Ratu Kalinyamat adalah sosok penguasa Jepara yang memerintah sejak tahun 1549 hingga 1579. Dalam keterangan de Graaf, berdasarkan cerita Jawa disebutkan bahwa Ratu Kaliyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Ia adalah putri ketiga dari Sultan Trenggana atau cucu dari Raden Fatah. Retna Kencana menikah dengan Pangeran Hadlirin yang merupakan putra dari Syekh Mughoyat Syah yang pernah memerintah Aceh. Setelah menikah, keduanya diberikan tempat di sekitar Jepara dan Kudus yang bernama Kalinyamat. Sehingga, Pangeran Hadlirin memperoleh julukan Ki Kalinyamat, sementara Retna Kencana mendapat sebutan Ratu Kalinyamat.
Pernikahan Ki Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat tidak berlangsung lama sebab Ki Kalinyamat dibunuh oleh Arya Penangsang, pamannya sendiri. Dalam sumber tradisional berjudul Babad Demak tertulis bahwa ratu Kalinyamat telah dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi wanita tangguh yang mandiri, memiliki kemampuan untuk memimpin, dan memiliki bekal ilmu agama. Persiapan itu dilakukan sejak ia masih belia, yakni pada 1544. Kala itu, ayahnya mengirimkannya untuk menjadi utusan Demak untuk beraliansi dengan Banten guna melakukan ekspansi ke Jawa Timur yang masih dikuasai kerajaan Hindu. Sejak saat itu pula Ratu Kalinyamat memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa dan kemampuan menyusun strategi perang yang telah diakui oleh ayahnya dan sekutunya.
Setelah Sultan Trenggana atau ayah dari Ratu Kalinyamat meninggal, wilayah Demak dibagi menjadi sejumlah bagian yang akan dikuasai oleh putra-putri. Adapun bagian yang didapat oleh Ratu Kalinyamat adalah wilayah Demak. Setelah suaminya terbunuh pada 10 April 1549, Ratu Kalinyamat memegang kekuasaan atas Jepara sepenuhnya. Menurut literatur Portugis, Ratu Kalinyamat memerintah Jepara sejak 1549 hingga 1579.
Saat menjadi penguasa, Ratu Kalinyamat menyadari dua hal yang sebelumnya tidak ia ketahui, yaitu adanya kekacauan dalam keluarga kerajaan dan pentingnya strategi perdagangan guna menjalin hubungan dengan negara-negara di seberang lautan. Ia pun menyusun strategi guna menjaga keamanan dan keutuhan kedaulatan Jepara. Sejak saat itulah ia dipandang sebagai tokoh penting dan raja wanita Jawa pemberani oleh sejumlah kerajaan di Jawa. Adapun wilayah kekuasaannya meliputi Pati, Juana, Jepara, dan Rembang. Terkhusus Jepara, sektor pelayaran dan perdagangannya kembali berkembang pesat di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat.
Kemampuan Menyusun Strategi Ratu Kalinyamat
Menurut Schrieke, Ratu Kalinyamat adalah ratu yang memiliki kemampuan menyusun strategi dengan baik guna keperluan politik dan ekonomi. Ia membangun Jepara dengan berfokus pada sektor pelayaran dan perdagangan. Dampaknya, kedua sektor itu memberikan hasil positif pada masa perkembangan awal Jepara. Pada abad ke-16, kerajaan Jepara menjadi kerajaan maritim yang dan memiliki armada laut yang cukup banyak. Berkat kemampuan Ratu Kalinyamat, Jepara menjadi ramai kembali oleh pengunjung dari berbagai daerah di luar Jawa, terutama pengunjung dari Ambon yang membawa rempah-rempah.
