Selepas Harun ar-Rasyid wafat, Al-Amin, putra Harun ar-Rasyid mewarisi takhta kekhalifahan Bani Abbasiyah. Namun belum lama menduduki kekuasaan, Al-Amin menghapus status putra mahkota Al-Makmun, adiknya sendiri. Al-Amin ingin leluasa menikmati jabatan di pemerintahan dan kelak mewariskan kepada putranya. Al-Makmun tidak terima. Perang saudara pun pecah. Konflik ini berakhir dengan terbunuhnya Al-Amin. Kepalanya dipenggal tanpa belas kasihan. Kisah tragis sengkarut dinasti politik Khalifah Al-Amin ini dijelaskan secara baik oleh Imam as-Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa.
Nama lengkapnya hanya Muhammad. Muhammad bin Harun ar-Rasyid. Ia mendapat gelar “Al-Amin” dari ayahnya, yang tengah menjabat sebagai khalifah kelima dari Dinasti Abbasiyah. Al-Amin dibaiat sebagai putra mahkota pada 175 H saat usianya baru lima tahun. Bersamaan momen itulah Harun ar-Rasyid menyematkan gelar “Al-Amin” (orang yang amanah) untuknya. Dengan begitu, Al-Amin sudah sah untuk menggantikan kursi kekhalifahan setelah ayahnya kelak.
Pada tahun 193 H Harun ar-Rasyid menghembuskan napas terakhir di kota Tus, Iran. Dengan wafatnya ar-Rasyid, maka selesai pula masa jabatannya, dan dengan begitu segeralah Al-Amin dilantik untuk menduduki kursi kekhalifahan. Ia pun resmi menjadi khalifah keenam dari Dinasti Abbasiyah. Saat itu usianya sekitar 23 tahun. Usia yang terbilang dini itu membuatnya gagap dalam memimpin tata kelola pemerintahan. Ia masih sangat kurang wawasan dan pengalaman soal politik.
Imam as-Suyuthi menggambarkan Al-Amin sebagai berikut: وكان من أحسن الشباب صورة، أبيض، طويلًا، جميلًا، ذا قوة مفرطة وبطش وشجاعة معروفة؛ يقال: إنه قتل مرة أسدًا بيده، وله فصاحة وبلاغة، وأدب وفضيلة، لكن كان سيئ التدبير؛ كثير التبذير، ضعيف الرأي، أرعن، لا يصلح للإمارة.Artinya, “Al-Amin merupakan sosok pemuda yang sangat tampan, berkulit putih, berpostur tubuh tinggi, berparas rupawan, memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, dan punya keberanian yang tangguh. Disebutkan, ia pernah membunuh seekor singa seorang diri hanya bermodal tangan kosong. Ia juga memiliki kefasihan, penguasaan sastra, juga moral yang luhur. Hanya saja ia tidak cakap dalam tata kelola pemerintahan, tipikal yang boros, dan memiliki pandangan hidup yang lemah. Sehingga, sebenarnya dia belum layak untuk memimpin negara.”
Muslihat Nepotisme Al-Amin
Tampaknya praktik nepotisme dalam politik dinasti lebih kuat lagi di dalam pemerintahan Al-Amin. Aturannya, sesuai amanah Harun ar-Rasyid, kelak setelah Al-Amin selesai memimpin pemerintahan, maka Al-Makmun yang akan meneruskannya. Tapi Al-Amin menyusun rencana lain, ia justru membaiat Musa, putranya sendiri, sebagai putra mahkota yang secara otomatis kelak akan diangkat menjadi khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah. Padahal saat itu Musa masih menyusu kepada ibunya, jelas usia yang terbilang balita. Ibarat kata, ini politik dinasti di dalam politik dinasti, atau nepotisme dalam nepotisme.
Keputusan serakah Al-Amin ini merupakan buntut dari kekhawatiran. Ia menaruh curiga kepada Al-Makmun akan merebut takhta kekuasaan dari dirinya. Jika sampai Al-Makmun menjadi khalifah, hemat Al-Amin, ia tidak akan lagi memperoleh kursi apa-apa di pemerintahan.
Sontak Al-Makmun yang mendengar kabar miring ini geram bukan kepalang karena merasa telah dihianati oleh saudaranya sendiri. Buntut kekesalannya ini berujung pada penghapusan nama Al-Amin pada tanda kirim pos (semacam perangko). Ketidakterimaan Al-Makmun ini pun sampai ke telinga Al-Amin. Sudah diduga, Al-Amin marah besar dan membuatnya nekad untuk menghabisi adiknya sendiri. Ia menurunkan tulisan di Ka’bah yang menyatakan Al-Makmun sebagai putra mahkota Harun ar-Rasyid. Dengan demikian masa depan Al-Makmun pun terancam, ia tidak lagi punya harapan untuk menjabat khalifah Abbasiyah ketujuh karena dicoret dari status putra mahkota.
