Potongan video itu menyuguhkan peristiwa yang teramat pilu. Seorang ayah yang menggendong jasad anaknya yang tewas akibat serangan bom pasukan Israel. Seketika, Stephen Melia, warga Dubai, 36 tahun, itu pun teringat pada anaknya yang berusia dua tahun.
Sulit bagi ekspatriat asal Inggris itu membayangkan andai peristiwa tersebut menimpa dirinya. Dia takkan setangguh si ayah yang mengalami kehilangan orang yang dikasihinya seperti yang terekam dalam gambar itu. “Saya tidak dapat membayangkan betapa sedihnya sang ayah dan rakyat Palestina setiap hari,” katanya.
Potongan gambar itu tidak pernah hilang. Seolah tak pernah pergi dari pelupuk matanya. Perasaannya kerap campur aduk. Marah, sedih, sekaligus kecewa. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk menyalurkan emosi tersebut. “Saya menemukan kesempatan untuk membalasnya dengan cara saya sendiri,” kata Melia pada The National.
Hanya ada satu yang bisa dilakukannya, yakni menggalang dana untuk Palestina. Namun, cara yang dipilih tidaklah biasa. Dia akan melakukan lari ultra marathon sejauh 560 kilometer – atau setara jarak Jakarta – Yogyakarta ditempuh lewat jalur tol. Kegiatan ini dinamai “Gaza in Our Hearts” yang diselenggarakan oleh Dubai Cares pada pertengahan November mendatang.
Kelak jarak sejauh itu akan ditempuh dalam lima hari. Stephen akan berlari per harinya mencapai 112 kilometer. Dari jarak itu pula, dia berharap bisa mendulang dana seribu dirham per kilometernya. Sehingga total terkumpul sekitar 560 ribu Dirham atau setara dengan Rp2,3 miliar.
“Saya tahu ini akan menjadi minggu yang melelahkan. Namun saya memilih untuk melakukan ini. Kelelahan itu tak sebanding dengan keadaan yang saya lihat di Palestina,” katanya.
Penggalangan dana yang tidak biasa juga pernah dilakukan Abed Rahman, pria Palestina yang lahir dan besar di Jerman. Pada Juni lalu dia mengayuh sepeda dari Jerman menuju Palestina. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan dana untuk pusat kesehatan di Gaza – yang dikelola sepuluh orang dokter.
Rumah sakit ini teramat vital bagi masyarakat yang dilanda perang. Selain memberikan perawatan untuk diabetes, kanker, juga mengobati luka bakar dan cedera akibat bom Israel. Semua layanan itu diberikan secara gratis.
Abed berada dalam persimpangan hati di antara dua dunia. Selain terikat oleh keturunannya, sebagai orang Palestina dia juga besar di negara pemasok senjata terbesar kedua ke Israel.
Selama 2019 hingga 2023, Jerman merupakan pemasok lebih dari 25 persen kebutuhan senjata Israel. Bahkan, sebelum 7 Oktober 2023 – saat Israel menyerbu Gaza, Jerman telah menyetujui ekspor senjata senilai €326 juta ($352 juta) ke Israel.
Namun Abed tahu apa yang harus dilakukannya. Dia pun menempuh perjalanan melalui Bosnia yang pada dekade 1990-an mengalami sejarah kelam seperti halnya Palestina. Saat itu, negeri itu menjadi ladang genosida yang dilakukan oleh tentara Serbia.
"Bekas luka dari genosida masih terlihat, Anda masih dapat melihat lubang peluru di rumah-rumah mereka. Pemandangan ini menjadi bagian paling emosional dari perjalanan bersepeda ini,” katanya pada Middleeastmonitor, Juni silam
Jarak sepanjang 3.000 kilometer yang dilaluinya melewati pegunungan menjadi metafora untuk perjuangan berat yang dihadapi warga Palestina setiap hari. Termasuk penolakan masuk ke Palestina saat ia mencapai perbatasan Yordania.
“Itu tidak berjalan sesuai keinginan saya. Sedangkan teman saya yang tidak memiliki keturunan Palestina, dapat masuk dan mengunjungi Al-Aqsa,” katanya.
Penolakan masuk tersebut hanya memperkuat tekadnya untuk membela rakyat Palestina, menggunakan pengalamannya untuk menyoroti ketidakadilan yang sedang berlangsung dan untuk menggalang dukungan lebih lanjut bagi upaya kemanusiaan di Gaza.
“Perjalanan ini bukan hanya tentang melintasi batas fisik,” pungkasnya. “Meskipun saya tidak dapat memasuki Palestina kali ini, misi saya terus berlanjut. Kami akan terus berjuang untuk perubahan, untuk kebebasan, dan untuk hak untuk kembali ke tanah air kami.”
***
Nun di Dubai, Uni Emirat Arab, dengan kedua kakinya juga Stephen ingin melakukan sesuatu untuk Palestina -- meski sebenarnya tak memiliki hubungan sejarah layaknya Abed. Ide pun datang pada awal tahun.
Stephen yang memang penggemar lari mencoba memulainya di salah satu ruas jalan di kota itu. Namun dia berubah pikiran memindahkan jalurnya ke lintasan Kite Beach – sepanjang 6 kilometer, yang memungkinkan banyak orang untuk bergabung.
"Orang-orang menghubungi saya dan menyatakan ikut berlari sejauh yang pernah mereka lakukan untuk rencana ini," katanya.
Mendapat respons positif, dia pun makin serius mematangkan rencananya. Pada Mei, dia mengetes kemampuan fisiknya. Mulai dari melahap jarak 30 kilometer, lalu 50 kilometer, sampai akhirnya berlari sejauh 100 kilometer. Semua itu dilakukannya di lintasan indoor, di Dubai Sports World.
Menempuh jarak 100 kilometer dalam waktu 10 jam menjadi modalnya. Sebulan kemudian, dengan didampingi pelatih profesional, dia berfokus pada campuran lari jarak jauh. Pun dengan nutrisi saat berlari kelak termasuk jumlah asupan 8.000 kalori sehari.
Dia pun berlatih untuk menyelesaikan larinya dengan baik. Tak terkecuali strategi istirahat ketika melahap 112 kilometer per harinya kelak. “Saya akan beristirahat selama lima hingga 10 menit setiap 30 km untuk makan sesuatu yang mengenyangkan,” katanya.
Mendekati hari pelaksanaan, porsi latihan pun terus ditambahkan. Dia bersiap untuk skenario apa pun. Namun dia tetap yakin akan mampu menempuh jarak sepanjang 560 kilometer itu, apa pun yang terjadi.
“Bisa saja saya memilih untuk tak menyelesaikannya. Tapi saya tak pernah memikirkan itu. Saya akan selesaikan, sekalipun dengan merangkak. Saya ingin melakukan ini untuk rakyat Palestina dan membuat anak saya bangga,” katanya.
Irfan Budiman
Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.