Para pedagang yang berasal dari Aceh, Malaka, Banten, Demak, Semarang, Tegal, Bali, Makassar, Banjarmasin, Tuban, dan Gresik memadati pelabuhan di Jepara. Pelahuan ini menjadi ramai dengan aktivitas perekonomian berskala internasional. Di pelabuhan, Jepara memiliki beberapa jenis alat transportasi, seperti junk atau perahu kecil yang dapat digunakan untuk melawan arah angin dengan cepat, dan lancara, yakni kapal yang digunakan untuk memerangi Portugis kala itu. Ketika memerangi Portugis, Aceh mengirimi Ratu Kalinyamat kapal besar bantuan Turki. Hal tersebut dilakukan Aceh lantaran keduanya memiliki hubungan baik. Tidak hanya menjalin relasi dengan penguasa di dalam negeri, Ratu kalinyamat juga menjalin hubungan baik dengan penguasa luar negeri seperti Gujarat dan India melalui pengawasan terhadap pelabuhan Gresik. Berkaitan dengan hal tersebut, Tome Pires (2014) menjelaskan bahwa:
“... di antara Andalas dan Sunda terdapat lautan. Orang-orang Gujarat berlayar melalui laut ini untuk menuju Jawa dan Gresik (Agrcay) untuk mengangkut cengkih, pala, bunga pala, kayu cendana, kayu putih, kemukus, dll. ... orang-orang Gujarat selalu berlayar melalui tempat ini untuk menuju Malaka dan mendapat barang dagangan dan berkumpul di tempat ini ... menunggu angin ... kemudian ke Gresik.” “Orang yang berlayar melewati Jepara akan bisa melihat keseluruhan kota. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan terbaik. Orang-orang yang hendak berlayar ke negeri Jawa dan maluku akan singgah di negeri Jepara. Wilayah ini sangat rindang”.
Dalam menyelenggarakan kegiatan berdagang, Ratu Kalinyamat menerapkan sistem commenda dan sistem bea cukai. Selain itu, ia juga mengembangkan usaha pembuatan kapal-kapal yang sebelumnya telah dibuat di wilayah Demak di distrik Rembang. Adapun kegunaan kapal-kapal tersebut adalah untuk mengekspor beras dan bahan makanan lain melalui Demak dan Jepara. M. A. P. Meilink-Roelofs menyebutkan bahwa sejak masa kuno, pelabuhan Jepara lebih ramai daripada Demak. Sehingga, perdagangan itu menjangkau wilayah Bangka, Tanjungpura, dan Lawe di Kalimantan. Ratu Kalinyamat juga memanfaatkan bagian pelabuhan Jepara yang dapat dimasuki kapal besar untuk menjalin relasi dengan para pedagang dari Malaka dan Maluku.
Lalu lintas perdagangan yang terjadi di pelabuhan Jepara memberikan dampak positif bagi sejumlah pelabuhan lainnya di Jawa, seperti Pati, Juana, dan Rembang. Kemajuan perdagangan ini menjadikan pelabuhan ratu sebagai pelabuhan yang semakin dikenal di wilayah Asia Tenggara. Wilayah Johor, Aceh, dan Palembang pun kemudian menjalin hubungan dengan Jepara. Di bagian timur kekuasaannya, Ratu Kalinyamat mengembangkan pelabuhan Gresik guna menampung dan menyalurkan rempah-rempah dari Ternate, Ambon, dan Banda.
Hubungan Ratu Kalinyamat dengan Kerajaan Islam
Menurut Tome Pires (2014), pelabuhan Jepara merupakan “permata Jawa dalam hal perdagangan” pada abad ke-16. Namun, tidak hanya menjadi lokasi perdagangan, pelabuhan Jepara juga menjadi markas penyebaran Islam terbesar, Hal ini didukung dengan kegiatan berdakwah sunan Giri yang berpusat di situs Giri. Kala itu, Giri ditakuti bahkan dibenci oleh Kerajaan Hindu Mataram yang berada di pedalaman. Sejumlah wilayah berhasil diislamkan, yaitu Kalimantan, Lombok, Makassar, Kutai, Ternate, dan Maluku.
Kedekatan Giri dengan Maluku terus dijaga oleh Ratu Kalinyamat. Terlebih ketika penguasa kerajaan Ternate, raja Zaenal Abidin (1486-1500) yang juga merupakan murid sunan Giri memberikan upeti rempah-rempah dan hasil alam ke Giri melalui Jepara dan Gresik. Tidak hanya raja Ternate, raja Kalikali dari Kerajaan Tanah Hitu yang juga murid sunan Giri, selalu membayar upeti. Maka dari itu, Ratu Kalinyamat terus menjaga hubungan dengan Ambon, Hitu, Ternate, dan Banda sebab relasi yang dibangun lebih dari sekadar hubungan ekonomi.
