KH Ulil Abshar Abdalla selama sesi Ngaji Ihya’ Ulum al-Din edisi ke-400, memaparkan tentang قَنَاعَةٌ (qanā’ah) dan ridhā (رِضَا) . Secara sederhana, Qanaah adalah sikap menerima apa yang telah diberikan oleh Allah dengan penuh syukur dan kepasrahan, tanpa diliputi keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain. Sedangkan ridha, merupakan kelapangan hati dalam menerima ketetapan takdir Allah.
Menurut Gus Ulil, orang yang menghadapkan diri pada qanaah memiliki hati yang puas terhadap apa yang Allah anugerahkan, tanpa membandingkan dengan milik orang lain. Sejatinya, seorang yang mengambil sikap qanaah tidak akan pernah merasa kekurangan, meskipun secara materi (mungkin) tidak memiliki banyak. Hal ini karena kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada jumlah harta yang dimiliki, melainkan pada ketenangan hati dalam menerima ketentuan Allah.
Imam Al-Ghazali, lanjut Gus Ulil menggambarkan qanaah sebagai perisai dari godaan duniawi yang sering kali membawa manusia kepada ketidakpuasan yang tak berkesudahan. Sikap qanaah, mampu membuat manusia menahan diri dari sifat serakah dan tamak — dua sifat buas penghancur jiwa. Sebaliknya, qanaah menuntun seseorang untuk lebih mendekat kepada Allah, dan mensyukuri nikmat dalam setiap detik kehidupan.
Ada satu kisah menarik yang dinukil Imam Ghazali dalam kitab Ihya [ Edisi Dar Minhaj; hlm. 142]. Pada suatu ketika, tulis Al-Ghazali, ada seorang dari keluarga Bani Umayyah mengirimkan surat kepada Abu Hazim, seorang ulama dan ahli hadis yang tinggal di Madinah. Keluarga Bani Umayyah ini, memintanya untuk mengajukan kebutuhan hidupnya kepada kerajaan.
Sebagai penguasa, keluarga kerajaan tersebut berusaha untuk menjadikan Abu Hazim bergantung pada mereka,—seperti yang sering dilakukan kepada banyak ulama lainnya. Namun, dengan tegas dan penuh keimanan, Abu Hazim menolak tawaran itu, kemudian menulis balasan yang sarat dengan kebijaksanaan dan keimanan.
قد رفعت حوائجي إلى مولاي ، فما أعطاني منها .. قبلت ،وما أمسك عني .. قنعت
“Aku telah mengajukan segala kebutuhanku kepada Tuhanku. Apa pun yang Dia berikan kepadaku, aku terima dengan lapang hati. Dan apa pun yang Dia tahan dariku, aku merasa cukup.” tulisnya, [hlm. 142].
Terlebih, kata Imam Ghazali, sikap qanaah inilah yang membentuk ketenangan hati dan jiwa, serta membantu seseorang dalam menghadapi cobaan hidup tanpa kesedihan yang berlarut-larut. Ada satu perkataan orang bijak;
“Kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada kekayaan, tetapi pada tindakan baik dan amal saleh yang dilakukan seseorang. Sementara itu, bagi orang yang memiliki akal dan kebijaksanaan, kegembiraan sejati datang ketika seseorang mampu berbuat kebaikan, bukan dari harta atau kesenangan duniawi yang bersifat sementara,” begitu katanya.
Selanjutnya, ahli hikmah lain juga berpendapat tentang qana’ah;
وقال بعض الحكماء : وجدتُ أطول الناس غما الحسود ، وأهناهُمْ عيشاً القنوع ، وأصبرَهُمْ على الأذى الحريص إذا طمع ، وأخفضهم عيشاً أرفضهم للدنيا ، وأعظمهم ندامة العالم المفرط
“Sebagian orang bijak berkata: ‘Aku mendapati bahwa orang yang paling lama merasakan kesedihan adalah orang yang hasad (pendengki), orang yang paling bahagia dalam hidupnya adalah orang yang qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki), orang yang paling sabar menghadapi gangguan adalah orang yang tamak ketika menginginkan sesuatu, orang yang paling rendah kualitas hidupnya adalah orang yang meninggalkan dunia (tidak peduli dengan kehidupan duniawi), dan orang yang paling besar penyesalannya adalah seorang alim (berilmu) yang menyia-nyiakan ilmunya” [hlm. 142]
Salah satu contoh sosok yang berpegang pada prinsip qanaah adalah Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini meskipun berada di puncak kekuasaan—penguasa besar, menduduki posisi sebagai Amirul Mukminin, kepala pemerintahan,— Umar tidak terbuai oleh gemerlap dunia. Justru, sebaliknya, ia menekankan betapa pentingnya hidup dalam kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan.
