Kabupaten Klungkung merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah paling kecil di pulau Bali. Kendati demikian, pada abad ke-19 wilayah tersebut pernah menjadi pusat spiritual kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kala itu, kerajaan Klungkung menjadi tempat bagi para raja Bali terdahulu memohon petunjuk dan arahan untuk menjalankan setiap aktivitas kerajaan. Salah satu raja yang pernah berkuasa di tanah Klungkung adalah raja Ida Dewa Agung Jambe atau Dewa Agung Jambe II.
Dalam buku bertajuk Naranatha-Kanya oleh I Kadek Dwi Noorwatha disebutkan, kerajaan Klungkung pada abad ke-19 berbatasan dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Bagian timur kerajaan Klungkung berbatasan dengan kerajaan Karangasem, bagian utaranya berbatasan dengan kerajaan Bangli dan Taman Bali, sementara bagian selatan dan baratnya berbatasan dengan kerajaan Gianyar. Kerajaan Klungkung menguasai sejumlah pulau di sekitar pulau Bali, tepatnya di arah tenggara wilayah kerajaan yang terpisahkan oleh Selat Badung. Pulau-pulau tersebut adalah pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan.
Walaupun kerajaan Klungkung acap kali dikisahkan dengan latar abad ke-19, sejatinya kerajaan ini sudah didirikan sejak abad ke-17 atau sekitar tahun 1686 oleh raja Ida I Dewa Agung Jambe atau Dewa Agung Jambe I. Berdasarkan sejarahnya, kerajaan Klungkung mengalami dua kali perpindahan keraton atau istana lantaran adanya perubahan politik. Hingga akhirnya, kerajaan Klungkung menjadi kerajaan yang dikenal pada abad ke-19, di mana keraton kerajaannya bertempat di Puri Agung Semarapura. Puri tersebut dibangun oleh raja Dewa Agung Jambe I semasa ia menjabat.
Ketika berada di bawah kekuasaan raja Dewa Agung Jambe II atau raja Ida Dewa Agung Jambe, kerajaan Klungkung terlibat dalam perang Puputan melawan kolonial Belanda. Latar belakang meletusnya perang Puputan Klungkung berawal dari campur tangan Belanda terhadap urusan pemerintahan kerajaan Klungkung. Padahal, keduanya hanya terikat hubungan kontak dagang. Intervensi yang dilakukan secara terus-menerus itu kemudian memicu terjadinya perang Kusamba pada 24 Mei 1849. Dewa Agung Istri Kanya yang kala itu memimpin Laskar Klungkung memerintahkan pasukannya untuk membunuh Mayor Jenderal Michiels. Tanggal 25 Mei sekitar pukul tiga pagi, serangan Klungkung berhasil menewaskan target.
Perang Kusamba membuat hubungan kerajaan Klungkung dengan Belanda menjadi buruk. Dalam artikel ilmiah berjudul Konsep Desain Lapangan Puputan Klungkung sebagai Taman Rekreasi (Anak Agung Trinanda Benczad Balconis, dkk: 2022) disebutkan bahwa hubungan keduanya bertambah buruk ketika kerajaan Klungkung menolak ultimatum yang diberikan Belanda. Ultimatum tersebut berisi perintah agar kerajaan Klungkung menyerah tanpa syarat. Penolakan tersebut kemudian memicu terjadinya perang Puputan Klungkung yang dipimpin oleh raja Klungkung saat itu, yakni Ida Dewa Agung Jambe.
Raja Ida Dewa Agung Jambe adalah raja Klungkung IX. Ia merupakan putra pendiri kerajaan Klungkung raja Ida I Dewa Agung Jambe yang menyandang gelar Dewa Agung Putera IV. Sebagai informasi, “Dewa Agung” adalah gelar kehormatan yang disandang oleh para raja Klungkung secara turun-temurun. Raja Ida Dewa Agung Jambe memimpin kerajaan Klungkung sejak tahun 1903 hingga tahun 1908. Wilayah kekuasaannya pada saat itu sangat kecil sebab sejumlah kerajaan di Bali telah dikuasai oleh Belanda. Adapun kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Belanda yakni kerajaan Buleleng, Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung, dan Tabanan.
Peran Raja Ida Dewa Agung Jambe dalam Perang Puputan Klungkung
Sejarah tentang perang Puputan Klungkung mengisahkan tentang keberanian raja Ida Dewa Agung Jambe dalam memimpin pasukan perang melawan kolonial Belanda. Dikisahkan dalam buku Sejarah Klungkung: Dari Semarapura Sampai Puputan bahwa perang yang meletus pada 28 April 1908 ini berawal dari patroli keamanan yang dilakukan Belanda sejak tanggal 13 April hingga 16 April. Kerajaan Klungkung menolak kegiatan patroli tersebut karena dianggap melanggar kedaulatan kerajaan. Pihak Belanda beralasan patroli keamanan dilakukan untuk memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu. Sebab, saat itu monopoli perdagangan candu dipegang oleh Belanda.
