Dark
Light
Dark
Light

Dakwah Ngepop ala Gus Iqdam: Dekengan Pusat Bersumber A1

Dakwah Ngepop ala Gus Iqdam: Dekengan Pusat Bersumber A1

Sudah cukup lama istilah "pusat" atau lengkapnya "dekengane pusat" menyeruak dalam percakapan agama. Istilah ini tak muncul di ruang sunyi, seakan-akan istilah ini mengafirmasi kencenderungan beragama masyarakat Jawa secara umum dengan berbagai kekhasan dan variannya. Penyebarannya pun unik, "dekengane pusat" mengakar di benak masyarakat lewat status dan konten yang tersebar di media sosial, terlebih di platform TikTok.

“Dekengane Pusat” disuarakan dai muda asal Blitar, Agus Muhammad Iqdam Kholid. Gus Iqdam, sapaan akrabnya, senantiasa menyerukan istilah ini dalam ceramah serta pengajiannya. Dengan gaya santai dan penuh guyon, Gus Iqdam—tanpa menanggalkan esensi dari nilai agama— piawai mengoplos berbagai narasi kelokalan dari keseharian masyarakat Jawa kekinian yang dipertemukan dengan berbagai literatur kitab klasik fikih maupun akidah-tasawuf ala kurikulum pendidikan Nahdlatul Ulama. Figur muda Nahdliyyin ini pun mampu menjadi rujukan bagi setiap jamaahnya, terutama kalangan muda.

Narasi-narasi ceramah Gus Iqdam yang digelontorkan awalnya memang dibidik untuk mudah meresap di kepala anak muda, dengan berbagai dinamika yang dialami. Tema umumnya seputar problem asmara, kenakalan, masa depan, pengabdian kepada orang tua dan berbagai tema lain yang napasnya dekat dengan pranata moral dan akhlak. Syahdan, pola dakwah yang ceria, penuh guyon, egaliter dan mudah dipahami ini dapat menyihir kekeruhan di tengah umat. Gus Iqdam menjelma viral dan potongan-potongan ceramahnya di Majelis Ta’alim Sabilu Taubah tersebar secara masif.

Sabilu Tubah berarti “jalan taubat”. Majelis pengajian yang berdiri sekira 2018 ini, dibentuk sebagai wadah untuk mereka yang bakal “kembali kepada Allah”. Dua agenda rutin berlangsung setiap minggunya, Senin malam dan Kamis Malam. Gus Iqdam fasih menyuplai kesadaran-kesadaran baru, dan segar bagi puluhan ribu jamaahnya. Ditarik dari sanad keilmuannya, figur ini telah lama nyantri di Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri. Diakuinya, berkat tarikan doa orang tua serta leluhurnya, kini ia mampu tampil untuk melayani umat dengan narasi-narasi segar.

Memahami kata “Dekengan Pusat”

Kata pusat memiliki arti "inti atau pokok pangkal dari apapun". Dalam asosiasi makna yang lebih rinci, pusat dimaknai sebagai Tuhan itu sendiri, atau Allah dalam personifikasi ajaran Islam.

Sedangkan kata dekengan berasal dari bahasa Jawa "dekeng" yang bermakna "pendukung, pengawal atau sosok yang membantu dari balik layar". Asosiasi kata ini dekat dengan istilah backing (Inggris). Imbuhan (-an) menunjukkan kata kerja dari tindakan yang berasal dari sosok tertentu, entah manusia, institusi, astral atau bahkan Tuhan itu sendiri. Jika dirujuk dalam KBBI, kata dekeng juga erat maknanya dengan kata “deking” yang juga senapas maknanya.

Sederhananya, secara terminologi, penyebutan "dekengan pusat" ini memperlihatkan rasa bangga, rasa aman, rasa kuat dan keberanian akan tindakan yang dilakukan. Gus Iqdam menyerukan hal ini agar jamaahnya sadar bahwa dirinya adalah hamba, dirinya punya Allah sebagai "kuncen atau juru kunci" yang Gus Iqdam lantuntkan dengan istilah “A1” atas berbagai masalah hidup yang dialami.

Dalam satu penggalan ceramah, Gus Iqdam menyebut, "Sing noto uripmu uduk tanggamu, sing noto uripmu uduk keluargamu, sing noto uripmu uduk lingkunganmu, tapi yang menata hidupmu adalah Allah SWT. Gek awakmu kuwi-kuwi kabeh nduwe gusti Allah, mbaliko ning gusti Allah, mbaliko. Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'i, ning yo ojo langsung njaluk, nyembaho sek, ngibadaho sek... "(Sabilu_Taubah). Redaksi ini dengan jelas menunjukkan suatu watak penyadaran yang segar dan ringan, yang kerap kali dilalaikan, diabaikan oleh generasi saat ini.

Imbasnya, siar keagamaan seperti ini, yang erat kaitannya dengan penyembuhan (healing) akan kesakitan atas hidup, kegagalan masa muda dan berbagai penyakit hati yang kerap menjangkit kawula muda dapat mudah diterima dan dimaknai. Gus Iqdam amat cerdas menyentuh inti terdalam dari berbagai problem personal yang menjangkit masyarakat.

