Juli berlalu tanpa kesan-kesan pers dan biografi. Orang-orang sibuk memikirkan Agustus meski masih Juli. Kita maklum jika Juli menjadi bulan untuk “pancatan” Agustus. Juli itu mengingatkan tokoh di jalan pers. Ia pun rajin menulis buku-buku biografi. Di sela sibuk mengurusi pers dan penulisan biografi, ia menikmati gairah sastra dengan menulis cerita, berperan sebagai penerjemah, dan mengerjakan saduran.
Sosok itu bernama Soebagijo Ilham Notodidjojo (5 Juli 1924-17 September 2013). Bulan lalu, kita tak mendapat berita atau undangan untuk peringatan 100 tahun Soebagijo IN. Indonesia sedang sibuk politik. Pemerintah dan institusi pers mungkin lupa tak membuat penghormatan dan mengenalkan (lagi) Soebagijo IN.
Semula, ia menekuni kerja dalam pers di Jogjakarta. Pada masa setelah Perang Dunia II, ia bergerak ke kota-kota besar dalam misi pers. Nama tercantum dalam arus sejarah kantor berita Antara. Soebagijo IN pun turut membesarkan beragam majalah. Ketekunan dalam pers berbahasa Indonesia dan Jawa. Dulu, ia turut sibuk di majalah berbahasa Jawa terbitan Surabaya: Panjebar Semangat. Di alur kerja jurnalistik, Soebagijo IN perlahan memahirkan dalam penulisan biografi.
Pada 1952, terbit buku biografi tipis berbahasa Jawa dengan judul Wage Rudolf Supratman. Buku di babak awal, berlanjut ia menulis puluhan buku biografi para tokoh pergerakan politik, wartawan, ulama, dan lain-lain.
Dua buku penting susunan Soebagijo IN membuktikan kemahiran dalam pengisahan para tokoh pers: Sebelas Perintis Pers Indonesia (1976) dan Jagat Wartawan Indonesia (1981). Buku-buku mengenai tokoh dan pers mengukuhkan Soebagijo IN sebagai dokumentator. Kerja dan pergaulan dalam pers disempurnakan dengan keranjingan membuat dokumentasi. Ketekunan itu menghasilkan tulisan-tulisan memungkinkan sejarah dan perkembangan pers (gampang) ditulis dengan urut dan (agak) lengkap.
Puluhan buku biografi susunan Soebagijo IN sering diterbitkan oleh Gunung Agung. Penerbit dirintis dan dibesarkan oleh Haji Masagung sengaja memanjakan terbitan buku-buku biografi dan autobiografi para tokoh selaku penggerak dan saksi sejarah. Dua buku terbitan Gunung Agung dianggap terpenting tentu mengenai Soekarno dan Soeharto. Daftar tokoh terus bertambah dalam terbitan Gunung Agung. Soebagijo IN tampil dengan puluhan buku, membutikan ketangguhan dan kecermatan dalam lacakan data untuk diolah menjadi tulisan biografi memikat.
Kita mulai membuka buku berjudul Sumanang: Sebuah Biografi (1981) garapan Soebagijo IN. Di sejarah pers, Sumanang itu tokoh berpengaruh dan memberi warisan-warisan penting. Tokoh itu mula-mula berasal dari kalangan ningrat. Nama lengkap: Raden Mas Sumanang Suriowinoto. Pada masa giat dalam pengajaran, pers, dan pergerakan politik kebangsaan, orang-orang mengenali sebagai Sumanang.
Pada suatu masa, Sumanang turut menjadi pendiri kantor berita dinamakan Antara. Kita mendapat penjelasan sejarah Antara oleh Soebagijo IN: “Salah seorang menanya kepada Sumanang: ‘Apa nama mingguan Bung Sumanang tempo hari yang diterbitkan di Bogor?’ Sumanang menjawab: Perantaraan. ‘Nah, bagaimana kalau kantor berita kita diberi nama Antara?” Orang-orang lekas setuju.
