Pada tahun 1999, muncul sebuah film berjudul The Green Mile yang disutradarai Frank Darabont. Kelahirannya berasal dari sebuah novel tahun 1996 karangan Stephen King. Film itu bercerita mengenai kehidupan di balik penjara pada saat depresi besar terjadi di Amerika Serikat. Penjara digambarkan bukan hanya tempat bagi orang yang bersalah tapi juga yang tidak pernah salah tapi dipersalahkan. Dalam film itu, penjara mengandung arti keajaiban, kebahagiaan, kematian, pengorbanan, dan tangis.
Tujuh tahun sebelumnya, pada tahun 1992 hadir sebuah film yang juga mengandung penjara berjudul Malcolm X karya Spike Lee. Film berkisah biografi tokoh Muslim Afrika-Amerika dan aktivis HAM bernama Malcolm Little. Dalam film itu, penjara mengandung arti tempat belajar yang melahirkan banyak kata baru dan pengetahuan bagi Malcolm.
Selain dari kedua film tersebut, penjara juga hadir dalam pembentukan biografi salah satu tokoh besar milik Indonesia, Sitor Situmorang (1924-2024). Dalam rentang perjalanan hidupnya, Sitor pernah bersentuhan dengan penjara. Orde Baru, rezim yang tidak menghendaki banyak kebebasan, menjadikannya tahanan politik sejak 1967 hingga 1975.
Sajak-sajaknya yang menggabungkan seni dan politik, dianggap sealiran dengan puisi-puisi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia dituduh sebagai pemberontak lalu dijebloskan ke bui di Salemba tanpa proses peradilan dan dibatasi hak-haknya.
Gulontam, anak Sitor dalam CNN Indonesia bertajuk Gerilya Sitor Situmorang (20/1/2016) mengisahkan proses penangkapan terjadi ketika sang ayah sedang mengetik buletin untuk disebarkan ke Partai Nasional Indonesia (PNI) dan sebagainya. Ketika dipenjara, Sitor dikabarkan tidak boleh membaca buku, dan tidak diberi kertas maupun pensil.
Kondisi itu berbeda jauh dengan penulis lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer, yang meski dibuang ke Buru mendapatkan pengadilan bahkan diperbolehkan memiliki mesin TIK. Gulontam melihat bahwa Sitor dianggap Soeharto lebih berbahaya daripada Pram.
Penjara dalam hidup Sitor mengandung dua pengertian seperti dalam film di atas: Tempat bagi orang yang tidak salah tapi dipersalahkan lalu tempat melahirkan pengalaman batin, meski menyesakkan. Kelak pengalaman itu ditumpahkan dalam karya-karyanya.
Delapan tahun di dalam penjara tidak membuat Sitor kehilangan gairahnya dalam menulis. Ia kembali melahirkan karya, di antaranya Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Buku itu dipercayai berisikan pengalaman batinnya ketika berada di dalam penjara.
Dalam salah satu sajaknya ia menulis: "Bulan menyinari trali dan lantai/ kandang harimau penjara dalam penjara/sel hatiku yang dikerangkeng rindu”. Lalu dalam karya yang lain: “Hati meninggalkan tubuh/ikut perahu meluncur ke luar teluk/jadi bintang cebur/mandi Samudra waktu subuh.”
Sajak itu dalam Sitor Situmorang Bukan Si Anak Hilang (2023, Tempo) dimaknai sebagai ungkapan batin selama ia di bui. Dalam sajak tersebut, yang dibuat selepas ia bebas, dijumpai kata-kata yang berkaitan dengan keadaan dalam penjara: diam, sepi, rindu, mati, sendiri, bosan, dan sebagainya. Kata-kata itu memiliki asosiasi dengan keadaan hidup manusia yang seba fana.
Sitor menganggap dunia di luar penjara pun sebenarnya adalah “penjara di luar penjara” dan penjara itu sendiri sebagai “penjara di dalam penjara”. Tubuh dan kerinduan kita akan kebakaan juga sebuah penjara yang membuat kita tak betah di dunia mana pun di bumi ini.