Dalam lontran ceramah lain, Gus Iqdam juga berkata: "Orang yang dekengane pusat itu tidak bisa didebat, dan tidak bisa dijatuhkan siapapun itu. Lho tenanan kadung dimuliane gusti Allah. Krono nyapo? Wong lek ngelakoni ibadah-ibadah sunnah, ini termasuk orang pilihan, dan ibadah sunnah ini termasuk ketakwaan, bener nopo mboten? La orang yang melakukan ketakwaan, senajan orang kondang ning ndunyo, akan terkenal di mata Allah. Inna Akromakum Indallahi Atqokum". (Sabilu_Taubah). Kalimat ini seakan menjelma sebagai motivasi, seruan Gus Iqdam ini menyerap secara cair dan amat mudah dipahami.

Penggunaan frasa "dekengan pusat" ini menambah suatu varian baru dari berbagai term dakwah yang modern, ringan dan ramah. Atau dalam pembacaan analisis dakwah disebut sebagai dakwah pop. Kecenderungannya mengajak pada narasi kebaikan dan upaya untuk mengevaluasi diri secara kompleks. Gus Iqdam terampil merebut hati umat Islam yang sedang menyimpang maupun sudah khusyuk tapi masih merasa kurang untuk sadar kembali kepada kesejatidirian.

Gus Iqdam dan Variasi Dakwah Pop

Kita bisa mengamati peran bahasa dalam kontestasi dakwah di era pop. Jika ditarik dalam narasi lain, selain menggunakan bahasa non-baku, Gus Iqdam juga kerap meminjam terminologi lain yang punya kecenderungan viral di media sosial saat ini. Semisal kalimat "Gak bahaya ta?", atau mungkin kalimat lain yang juga viral, seperti "Wonge teko?". Dengan mixing berbagai istilah ini dalam penyampaian ceramahnya, umat tak hanya merasa khusyuk secara rohani, melainkan juga berdampak pada munculnya rasa gelak tawa dan ceria. 

Menurut Mubarokah, dkk (2023: 120), pola komunikasi yang sedemikian egaliter ini mampu menjadi jembatan yang tepat untuk menyuarakan nilai agama, sebab antara dai dan jamaah memiliki fungsi yang setara, komunikasi semacam ini menjadi alat terbaik dalam konteks dakwah pop.

Sekalipun dalam makna harfiah kata-kata tersebut bernuansa sarkas atau menunjukkan seseorang, malah yang terjadi adalah rasa penerimaan atas kesalahan yang terjadi. Imbasnya, evaluasi terjadi ketika jamaah mampu mengingat kesalahan dalam dirinya. Umat mengalami dua kejadian ganda secara psikis. Merasa khilaf sekaligus sadar. Suatu pola dakwah yang unik ini senantiasa digaungkan saat ceramahnya. Dalam narasi psikologi dakwah, peran dai memang diwajibkan untuk mampu menjawab masalah psikis yang menjangkit jamaah. Hingga, pola dakwah pop mampu menguji kefasihan dai dalam merebut hati masyarakat dengan membicarakan realitas sesuai ajaran atau nilai agama.

Merujuk dalam terminologinya, dakwah pop merupakan istilah yang berarti dakwah secara populer, Menurut Farihah (2013) kata "populer" ini berhubungan dengan berbagai "trend, fashion, gaya dan lifestyle" yang sedang mainstream di tengah masyarakat. Bahkan seringkali dakwah ini tertampung dalam medium yang beragam, bisa televisi, media sosial, dan lain sebagainya. Ciri khususnya, dakwah pop berwatak ringan dan mudah dikonsumsi publik. Selain ringan, bumbu-bumbu kosakata yang unik dan mengena menjadi medium yang mudah menyerap di hati jamaah. Seperti pola yang diceramahkan Gus Iqdam.

Kembali merujuk pada sikap dan gaya Gus Iqdam, kesan pop amat kental dalam ceramah-ceramahnya. Nuansa pop inilah yang akhirnya menyebar luas. Sekalipun budaya pop juga memiliki tempo viralitas atau kemewaktuan yang seringkali sementara, jika senantiasa dilontarkan dalam ruang digital, besar kiranya masa penyadaran itu akan terus tersebar. Tergantung dengan frasa unik yang lain, dan rasa loyal yang besar dari jamaahnya, pola dakwah pop ala Gus Iqdam ini akan terus eksis di ruang publik yang tersokong di ruang digital, tinggal menunggu akan muncul bahasa unik lain yang tampil. Entah kata “wong tulus” ala Truno Lele, maupun “Rombongan Nyeni” ala SamPitak, kita nantikan saja. 
 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Kowim Sabilillah
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN SATU Tulungagung. Pembelajar Filsafat dan sekarang sedang ‘ngunduh kaweruh’ di Diskursus Institute.

Home 2 Banner

Human Lainnya

Home 1 Banner