Hati Saber Dawas, 38 tahun, betul-betul remuk. Uang yang dibawanya ternyata tak cukup untuk membeli sandal untuk keenam anaknya. Harga sandal itu tak masuk lagi dalam nalarnya. "Sandal termurah dijual seharga 70 dolar AS (Rp1 juta). Saya tidak punya uang sebanyak itu. Sejak perang, saya tidak punya pekerjaan," keluhnya.
Dia pun pulang dari pasar itu dengan tangan hampa juga hati yang terluka. Ini adalah pukulan kedua yang diterimanya. Beberapa hari sebelumnya, dia kehilangan semua barang – termasuk sepatu, yang dibawanya saat mengungsi kamp pengungsian di Al-Mawasi, sebelah barat Khan Younis di Jalur Gaza selatan.
Dawas makin gulana ketika melihat anak-anaknya berjalan tanpa mengenakan alas kaki di tengah reruntuhan bangunan yang hancur dihantam bom Israel. Kaki-kaki kecil anak-anaknya itu harus menahan panas pasir yang menyengat. Pecahan kaca dan juga paku bisa mengancam mereka.
Mahmoud Shahin juga punya kisah yang sama dengan yang dialami Dawas. Dia bersama istri dan enam orang anaknya, yang kini menetap di kamp pengungsian di Nuseirat, Gaza Selatan, menjerit akibat harga alas kaki yang teramat tinggi.
Dua bulan pertama perang, saat berada di Rafah dia sempat membeli sepatu di pasar. Harganya sudah melonjak. Dia membeli enam pasang sepatu dengan harga 500 shekel atau sekitar Rp2 juta. Padahal di masa normal, harganya hanya 200 shekel atau Rp826 ribu.
Kualitasnya juga tidak bagus. Beberapa bulan kemudian, sepatu itu rusak.
“Saya tidak punya uang lagi, jadi saya terpaksa memperbaikinya. Setiap perbaikan menghabiskan biaya sekitar 10 shekel (Rp41.000), tergantung kerusakannya,” kata Shahin.
Hanya beberapa saat, sepatu itu pun kembali rusak. Dia pun menyerah. Tak ada uang yang dimiliki lagi. Walhasil, dua putranya, Ibrahim dan Mohammed, menghabiskan sebagian besar waktu mereka tanpa alas kaki.
Warda Subh, pengungsi lainnya juga tak mampu membeli sepatu yang harganya tidak lagi terjangkau. "Jika bukan karena kebutuhan, saya tidak akan membelinya sama sekali," katanya. "Semua yang saya miliki hancur dan saya butuh sesuatu untuk bertahan hidup."
Di Gaza memiliki sepatu dan sandal menjadi sebuah kemewahan. Harganya bisa melonjak menjadi sepuluh kali lipatnya. Jelas mereka tak memiliki uang sebanyak itu. Kalau pun ada uang, seperti kata Subh, mereka mengutamakan untuk membeli bahan makanan.
Blokade yang dilakukan tentara Israel yang menutup akses ke seluruh Gaza adalah sebabnya. Menurut kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, tentara Israel telah memberlakukan pengepungan ketat terhadap Gaza, menutup perbatasan dan mencegah barang-barang kebutuhan pokok, termasuk sepatu, sandal, dan produk kebersihan. Akibatnya, seperti barang-barang lainnya, harga sandal dan sepatu melonjak tinggi.
Namun, para penjual sandal berdalih. Mereka menolak bila disebut mencari untung di tengah kesulitan. Kepada The National, Idris Ahmad, seorang penjual sepatu di pasar Nuseirat, mengatakan mustahil baginya untuk menurunkan harga sepatu atau sandal.
Tingginya harga itu karena para pedagang menimbun sepatu dalam jumlah besar. Mereka hanya menjual dengan harganya sangat tinggi. “Walhasil, kami terpaksa menjual dengan harga tinggi karena kami sendiri membelinya dengan sangat mahal,” katanya.
***
Tidak ada yang tahu kapan penyerangan Israel akan berakhir. Bagi masyarakat Gaza tak ada pilihan lain kecuali harus terus melanjutkan hidup, apa pun keadaannya. Juga dengan persoalan alas kaki ini. Tak ada harapan mereka bisa mengatasi hal itu.
Saber Dawas pun memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Bagaimana pun hatinya teriris melihat mereka sehari-hari berlarian tanpa mengenakan alas kaki. "Saya tidak tega membiarkan anak-anak saya menderita karena pasir panas atau berjalan tanpa alas kaki sepanjang waktu," katanya.
Saber Dawas kemudian mendapat ide untuk membuat sandal darurat untuk anak-anaknya. Dengan menggunakan keterampilan pertukangannya, dia memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitarnya.
Sebilah kayu – yang digergaji dibagi dua seukuran kaki anak-anak. Lalu di kedua ujungnya dibuat lengkungan. Langkah berikutnya, dia mengambil karet seukuran jari dan memotongnya sesuai dengan ukuran yang diinginkannya. Palu dan paku kemudian menyelesaikan pembuatan terompah kayu itu. Kalau di sini dikenal dengan nama bakiak.
Ternyata, anak-anaknya cukup senang dengan sandal buatannya itu. Mereka berjalan tanpa khawatir akan ketidaknyamanan dari kaca atau pasir panas. Melihat kegembiraan di wajah anak-anaknya, Dawas memutuskan untuk membantu anak-anak lain di kamp pengungsian.
Ia memperluas produksi sandal kayu untuk anak-anak di Al-Mawasi dan menawarkannya secara gratis. Caranya, mereka yang membutuhkan sandal tinggal menyediakan bahan-bahannya. “Saya dengan senang hati membuatkan sandal untuk melindungi kaki mereka baik di musim panas maupun musim dingin,” ungkapnya.
Terompah kayu seperti itu juga terlihat di kawasan Al Amal di Khan Younis, Gaza selatan. Di sana, Mahmoud Wadi membuat sandal untuk anak-anak. Bahannya tak berbeda dengan yang dibuat Dawas, kayu dan kain. Sandalnya tidak nyaman, tetapi itulah satu-satunya pilihan yang terjangkau bagi banyak orang di Khan Younis.
Berbeda dengan Dawas, Wadi menjual sandal kayunya ini dengan banderol 25 shekel atau sekitar Rp103 ribu. Maklum bahan-bahannya dia sediakan sendiri. “Sepatu itu tidak sempurna, tetapi itulah yang kami miliki saat ini," katanya.
Kini, anak-anak itu gembira. Mereka berjalan dengan tenang di antara puing-puing reruntuhan gedung. Salah satu dari mereka bahkan bangga dengan sandalnya itu. "Ayah saya adalah pahlawan karena dialah yang membuatkan sandal saya," kata Heba Dawas, 9 tahun, anak dari Saber.
Irfan Budiman
Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.