Kefanaan inilah yang memenjarakan batin manusia dan mengingatkan manusia atas keterbatasan dan keterikatan pada jasmaninya. Ada yang memaknai bahwa penyair sampai pada kesimpulan mati adalah pembebasan yang sempurna. Meskipun dalam sajak yang lain, ia mengingkari adanya bahagia setelah mati dan bahwa pencariannya pada kepercayaan semacam itu sia-sia belaka.
Kita teringat pada salah satu syair gubahan Rumi, Sufi asal Persia berjudul Rintihan Seruling Bambu: “Dengarkanlah seruling ini, betapa dia mengadu atas kisah derita keterpisahannya. Semenjak dia terpisah dari rumpun bambu”. Kisah itu banyak diartikan sebagai miniatur proses jatuhnya manusia di muka bumi, ketika ia harus mengalami keterpisahan secara rohani dengan Tuhan.
Konon, selama manusia secara rohani terpisah dengan Tuhan, selama itu pula dia akan menanggung derita. Kita tidak tahu apakah keyakinan tersebut dapat dibenarkan atau tidak. Namun, kini sang penyair sudah bisa mengetahuinya sejak kepulangannya pada Yang Maha Esa, 21 Desember 2014 lalu.
Tahun ini, tepatnya 2 Oktober 2024, jika masih hidup, Sitor Situmorang genap berusia 100 tahun. Umur yang patut untuk dirayakan sebagai bentuk syukur atas keabadian sosoknya dalam dunia intelektual. Selama hidupnya, ia telah melahirkan banyak karya dalam bentuk puisi, cerpen, naskah drama, naskah film, terjemahan, esai, lukisan dan berbagai karya lain.
Ia adalah salah satu penyair penting dalam peta sastra Indonesia. Namanya memenuhi ruang jurnalistik, sastra, pendidikan dan seni. Ia dikenal sebagai wartawan, sastrawan, dosen, esais pelukis dan berbagai nama lain.
Sitor Situmorang lahir di Harian Boho, Samosir, Sumatera Utara. Ia dilahirkan dengan nama Raja Usu Situmorang. Sitor adalah anak kelima ari Ompu Babiat, seorang kepala adat dari marga Situmorang. Latar belakang itu, membuatnya tumbuh dalam tradisi leluhur yang kental. Namun, ketatnya tradisi leluhur yang hidup dalam dirinya tidak menghentikan hasratnya untuk mengenal beragam hal diluar tanah kelahirannya.
Keingintahuannya membawa ia terbang ke berbagai belahan dunia. Konon, ia pernah menetap di Singapura, Amsterdam, Spanyol, London, Tiongkok, Rusia, Islamabad, Pakistan dan berbagai daerah lain. Kepulangannya ke kampung halaman setelah tiga belas tahun berkelana, dalam buku Kegelisahan Dunia Sitor Situmorang (2023, Tempo) disebut: Si Anak Hilang telah Kembali.
Si Anak Hilang melukiskan seorang anak yang pulang ke kampung halamanya setelah tinggal di Eropa, tetapi jiwa dan pikirannya tetap berada di tempat asing tersebut. Kondisi itu mencerminkan tema yang sering kali diangkat dalam karya-karya Sitor, yaitu perasaan kehilangan dan ketidaksesuaian di antara dua dunia yang berbeda.
Kini, Si Anak Hilang itu tidak lagi terjebak pada dunia berbeda yang dulu memenuhi batinnya. Ia telah menyatu pada dunia itu sendiri, meninggalkan warisan intelektual yang menjadi penghubung segala perbedaan dari dunia yang dilukiskannya. Sosoknya kian abadi dan menjadi kunci terbukanya pintu-pintu pengetahuan bagi generasi setelahnya.
Barangkali, kalimat yang akrab kita dengan di telinga: “Jawa adalah kunci”, memerlukan tanda “koma” bukan “titik”. Kalimat itu butuh tambahan: “Sumatera juga adalah kunci”. Jika tidak demikian, pengucap akan berdosa karena melangkahi sosok-sosok sentral dari Pulau Sumatera, salah satunya Sitor Situmorang dari Harianboho, Sumatera Utara.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.