi (80 H./699 M.-150 H./767 M.) merupakan founder madzhab Hanafi dalam fikih Islam. Madzhab ini adalah salah satu madzhab yang paling tua dan masih eksis hingga kini dengan pengikutnya yang tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Bahkan Abu Hanifah diklaim sebagai pemikir fikih yang merumuskan teori-teori fikih dengan penulisan yang sistematis mulai dari bab bersuci (taharah) hingga setelahnya.
Abu Hanifah banyak belajar kepada para tabi’in yang ditemuinya, terlebih ketika singgah di Makkah dan Madinah. Bahkan menurut catatan Hajjah Najah al-Halabi, Imam Abu Hanifah sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yang berumur panjang seperti Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abi Aufa. Meskipun Abu Hanifah tidak meriwayatkan apapun dari mereka karena usianya yang masih terbilang belia.
Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa beliau bertemu dengan pembesar dari kalangan tabi’in dan mengambil ilmu dari mereka dan mempelajari fikih mereka termasuk diantaranya adalah Atha’ bin Abi Rabbah, dan Nafi’ budak milik Ibnu Uma (Hajjah Najah al-Halabi, Fiqhul Ibadat ala Madzhabil Hanafi, [Maktabah Syamilah], juz 1, hal. 10.).
Terdapat kisah menarik terkait Abu Hanifah ketika beliau akan melakukan tahalul yang penulis temukan dalam catatan Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis sebagai berikut:
لَمَّا اَرَادَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ لِلتَّحَلُّلِ اَحْضَرُوْا لَهُ الحَلَّاقَ, فَبَدَأَ يُشَارِطُهُ, فَقَالَ لَهُ الحَلَّاقُ يا شيخُ اَمَا تَدْرِيْ أَنَّ رسوْلَ الله نَهَى عَنْ مُشَارَطَةِ الحّلَّاقِ في الحَجِّ؟ فقال لَهُ صَدَقْتَ. وقَدَّمَ لَهُ الجانِبَ الاَيْسَرَ فقال له يا شيخ السنَّةُ البِدَايَةُ بِالشِّقِّ الاَيْمَانِ!, وانْحَرَفَ عَنْ القِبْلَةِ فقال يا شيخ اَمَا تَدْرِيْ أنه يُسَنُّ استقبَالُ القِبْلَةِ.
Artinya: “Ketika Abu Hanifah akan melakukan tahalul, orang-orang menyodorkan tukang cukur kepadanya, kemudian beliau menawar terlebih dahulu, kemudian tukang cukur itu mengatakan wahai syeikh, apa engkau tidak mengetahui jika Rasulullah melarang menegosiasi tukang cukur ketika berhaji?, beliau menjawab kamu benar, kemudian beliau mengajukan bagian kepalanya sebelah kiri, tukang cukur menjawab wahai syeikh yang disunnahkan adalah bagian kanan, lalu beliau berpaling dari kiblat kemudian tukang cukur mengatakan wahai syeikh apa engkau tidak mengetahui bahwa kesunnahannya adalah menghadap kiblat?”. (Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, [Beirut: darul Minhaj,2011], hal. 320.)
