Abdelaziz al-Tal, 53 tahun, berdiri di tengah bangunan tanpa atap itu. Tidak ada pula pintu dan jendela. Hanya tembok yang membuat sekat antara dengan ruang lainnya. Tempat itu, setahun lalu, adalah rumah miliknya. “Di sinilah dapur,” katanya sambil menunjuk sebuah pojok—tempat istrinya menyiapkan makanan.
Banyak kisah ada yang sebenarnya bisa dia ceritakan. Tentang kamar tempat anak-anaknya tidur, misalnya. Namun kemudian Abdelaziz lebih banyak terdiam. Hatinya sedih juga karena harus menahan emosi. Rumah itu kini hanya tinggal kenangan.
Kerabat Abdelaziz lebih tak buruk lagi. Muhammed al-Tal, 23 tahun tak lagi menemukan rumahnya. Bangunan tempat tinggal keluarganya selama beberapa generasi telah rata dengan tanah. “Kami terkejut melihat rumah-rumah yang hancur dan terbakar serta kehancuran terjadi di mana-mana,” katanya.
Zanuta merupakan kawasan yang terletak di Tepi Barat. Lokasinya berjarak sekitar 20 kilometer di selatan Hebron. Kawasan ini merupakan rumah bagi sekitar 40 keluarga, atau sekitar 250 orang yang umumnya hidup dari peternakan.
Namun hampir setahun silam, mereka – para penduduk di sana, harus pergi setelah terusir oleh para pemukim — orang-orang Israel yang menyerobot tanah dan rumah milik orang Palestina, lalu mendudukinya.
Sebenarnya bukan sekali itu mereka mengganggu penduduk Zanuta. Bertahun-tahun, mereka menjadi ancaman. Sebelumnya, mereka telah menguasai kawasan Shim'a, di sebelah timur. Setelah mengusir para penduduk di sana, mereka pun mendirikan bangunan rumah. Bencana benar-benar datang ketika pecah perang Hamas – Israel, 7 Oktober tahun lalu.
Perang Gaza pecah membuat para pemukim kian ganas. Mereka menjadikan perang itu sebagai alasan untuk meningkatkan serangan di seluruh Tepi Barat, termasuk Zanuta. "Mereka akan datang secara diam-diam di malam hari saat kami sedang tidur," kata Abdelaziz al-Tal.
Walhasil warga Zanuta pun pergi. Hampir setahun, mereka terpaksa tinggal di tenda-tenda di al-Dhaheriya, sekitar 30 kilometer jauhnya dari kampung halamannya. Namun, mereka tetap berharap bisa pulang. Kunci rumah adalah bukti bahwa mereka pemilik rumah di sana.
Setelah menempuh upaya hukum yang panjang. Pada 21 Agustus lalu, Otoritas Israel mengabulkan permintaan mereka untuk kembali ke tanah kelahirannya. “Ketika kami kembali, kami pikir kami akan bahagia,” kata Muhammad.
Tapi mereka menemukan kampung halamannya yang sudah berubah. Banyak di antara mereka yang tak lagi menemukan kembali rumahnya – yang sudah rata. “Mereka tidak menyisakan satu rumah pun. Semua dirusak dan dihancurkan,” katanya.
Bahkan tidak hanya rumah, bangunan lainnya seperti sekolah pun dirusak. Termasuk juga tiang-tiang lampu. Bila malam tiba, keadaan pun gelap gulita. Aliran listrik tak ada di sana.
Mereka pun kian kecewa. Ternyata Otoritas Israel hanya mengizinkan mereka kembali tapi tidak untuk memperbaiki bangunan yang telah hancur itu. Apalagi, izin untuk membangun kembali rumah-rumah itu.
Tentu saja menyulitkan mereka. “Padahal saya berharap membangun rumah kami kembali sebelum musim dingin tiba,” kata Abdelaziz kepada Al Jazeera.
Qamar Mashreqi, pengacara untuk penduduk desa, menyatakan hak penduduk desa untuk membangun kembali rumah mereka ditunda karena memang pengadilan Israel yang menangani kasus ini, disebutnya tidak jelas. Antara hanya izin untuk kembali atau juga bersamaan dengan membolehkan pembangunan rumah para penduduk itu.
Mashreqi menjelaskan pihaknya tengah berupa mendapatkan kejelasan izin tersebut. Tentu dia berharap izin yang keluar juga berupa membangun kembali apa yang telah dihancurkan oleh para pemukim.
Fayez al-Tal, kepala dewan desa Zanuta, melihat ketidakjelasan putusan pengadilan itu semata adalah cara mencegah penduduk desa membangun kembali rumah mereka. "Orang Israel mencegah penduduk Zanuta melakukan apa pun," kata Fayez."[Mereka hanya mengizinkan kami] berada di tanah tersebut tanpa membangun, merenovasi, atau bahkan menyediakan makanan yang diperlukan untuk hewan."
Tentu mereka tidak bisa gegabah andai saja nekat membangun kembali rumah yang telah rusak, serta merta mereka dianggap melawan. Akibatnya bisa gawat. Mereka bukan saja terusir tapi juga bisa saja menghadapi tuntutan hukum.
Fayez, kepala dewan desa, termasuk di antara mereka yang melakukan apa pun yang mereka bisa untuk membuat Zanuta lebih layak huni sambil menunggu perintah pengadilan yang mengizinkan pembangunan kembali secara penuh.
Walhasil, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali membersihkan bagian dalam bangunan yang tidak terlalu rusak. Hal lainnya, merenovasi kecil-kecilan beberapa ruang kelas di sekolah tersebut.
Namun keadaan ini jelas tak mengenakkan. Ditambah dengan putusnya saluran air dan listrik, warga Palestina di Zanuta terpaksa hidup tanpa tempat berlindung yang layak. “Orang-orang tinggal di udara terbuka,” kata Fayez. “Atap mereka adalah langit dan tempat tidur mereka adalah tanah, tanpa rumah untuk melindungi mereka.”
Irfan Budiman
Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.