Dalam satu pernyataannya yang penuh hikmah, Umar berkata, “Maukah aku beritahukan kepada kalian apa yang aku halalkan dari harta Allah ‘Azza wa Jalla? Dua pakaian, satu untuk musim dingin dan satu untuk musim panas, dan yang mencukupiku dari kendaraan untuk haji dan umrahku, serta nafkahku setelah itu sama seperti nafkah seorang lelaki dari kaum Quraisy, yang tidak lebih tinggi dari mereka dan tidak lebih rendah dari mereka. Demi Allah, aku tidak tahu apakah hal itu halal atau tidak.”
Di balik perkataan ini, tergambar jelas betapa Umar merasa cukup dengan hal-hal yang sangat sederhana. Ia hanya mengambil dua pakaian yang diperlukan untuk musim panas dan dingin, kendaraan untuk berhaji dan berumrah, serta nafkah yang tidak lebih tinggi dari standar hidup orang biasa di kalangan Quraisy. Bahkan, dalam kesederhanaan itu, Umar masih ragu apakah yang ia terima sudah termasuk kelebihan atau tidak. Keraguannya mencerminkan betapa ia sangat berhati-hati dalam memastikan bahwa apa yang ia ambil dari harta Allah tidak melebihi batas kewajaran.
Berikut teks perkataan Umar bin Khattab tersebut;
وقالَ عمرُ رضيَ اللهُ عنهُ: (ألا أخيرُّكُمْ بما أستحلُّ مِنْ مالِ اللهِ عزَّ وجلَّ ؟ حُلَّتانٍ لشتائي وقيظي ، وما يسعُني مِنَ أَلظَّهْرِ لحجِّي وَعُمرتي ، وقوتي بعدَ ذلكَ كفوتٍ رجلٍ مِنْ قريشٍ ، لَسْتُ بأرفعِهِمْ ولا بأوضعِهِمْ ، فواللهِ ؛ ما أدري أيحلُّ ذلكَ أمْ لا ؟ ) (٣) ، كأنَّهُ شكَّ في أنَّ هذا القَدْرَ هلْ هوَ زيادةٌ على الكفايةِ التي تجبُ القناعةُ بها ؟
"Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Maukah aku beritahukan kepada kalian apa yang aku halalkan dari harta Allah ‘Azza wa Jalla? Dua pakaian, satu untuk musim dingin dan satu untuk musim panas, dan yang mencukupiku dari kendaraan untuk haji dan umrahku, serta nafkahku setelah itu sama seperti nafkah seorang lelaki dari kaum Quraisy, yang tidak lebih tinggi dari mereka dan tidak lebih rendah dari mereka. Demi Allah, aku tidak tahu apakah hal itu halal atau tidak?” Seakan-akan beliau ragu apakah jumlah itu lebih dari sekadar cukup yang harus diterima dengan qana’ah.
Bab Ridha
Ridha, kata Imam Ghazali, adalah berlapang dada menerima takdir Allah. Di kitab Ihya ‘Ulumuddin, dijelaskan bahwa sikap ridha termasuk buah dari cinta kepada Allah.
أن الرضا ثمرة من ثمار المحبة
Pun ridha, tingkatan tertinggi di antara para hamba yang dekat dengan Allah. Konsep ridha ini menggambarkan keadaan hati yang menerima dengan penuh syukur terhadap segala ketetapan Allah, baik itu berupa nikmat atau ujian.
Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah [9] ayat 100;
رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ
"Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya."
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap ini menjadi kunci kebahagiaan dan ketenangan, terutama saat seseorang dihadapkan pada ujian atau cobaan. Ridha terhadap ketetapan Allah dipandang sebagai salah satu cara paling efektif untuk menghilangkan kesedihan. Ketika seseorang menerima apa yang telah ditentukan Allah dengan hati yang lapang, ia tidak lagi terbebani oleh rasa kecewa atau amarah terhadap keadaan. Sebaliknya, ia merasakan kedamaian karena yakin bahwa apa yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang sempurna dan terbaik bagi dirinya.
Selain itu, sikap ridha juga membawa manfaat yang besar dalam menjaga ketenangan jiwa. Orang yang ridha terhadap takdirnya cenderung lebih sabar dan tawakal. Ia tidak akan terganggu oleh hal-hal yang berada di luar kendalinya, karena menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Manusia ridha, mampu menjalani hidup tanpa rasa khawatir yang berlebihan terhadap masa depan atau penyesalan atas masa lalu.
وقيل لبعض الحكماء : أي شيء أسر للعاقل ؟ وأيما شيء أعون على دفع الحزن ؟ فقال : أسرها إليه ما قدَّمَ مِنْ صالح العمل ، وأعونها له على دفع الحزن الرضا بمحتوم القضاء
“Dikatakan kepada sebagian orang bijak: ‘Apakah sesuatu yang paling menenangkan bagi orang yang berakal? Dan apakah sesuatu yang paling membantu dalam menghilangkan kesedihan?’ Maka ia menjawab: ‘Yang paling menenangkan baginya adalah amal saleh yang telah ia kerjakan, dan yang paling membantunya untuk menghilangkan kesedihan adalah ridha terhadap ketetapan takdir.”
Meski demikian, konsep ridha sering kali disalahpahami oleh banyak orang. Tak sedikit, orang menganggap ridha sebagai sikap pasrah yang pasif, menerima keadaan tanpa berusaha sama sekali. “Dalam bahasa Jawa-nya, 'nerimo ing pandum', diartikan sebagai berhenti berjuang dan hanya menerima apa yang diberikan oleh takdir,” jelas Gus Ulil .
Pandangan ini, kata Gus Ulil, jelas tidak sepenuhnya tepat. Ridha, dalam pengertian yang sebenarnya, bukan berarti berhenti berusaha. “Seseorang yang ridha tetap berjuang dengan sungguh-sungguh, namun apapun hasil yang ia terima, ia terima dengan lapang dada,” jelasnya.
Ridha adalah tentang penerimaan, tetapi bukan tentang keputusasaan atau ketidakaktifan. Orang yang ridha memahami bahwa hasil akhir adalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah, dan ia menerimanya dengan ikhlas.
Sebagai contoh, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk tidak marah atau kecewa terhadap hasil usahanya. Ketika seseorang merasa kecewa karena usahanya tidak membuahkan hasil yang diharapkan, ia seolah tidak percaya kepada rencana Tuhan. Dalam kondisi ini, protes terhadap hasil justru menambah beban kesedihan. Orang tersebut menjadi sedih karena kegagalannya, dan lebih sedih lagi karena sikap protesnya terhadap ketentuan Tuhan. Dalam jangka panjang, hal ini hanya akan membawa penderitaan lebih dalam.
Sebaliknya, orang yang benar-benar memahami konsep ridha akan merasa tenang meskipun menghadapi kegagalan. Mereka tahu bahwa usaha mereka adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai manusia, namun hasil akhirnya adalah kehendak Tuhan. Dengan sikap ini, mereka terhindar dari rasa kecewa yang berlarut-larut, dan tidak terperangkap dalam kesedihan yang berlipat ganda.
Untuk itu, sikap ridha bukanlah bentuk ketidakaktifan atau penyerahan diri pada keadaan tanpa usaha. Ridha adalah bentuk tertinggi dari iman kepada takdir. Sikap inilah yang seharusnya dipahami dan diterapkan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.