Sejarah pun mulai bergerak. Mereka mula-mula mengerjakan buletin. Pengisahan: “Sumanang datang ke Buitentijgerstraat 30 dengan membawa sebuah mesin ketik kuno. Sedangkan, Adam Malik berusaha untuk mendapatkan sebuah mesin roneo (stensil) yang juga sudah dalam keadaan bekas. Buletin Antara terbit untuk pertama tanggal 13 Desember 1937, sebagian besar berisi kutipan tajuk surat-surat kabar yang waktu itu kedapatan di kantor di Jalan Pinangsia 30 itu.” Di situ, Sumanang menulis: “Sekarang zaman berkorban, dan beloem temponja meminta oepah. Kandas atau langsoeng teroes dengan djalan ini kita merasa poeas. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh seorang pengarang (Wilhem Bauer), kita semoeanja beroetang boedi kepada pers.”
Soebagio IN dalam buku memuliakan tokoh berbarengan mengisahkan sejarah Indonesia. Kita membaca tak sekadar sejarah pers. Soebagijo IN sengaja memberi bobot besar untuk pers agar pembaca (makin) mengerti mengenai babak-babak terpenting dalam sejarah Indonesia berlatar abad XX sangat dipengaruhi oleh pers.
Pada 1987, terbit buku berjudul Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia susunan Soebagijo IN. Pilihan mengahdirkan tokoh pers lagi. “Apabila di kalangan jagat wartawan Indonesia ada bintang-bintang, maka Djamaluddin Adinegoro adalah salah satu bintangnya,” tulis Soebagijo IN. Pilihan tepat dalam menempatkan tokoh dalam arus sejarah pers di Indonesia.
Adinegoro, sosok awal menempuh studi jurnalistik dan berkelana di Eropa. Pada masa 1920-an dan 1930-an, ia membentuk biografi sebagai wartawan dengan buku berpengaruh: Melawat ke Barat. Pulang dari Eropa, Adinegoro menekuni kerja jurnalistik di Pandji Poestaka di naungan Balai Poestaka. Kerja berlanjut di Pewarta Deli (Medan). Ia makin mewujudkan ilmu-ilmu dipelajari di Eropa. Sosok lekas mendapat pengakuan dan pujian di jagat wartawan Indonesia.
Adinegoro pun dikenal dengan terbitan majalah bernama Abad XX. Soebagijo IN menerangkan: “… mingguan berbentuk majalah biasa. Isinya sesuai dengan namanya selain tulisan-tulisan yang aktual, juga membuka mata sidang pembacanya: betapa majunya orang lain dan di mana kala itu bangsa Indonesia masih berada. Semua tulisan disajikan dengan cara populer sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh sidang pembaca yang sebagian besar terdiri dari kaum awam.”
Tiga buku biografi dibuat Soebagijo IN di jagat pers: WR Supratman, Sumanang, dan Adinegoro. Kita masih membaca sekian nama berkaitan pers dalam buku-buku Soebagijo IN diterbitkan Gunung Agung. Buku buku mengesahkan Soebagijo IN sebagai jurnalis dan penulis biografi. Di Indonesia, ia sulit mendapat tandingan. Di peringatan 100 tahun Soebagijo IN, kita bakal kelelahan jika mau khatam semua buku biografi pernah ditulis dan diterbitkan oleh Gunung Agung. Pada suatu masa, Soebagijo IN bisa dijadikan nama penghargaan dalam pers atau industri perbukuan di Indonesia.
Di akhir, kita perlu mengingat Soebagijo sebagai pelaku dan saksi sejarah melalui buku berjudul Pengalaman Masa Revolusi (1982). Buku untuk bacaan anak. ia mengisahkan masa lalu: “Saya berangkat ke Sala… Malam resepsi diadakan di Hotel Merdeka. Bersama-sama dengan rekan-rekan wartawan dari Suara Muda, saya duduk di pojok dan menyaksikan kakak-kakak dan bapak-bapak wartawan yang sudah banyak makan asam garam jurnalistik… Di dalam kongres itu, terdapat pula acara mendengarkan pidato Tan Malaka, yang diucapkan selama lebih kurang tiga jam.” Ia mengisahkan kehadiran di peristiwa pendirian PWI di Solo, 1946.
Juli berlalu dan Agustus pun mau berlalu. Kita telat tapi enggan melupa Soebagijo IN. Kita tetap berhak membuat peringatan 100 tahun Soebagijo IN dengan tulisan, obrolan, atau sekadar membawa buku-buku. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah