Dark
Light
Dark
Light

Nuansa Aswaja dalam Tafsir Hidayatul Qur’an Karya Gus Awis

Nuansa Aswaja dalam Tafsir Hidayatul Qur’an Karya Gus Awis

Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an karya KH. Afifuddin Dimyathi (Gus Awis) dikenalkan pertama kali pada Rabu (10/2/2024) di Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang dengan tajuk Tasyakuran dan Launching Tafsir Hidayatul Qur’an Tafsir Qur’an bil Qur’an. Acara ini dihadiri ulama dari PBNU seperti Rais 'Aam KH Miftahul Akhyar sekaligus memberikan sambutan sebagaimana beliau memberikan prolog dalam tafsir karya Gus Awis tersebut.

Tafsir Gus Awis ini sangat identik dengan Nahdlatul Ulama. Di satu sisi Gus Awis sendiri merupakan salah satu pengurus PBNU dan termasuk ulama muda NU. Di sisi lain, penulisan tafsir ini termotivasi dari tagline satu abad NU yakni “Merawat Jagad, Membangun Peradaban”. 

Ke-NU-an tafsir Gus Awis ini juga bisa diidentifikasi dari beberapa ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang beliau cantumkan dalam penafsirannya. Gus Awis sendiri mengakui terdapat beberapa ideologi Aswaja dalam corak penafsiran beliau.

Hal itu beliau ungkapkan dalam seminarnya yang yang berjudul Nuansa Aswaja dalam Tafsir Hidayatul Qur’an yang diselenggarakan oleh Aswaja Center PCNU Sidoarjo bekerjasama dengan KBIH Rohmatul Ummah An-Nahdliyah Sidoarjo pada Ahad (20/10/2024).

Gus Awis secara jelas mengungkapkan bahwa Al-Qur’an bukan merupakan makhluk Allah, hal ini jelas sesuai dengan ideologi Aswaja yang berbeda dengan ideologi Mu’tazilah yang berpendapat sebaliknya. Beliau menyebutkan dalam prolognya sebagai berikut:

 فَإِنَّ القُرْأَنَ الكَرِيْمَ كَلَامُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى غَيْرُ مَخْلُوْقٍ

Artinya: "Sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk." (Afifuddin Dimyathi, Hidayatul Qur’an fi Tafsiril Qur’an bil Qur’an, [Yogyakarta: Maktabah Iskandariyah, 2023], juz 1, hal. 16.).

Gus Awis juga menyinggung tentang tafwidh ketika menafsirkan ayat mutasyabihat sebagaimana golongan Salaf dalam Ahlussunnah wal Jamaah yang memilih untuk menyerahkan dan memasrahkan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada Allah tanpa mengartikan dengan arti yang pantas. seperti dalam surat Taha ayat 5 berikut:

 اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى 

Artinya: "(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas ʻArasy."

Gus Awis menafsirkan ayat itu sebagai berikut: 

اَلرَّحْمَنُ اِسْتَوَىْ عَلَى العَرْشِ اِسْتِوَاءً يَلِيْقُ بِعَظَمَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيْفٍ وَلَا تَشْبِيْهٍ وَلَا تَعْطِيْلٍ, فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُشْبِهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ  

Artinya: "Alllah bersemayam di atas Arsy, dengan model bersemayam yang layak bagi keagungan-Nya, dengan tanpa cara, tanpa penyerupaan (terhadap makhluk), dan tanpa mengosongkan. Maka Allah tidak menyerupai makhluk-Nya sama sekali seperti firman-Nya dalam surat al-Syura ayat 11 berikut: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya." (Afifuddin Dimyathi, juz 3, hal. 16.).

Tidak hanya menyinggung tentang tafwidh, Gus Awis juga menyinggung tentang ta’wil, yakni sikap golongan khalaf yang lebih memilih memaknai ayat mutasyabihat dengan makna yang pantas disematkan kepada Allah, seperti kata بِأَعْيُنِنُا dalam surat al-Mu’minun ayat 27 berikut:

فَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ اَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِاَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا 

Artinya: "Kami wahyukan kepadanya, “Buatlah kapal dengan pengawasan dan petunjuk Kami”. 

Gus Awis menafsirkan lafadz بِأَعْيُنِنُا dengan pantauan dan proteksi dari Allah kepada Nabi Nuh dan makna ini pantas disematkan kepada Allah sebab tidak menyalahi kadar keagunga-Nya. Sebab, jika lafadz itu dimaknai dengan arti hakikatnya maka akan bermakna mata/pancaindera yang sangat tidak layak disematkan kepada Allah. 

Gus awis menulis tafsir terkait lafadz itu sebagai berikut:

فَأَوْحَيْنَا اِلَى نُوْحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ إِصْنَعْ يَانُوْحُ السَّفِيْنَةَ بِمَرْأَى مِنَّا وَبِرِعَايَتِنَا وَبِأَمْرِنَا

Artinya: "Maka kami (Allah) mewahyukan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera dengan pantauan dan penjagaan dan perintah kami." (Afifuddin Dimyathi, juz 3, hal. 109.).

Gus Awis juga menyinggung tentang akidah bahwa kelak masyarakat Muslim akan melihat Allah di akhirat sebagaimana dalam surat al-An’am ayat 103 berikut:

لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ 

Artinya: "Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Teliti."

Gus Awis menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

اللهُ لَا تَرَاهُ الاَبْصَارُ فِيْ الدُّنْيَا وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ فِيْ الآخِرَةِ كَمَا قَالَ تَعَالَى : وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ 

Artinya: "Allah tidak bisa dilihat oleh mata di dunia, akan tetapi Allah akan dilihat oleh masyarakat mukmin di akhirat sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23 berikut: Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena) memandang Tuhannya." (Afifuddin Dimyathi, juz 1, hal. 455.).

Di samping menyinggung ideologi Aswaja dalam tafsirnya, hal yang menunjukkan ke-NU-an tafsir Gus Awis adalah terletak pada salah satu amaliah Nahdliyyin seperti ber-tabarruk dengan guru atau orang saleh.

Gus Awis mengungkapkan bahwa penamaan tafsirnya dengan Hidayatul Qur’an adalah inisiasi dari KH. Mufidz Mas’ud Banten ketika Gus Awis masih menyantri kepada beliau. KH. Mufidz mengisyaratkan kepada Gus Awis agar kelak ketika mendirikan pesantren untuk memberi nama dengan Hidayatul Qur’an. Nama itu pun Gus Awis gunakan di pesantrennya dan kitab tafsirnya sekaligus.

Gus Awis mencatat dalam prolognya sebagai beirkut:

وَسَمَّيْتُهُ بِهِدَايَةِ القُرْأَن ِفِيْ التَّفْسِيْرِ القُرْأَنِ بِالقُرْأَنِ مُتَبَرِّكاً بِالإِسْمِ الَّذِيْ وَضَعَهُ شَيْخِي الجَلِيْلُ العَالِمُ الرَّبَّانِي الْمُتْقِنُ العَلَّامَةُ مُحَمَّد مُفِيْد مَسِعُوْد البَنْتَانِي تَغَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ وَأَنْزَلَهُ مَنَازِلَ الأَبْرَارِ وَالأَخْيَارِ عَلَى الْمَعْهَدِ لِتَحْفِيْظِ القُرْأَن ِوَالدِّرَاسَاتِ القُرْأَنِيَّةِ الَّذِيْ أَشْرَفْتُ عَلَيْهِ

Artinya: "Aku namakan kitab ini dengan Hidayatul Qur’an tentang tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atas dasar ber-tabarruk dengan nama yang diberikan oleh guruku KH. Muhammad Mufidz Mas’ud banten untuk pesantren yang mengajarkan hafalan Al-Qur’an dan diskursus terkait Al-Qur’an yang aku ampu." (Afifuddin Dimyathi, juz 1, hal. 20.).

Tafsir buah karya Gus Awis ini bisa disebut sebagai salah satu buah karya ulama NU yang dikenal di kancah Internasional setelah karya-karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yang lebih dahulu dikaji di Timur Tengah. 

Tafsir Gus Awis ini diterbitkan oleh Dar al-Nibras Kairo Mesir pada tahun 2023, dan juga diterbitkan oleh penerbit domestik yakni Maktabah Iskandariyah Yogyakarta pada tahun 2024. Tentunya jika sudah diterbitkan oleh penerbit Timur Tengah terutama dari Mesir, dan juga mendapatkan prolog dari Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi, maka hal ini menunjukkan bahwa karya Gus Awis ini sudah mengglobal dan diterima serta dipertimbangkan di kancah intelektual Islam Internasional.  Wallahu a'lam bis shawab.

Home 2 Banner

Islami Lainnya

Home 1 Banner