Di tahun 1573, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Aceh meminta bantuan Jepara melalui utusannya untuk melawan Portugis di Malaka. Sekalipun tidak berhasil, kerja sama di antara keduanya membuktikan upaya kerajaan Aceh dan kerajaan Jepara dalam mempertahankan hegemoni Islam di kedua kerajaan tersebut. Dari hubungan yang dibangun oleh kedua kerajaan Islam itu menjadikan ratu Kalinyamat disebut sebagai 'de Kranige Dame’ atau wanita yang pemberani oleh Portugis.
Upaya Melawan dan Menyiasati Kebijakan Portugis
Pada tahun 1574, Portugis membuat beberapa syarat damai dengan Jepara guna menghentikan hubungan Jepara dengan Aceh. Hal ini sebelumnya pernah terjadi di Hitu dan Ternate pada 1565. Kala itu, Portugis melarang orang Jawa untuk melakukan perdagangan di wilayah tersebut dengan membuat aturan yang berbunyi "Tidak ada satu pun orang Jawa yang bisa berlayar ke Aceh tanpa izin yang dikeluarkan kapten malaka." Lebih awal dari Aceh, Hitu dan Ternate saat itu juga meminta bantuan pada Ratu Kalinyamat.
Mengetahui syarat damai Portugis, Ratu Kalinyamat tidak tidak kehabisan akal untuk menyusun strategi lainnya. Sebab, kebijakan perekonomiannya didukung oleh sejumlah kerajaan dari berbagai daerah, seperti kerajaan Mataram yang berada di pedalaman atau kerajaan Islam yang berasal dari berbagai negara, seperti Ternate, Banten, dan Cirebon. Kebijakan tersebut juga diperkuat dengan relasi politik yang dibangun dengan pemimpin-pemimpin spiritual di Jawa. Sehingga, Jepara tetap dapat melakukan perdagangan, namun dengan rute yang berbeda, yakni melalui selat Sunda, dan bukan selat Malaka. Di samping itu, Ratu Kalinyamat juga menjalin hubungan politik dengan para pedagang Cina melalui sungai Solo yang dapat menjangkau wilayah pedalaman.
Berdasarkan literatur Portugis, J. C. Van Leur (2015) menyebutkan bahwa hubungan perdagangan berskala internasional yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat berdampak hingga tahun 1600-an. Bahkan, hingga tahun 1615, perbendaharaan kapal dagang milik Jepara masih tersisa 50 junk yang mampu berlayar ke Malaka, sementara yang ke arah barat mencapai 200 kapal dengan masing-masing kapasitas, yakni 100 ton.
Walaupun Portugis menghentikan orang-orang Jawa untuk berdagang di Malaka, Ternate, dan Hitu, mereka tetap melakukan perdagangan namun hanya dengan bangsa pribumi. Sebab, mereka tidak ingin diganggu perdagangannya sehingga tidak menjalin hubungan dengan bangsa Eropa. Maka dari itu, ketika tahun 1565, masyarakat Hitu yang merasa kecewa dan melakukan pemberontakkan atas peraturan Portugis pun meminta bantuan kepada Ratu Kalinyamat. Sedangkan pihak Portugis menggunakan masyarakat non-Islam di Hitu sekaligus menjalankan misi penyebaran agama Kristen.
Perselisihan yang terjadi di antara masyarakat Hitu dan Portugis kemudian melahirkan permusuhan agama. Namun Ratu Kalinyamat dan pasukannya berhasil memukul mundur Portugis dari Hitu. Setelah itu Demak dan Jepara menjadi sekutu Hitu dalam melawan Portugis di Leitimor dan Ambon dalam upaya kristenisasi. Kekalahan Portugis atas Hitu menjadikan Leitimor dikuasai oleh Portugis dalam perdagangan cengkeh mereka. Menurut de Graaf dari berita Hikayat Tanah Hitu, hubungan Jawa-Hitu dibangun atas hubungan masyarakat muslim di hitu sebagai sesama murid sunan Giri.
Rupanya, setelah berhasil menguasai cengkeh Leitimor, Portugis kembali bangkit dan berhasil mengalahkan ekspedisi Jawa ke Malaka pada 1574. Sayangnya, Jepara mengalami kekalahan melawan Portugis di Malaka dan kurang lebih 2/3 pasukan Jepara gugur di medan perang. Kendati demikian, Portugis tetap mengakui keberanian Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jawa yang berani. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1579, wanita tangguh nan perkasa itu wafat. Menurut De Graaf, Ratu Kalinyamat diperkirakan gugur ketika melakukan ekspedisi melawan Padjadjaran yang kala itu belum Islam oleh Banten.