Arina.id - Bulan Sya’ban kala itu merupakan Sya’ban yang sangat berbeda, atau lebih tepatnya istimewa. Pasalnya para kiai seantero pulau Jawa-Madura berbondong-bondong ke Tebuireng untuk “ngaji hadits” jelang pasanan (baca: Ramadhan)
Adalah KH. Hasyim Asyari selaku inisiator di balik pengajian hadits tersebut. Menurut penuturan Alm. KH. Muhit Muzadi, tatkala KH. Hasyim Asyari menggelar pengajian hadits Sahih Bukhari-Muslim tokoh masyarakat maupun lintas ormas “ngaji hadits” ke Hadratussyekh KH. Hasyim Asyari di Tebuireng.
Saking istimewanya, salah satu guru (baca:kiai) KH. Hasyim Asyari semasa mondok juga ikut “ngaji hadits” kepadanya. Bahkan salah satu guru yang beliau hormati ikut ngaji pasanan. Menurut catatan Akarhanaf halaman 52 dalam buku: “KH. Asyari Bapak Umat Islam Indonesia” peristiwa ini terjadi tahun 1933.
Kemisteriusan siapakah guru KH. Hasyim Asyari yang ikut ngaji hadits ini semakin menambah rasa penasaran, apalagi ketika Akarhanaf tidak menyebutkan nama guru itu secara eksplisit.
Terlepas dari itu semua, kisah ini bukan untuk menyelidiki sang guru. Akan tetapi lebih kepada bagaimana sikap KH. Hasyim Asyari kepada gurunya yang ingin mengaji dan menjadi muridnya?
Seperti yang diketahui pasca Hadratus Syekh Hasyim Asyari berguru kepada Syekh Mahfud Termas, Syekh Syuaib, Syekh Nawawi di Tanah Suci kemudian pulang ke Tanah Air, pesantren Tebuireng menjadi magnet di bidang ilmu hadits.
Salah satu guru yang sangat dihormati oleh KH. Hasyim Asyari tiba-tiba mendatangi dan secara terang-terangan menyatakan ingin “mengaji” langsung ke Tebuireng. Tentunya Hadratussyekh kaget bukan main. Mengutip dari Akarhanaf, dialog kedua tokoh mulia ini bila dinarasikan dalam bahasa kekinian, kurang lebih demikian:
“Anda adalah guru saya, sangat tidak pantas seorang murid mengajari gurunya,” ucap KH. Hasyim Asyari. Sang guru pun menyahut dengan tegas: “Memang, dulu saya menjadi gurumu, akan tetapi mulai sekarang saya adalah murid anda.”
KH. Hasyim Asyari sangat terkejut akan perkataan tegas dari gurunya ini. Hadratussyekh pun menarik nafas panjang lalu berkata:
“Status seorang murid di hadapan seorang guru tidaklah berubah sampai kapan pun. Tidak ada perubahan selama-lamanya. Tapi bila anda berkeinginan keras, saya pasrah. Namun sudilah kiranya anda menyepakati persyaratan yang akan saya ajukan kepada anda.”
Sang guru pun penasaran dan bertanya: “apakah syaratnya?”
KH. Hasyim Asyari tersenyum penuh arti seraya menjawab: “bila anda telah menganggap saya sebagai guru, maka mohon diperhatikan beberapa aturan ini: 1) rumah ini harus anda tempati, yang artinya tidak bertempat di pondok, 2) anda tidak boleh mencuci pakaian sendiri, tapi harus menyerahkan kepada saya, 3) apabila anda menginginkan sesuatu, maka anda harus memerintahkan saya untuk menjalaninya.”
Aturan yang dibuat oleh KH. Hasyim Asyari untuk gurunya itu ternyata tidak serta merta dipatuhi, bahkan cenderung dilanggar oleh keduanya, yakni “pembuat aturan” dan “yang diatur”.
Bagaimana tidak, setiap usai sholat maghrib, dua kiai ini saling berebut melayani, bahkan menata sandal dan memakaikannya. Nilai keteladanan dari dua tokoh yang saling tawadhu ini sangat mengagumkan. Karena masing-masing memiliki akhlak luhur, pecinta ilmu, semangat belajar, saling menghormati, dan masing-masing berebut ingin diakui murid. Bukan untuk berharap diakui sebagai kiai.
Selain itu, apa yang ditunjukkan oleh guru KH Hasyim Asyari dengan cara ikut mengaji pasanan itu adalah bentuk apresiasi terhadap kealiman muridnya. Dan itu sangat wajar dalam tradisi pesantren. Wallahu a'lam bis shawab.