Mengetahui Belanda yang enggan menghentikan kegiatan patrolinya, kerabat raja, Cokorda Gelgel pun mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda. Serangan tersebut kemudian dilancarkan di Gelgel pada 16 April. Penyerangan yang dilakukan secara tiba-tiba itu menyebabkan kekalahan atas pihak Belanda dengan menewaskan 10 orang prajurit, termasuk Letnan Haremaker, salah seorang pemimpin pasukan Belanda. Di samping itu, pihak Gelgel juga kehilangan 12 prajurit, termasuk IB Putu Gledeg.
Malam harinya, pihak Belanda melemparkan serangan balasan terhadap Gelgel dengan mengirimkan pasukan dari Karangasem. Pasukan tersebut masuk dari arah Satria dan melakukan penyerangan. Namun laskar Klungkung berhasil melakukan perlawanan sehingga mengakibatkan tiga prajurit Belanda tewas dan lima lainnya luka-luka.
Pada pagi harinya, pasukan Belanda kembali menyerang Gelgel. Saat itu raja Ida Dewa Agung Jambe sempat mengirim utusannya, Cokorda Raka Pugog, saudara raja untuk berdamai dengan Belanda demi menghindari pertumpahan darah. Namun pesan raja diabaikan, Cokorda Gelgel tetap akan melakukan perlawanan. Di sisi lain, utusan raja itu justru dicurigai oleh Belanda. Peperangan pun tak terelakkan.
Pada pertempuran melawan Belanda, pasukan Gelgel menggunakan meriam pusaka kerajaan I Bangke Bahi. Nahasnya, perang ini berakhir pada kemenangan pihak Belanda. Pasukan yang dikirim oleh raja Ida Dewa Agung Jambe, yang dipimpin oleh Ida Bagus Jumpung tidak mampu mengalahkan pasukan Belanda. Pemimpin pasukan itu gugur di medan perang. Bahkan, Cokorda Raga Pugog utusan raja pun ikut gugur dalam pertempuran ini. Cokorda Gelgel bersama pasukannya terpaksa mundur ke Klungkung. Namun, tindakan tersebut bukan pertanda bahwa pasukan Gelgel telah menyerah. Pada malam harinya, mereka kembali melancarkan serangan ke perkemahan pasukan Belanda sehingga mengakibatkan banyak prajurit Belanda terluka. Serangan yang dilemparkan Gelgel berhasil membuat Belanda mundur ke Gianyar.
Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di Jumpai dengan membawa empat buah kapal perang guna mengintimidasi pasukan Klungkung. Residen kemudian memberikan ultimatum kepada raja dan para petinggi Kerajaan Klungkung agar menyerah tanpa syarat hingga 22 April 1908. Hal ini menandakan bahwa kerajaan Klungkung benar-benar dalam posisi berperang melawan Belanda. Raja Ida Dewa Agung Jambe menolak ultimatum tersebut. Pihak Belanda pun mengirimkan pasukan dari Batavia. Dan pada 21 April, membombardir keraton Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari berturut-turut.
Pada tanggal 27 April 1908, ekspedisi khusus dari Batavia tiba di perairan Jumpai dengan membawa kapal perang lengkap dengan persenjataannya. Pihak Belanda dari atas kapal kembali memberikan ultimatum yang berlaku sampai tengah hari agar raja Ida Dewa Agung Jambe menyerah tanpa syarat. Kali ini raja meminta waktu selama lima hari untuk berunding dengan para petinggi kerajaan Klungkung. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Belanda dan mereka melancarkan serangan meriam terus-menerus ke kerajaan Klungkung.
Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gede Semarabawa gugur lebih dulu dalam menghadapi pasukan Belanda di benteng selatan. Mengetahui kabar tersebut, Ida I Dewa Agung Istri Kanya atau pemilik nama asli Ida I Dewa Istri Muter, istri dari raja Ida Dewa Agung Jambe turun ke medan perang bersama putra mahkota Dewa Agung Gde Agung. Keduanya mengenakan pakaian serba putih dan siap menyambut maut. Keduanya pun gugur dalam peperangan tersebut.
Mendengar kabar gugurnya permaisuri dan putra mahkota tidak mematahkan semangat raja Ida Dewa Agung Jambe. Api semangat itu justru semakin berkobar dan tekadnya untuk berperang melawan penjajah sampai titik darah penghabisan semakin bulat. Dengan gagah dan berani, raja bersama pasukannya maju melawan Belanda. Persenjataan yang tidak seimbang mengakibatkan pasukan Klungkung tewas diberondong peluru. Demi mempertahankan tanah kelahiran dan harga diri, raja Ida Dewa Agung Jambe bersama dengan keluarga kerajaan, pasukan, dan segenap rakyat gugur dengan menunjukkan jiwa patriotisme. Sekitar pukul tiga sore pada tanggal 28 April 1908, perang Puputan Klungkungan berakhir atas kemenangan Belanda.
Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November kemarin, Ida Dewa Agung Jambe dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo. Piagam kehormatan diterima oleh ahli waris mendiang yakni Raja Klungkung XII, Ida Dalem Semaraputra di Istana Negara.