Selain catatan al-Syahtiri, penulis juga menemukan cerita serupa dengan versi lebih lengkap dalam catatan Fakhruddin Utsman bin Ali al-Zaila’i al-Hanafi dalam Tabyinul Haqa’iq Syarh Kanzud Daqa’iq sebagai berikut:
وَعَنْ وَكِيعٍ قَالَ قَالَ لِي أَبُو حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْطَأْت فِي سِتَّةِ أَبْوَابٍ مِنْ الْمَنَاسِكِ عَلَّمَنِيهَا حَجَّامٌ وَذَلِكَ أَنَّنِي حِينَ أَرَدْتُ أَنْ أَحْلِقَ رَأْسِي وَقَفْتُ عَلَى حَجَّامٍ فَقُلْت لَهُ بِكَمْ تَحْلِقُ رَأْسِي فَقَالَ لِي أَعِرَاقِيٌّ أَنْتَ قُلْت نَعَمْ قَالَ النُّسُكُ لَا يُشَارَطُ عَلَيْهِ اجْلِسْ فَجَلَسْتُ مُنْحَرِفًا عَنْ الْقِبْلَةِ فَقَالَ لِي حَوِّلْ وَجْهَكُ إلَى الْقِبْلَةِ فَحَوَّلْتُه وَأَرَدْتُ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسِي مِنْ الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ فَقَالَ لِي أَدِرْ الشِّقَّ الْأَيْمَنَ مِنْ رَأْسِك فَأَدَرْتُه وَجَعَلَ يَحْلِقُ وَأَنَا سَاكِتٌ فَقَالَ لِي كَبِّرْ فَجَعَلْتُ أَكْبَرُ حَتَّى قُمْتُ لِأَذْهَبَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ فَقُلْت رَحْلِي قَالَ ادْفِنْ شَعْرَك ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ امْضِ فَقُلْتُ لَهُ مِنْ أَيْنَ لَكَ مَا أَمَرَتَنِي بِهِ فَقَالَ رَأَيْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ يَفْعَلُ هَذَا أَخْرَجَهُ أَبُو الْفَرَجِ فِي مُثِيرِ الغرام.
Diriwayatkan dari Imam Waqi’ bahwa Abu Hanifah berkata kepadanya, aku melakukan enam kesalahan ketika melakukan nusuk, dan aku dikoreksi oleh seorang tukang bekam, yaitu ketika aku akan bertahalul aku mendatangi tukang bekam dan mengatakan:
“Berapa biaya kau memotong rambutku?”,
Dia mengatakan “Apakah kamu orang Irak?”
Aku menjawab “Iya”
Dia berkata: “Tidak ada negosiasi untuk tahalul dalam ibadah nusuk, duduklah!”
Kemudian aku duduk berpaling dari kiblat, dan dia berkata:
“Arahkan badanmu ke kiblat”
Kemudian aku berpaling menghadap kiblat, dan aku ingin dipotong dari sisi kiri, dan dia berkata:
“Putar kepalamu ke sisi kanan”
Kemudian aku hadapkan kepadanya sisi kanan kepalaku, kemudian dia potong rambutku sedangkan aku berdiam diri, lalu dia berkata:
“Bertakbirlah”
Aku bertakbir hingga selesai dan aku akan pergi. Lalu dia berkata:
“Mau kemana kamu?”
Aku menjawab: “Pergi”
Kemudian dia berkata:
“Kuburkan rambutmu, lalu sholatlah dua rakaat kemudian pergilah”
Aku bertanya: “Dari maka kamu mengetahui segala hal yang kamu perintahkan kepadaku?”
Dia menjawab: “Aku melihat Atha’ bin Abi Rabah melakukan hal ini”
Cerita ini diriwayatkan oleh Abu al-Faraj dalam kitab Matsiril Gharam al-Sakin ila Asyrafil Amakin”. (Fakhruddin Utsman bin Ali al-Zaila’i al-Hanafi, Tabyinul Haqa’iq Syarh Kanzud Daqa’iq, [Mesir: Maktabah al-Amiriyah al-Kubra, 1855], juz 2, hal. 32.).
Kisah ini menunjukkan kebesaran hati seorang Abu Hanifah sebagai pencetus pemikiran aliran dalam fikih Islam. Karena menurut al-Karmani, sesuai kutipan al-Zaila’i, ada perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan yang difahami oleh tukang cukur itu. Menurut Abu Hanifah, sunnah memulai dengan sisi kanan pemotong dan dari sisi kiri yang dipotong sedangkan menurut Madzhab Syafi’i sebaliknya.
Koreksi dari seorang tukang cukur tentunya berdasarkan apa yang dia ketahui dan itu terbukti bahwa dia mengetahui itu setelah mengamati Atha’ bin Abi Rabah yang notabene sebagai salah satu guru dari Abu Hanifah.
Belum tentu juga yang dilakukan oleh Abu Hanifah adalah kesalahan meskipun dengan sikap low profile-nya dia mengatakan kepada Waki’ bahwa itu adalah sebuah kesalahan bahkan dikoreksi oleh seorang tukang cukur atau tukang bekam. Wallahu A’lam Bisshawab