Buntut kemarahan Al-Amin tidak saja pada penghapusan putra mahkota Al-Makmun, tetapi juga penyerangan terhadap saudaranya sendiri. Al-Amin mengirim empat puluh ribu tentara di bawah pimpinan Ali bin Isa bergerak dari Baghdad menuju Khurasan, kota Al-Makmun berada. Menanggapi serangan dari Al-Amin, Al-Makmun segera menyiapkan tentara di bawah pimpinan Tahir bin al-Husein yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan pasukan kiriman Al-Amin.
Ringkas hikayat setelah pertempuran berlangsung sengit, pasukan kiriman Al-Amin kalah dan Ali bin Isa berhasil dibunuh serta kepalannya diarak keliling Khurasan. Dengan begitu Khurasan berhasil dikuasai sepenuhnya oleh Al-Makmun dan ia diangkat sebagai khalifah oleh penduduk setempat.
Peperangan kakak beradik ini terus berlangsung. Al-Makmun semakin berjaya dan kepercayaan dari publik pun kian menguat. Ia berhasil melakukan konsolidasi dengan berbagai lapisan masyarakat. Penduduk Makkah dan Madinah bahkan turut membaiatnya, demikian juga mayoritas penduduk Irak. Hal ini berbanding terbalik dengan Al-Amin yang karier politiknya menurun drastis karena ketidakcakapannya dalam mengelola pemerintahan dan gaya hidupnya yang boros. Imam Suyuthi sampai menyebut kondisi pemerintahan Baghdad di bawah kekuasaan Al-Amin sangat kacau saat itu. Hal itu terlihat dari semangat persatuan masyarakat menurun, kas negara boncos, kesejahteraan masyarakat memburuk, kasus kriminal terus meningkat, bahkan lemparan menjaniq beberapa kali menjatuhi warga sipil yang tak bersalah. Seorang penyair, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tarikh-nya, dalam gubahannya mengilustrasikan kekacauan Bahgdad saat itu,
بكيت دما على بغداد لما * فقدت غضارة العيش الانيق
تبدلنا هموما من سرور * ومن سعة تبدلنا بضيق
أصابتها من الحساد عين * فأفنت أهلها بالمنجيق
Artinya, “Aku menangis dengan air mata darah tatkala keindahan dan keelokan hidup hilang lenyap. Kebahagiaan berubah menjadi duka, hidup yang lapang pun menjadi sempit. Akibat perilaku jahat para penghasut yang telah menghabiskan penduduk dengan lemparan manjaniq.”
Amis Darah Khalifah
Kondisi negara yang semakin kacau menjadi kesempatan bagi Al-Makmun untuk melemahkan Baghdad, wilayah kekuasaan Al-Amin. Pada 198 H, Al-Makmun mengutus Thahir bin al-Husein untuk menangkap Al-Amin. Dalam pengepungan yang berlangsung selama lima belas hari itu, penduduk Baghdad kocar-kacir, bahkan banyak orang-orang Bani Abbas dan para petinggi negara yang membelot untuk berkoalisi dengan pihak Al-Makmun.
Singkat cerita Thahir berhasil membekuk Al-Amin dan menebas lehernya. Amis darah mengalir dari tubuh sang khalifah. Tragis. Peristiwa ini terjadi pada Muharram 198 H. Tampaknya terjadi salah paham, yang semula ditugasi untuk menangkap Al-Amin hidup-hidup, Thahir justru membunuhnya. Bahkan, Thahir mengirim kepala Al-Amin kepada Al-Makmun. Melihat saudaranya yang terbunuh dengan tragis itu, Al-Makmun sangat terpukul. Sejak saat itu kepercayaan Al-Makmun kepada Thahir hilang bahkan sangat membencinya dan mengasingkannya ke tempat jauh.
Kisah tragis pembunuhan Al-Amin ini digambarkan dalam gubahan syair Ibrahim bin Al-Mahdi,
وأبلغا عني مقالًا * إلى المولى عن المأمور والآمر
قولًا له يابن ولي الهدي * طهّر بلاد الله من طاهر
لم يكفه أن حزّ أوداجه * ذبح الهدايا بمدى الجازر
Artinya, “Haturkan salamku untuk pemimpin kita, yang dihaturkan oleh orang yang diperintah dan memerintah. Sampaikan kepadanya, wahai pemimpin yang dilimpahi petunjuk. Bersihkan bumi Allah dari seorang bernama Thahir. Teganya dia memotong urat lehernya, dia sembelih hadiah itu dengan pisau besar para tukang jagal.
Dengan meninggalnya Al-Amin, Al-Makmun otomatis naik ke takhta kekhalifahan dan menjadi pemimpin Dinasti Abbasiyah ketujuh. Meski Al-Amin sempat membaiat Musa, putranya, sebagai putra mahkota, kekuatan dan dukungan masyarakat terhadap Musa yang sangat lemah tidak cukup untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya. (as-Suyuthi, 2016: 235-236). Wallahu a’lam.
Muhamad Abror
Dosen Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.