Modernitas Barat tidaklah melulu dipandang berkelindan dengan agama Kristen atau berbahaya bagi Islam, tetapi dianggap sebagai tantangan nyata bagi umat muslim untuk bergerak maju serta mencerdaskan dan membebaskan dirinya.
Sayyid Utsman (1822-1914), seorang mufti Batavia yang berasal dari Arab, ditahbiskan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai penasihat kehormatan untuk urusan Arab dari 1891 sampai kematiannya pada 1914. Sayyid Utsman merupakan diaspora kaum hadhami. Pemerintah kolonial Belanda biasanya memandang orang-orang keturunan Arab sebagai “oriental asing”.
Utsman mengkritik beberapa aliran sufi tertentu yang dirasakannya tidak memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan dianggap sebagai ancaman bagi hukum kolonial dan ketertiban di Jawa. Dia menerima tunjangan dari pemerintah–meskipun dibayarkan secara diam-diam oleh Snouck, bukan dari kerja sama terbuka berkat kedudukannya sebagai mufti.
Snouck menganggap Utsman sebagai “teman Belanda”, dan “lebih berharga bagi kita tinimbang sekian banyak agen liberal peminum anggur”. Utsman menyebut dirinya “mufti Islam untuk masyarakat” ketika menulis perihal keyakinan Islam, ritual, masalah hukum, dan sosial politik terkait jihad, bid’ah, dan tarekat. Contohnya, dia mengecam para haji yang memberontak melawan Belanda di Cilegon, Banten, dan Jawa pada 1888 dan menyebutnya sebagai “kesalahpahaman pemafhuman jihad oleh orang-orang tolol”.
Utsman ingin mendukung hukum dan ketertiban serta mencegah terjadinya gangguan politik. Kerja samanya dengan pemerintah mengakibatkan dirinya dituduh sebagai “mata-mata Belanda”. Kerja sama Utsman dengan Snouck menabalkan adanya hubungan timbal balik antara seorang pembaru tradisionalis muslim dan pelaku modernisasi kolonial.
Telatah Sayyid Utsman
Lahir di Pekojan pada 1 Desember 1822, sebuah perkampungan Arab yang dibangun Belanda di Batavia, Sayyid Utsman–nama lengkapnya Sayyid Uthman ibn Abdillah ibn Aqil ibn Yahya al-Alawi–tumbuh dalam keluarga yang terdidik secara agama. Lebih dari itu, dia berasal dari keluarga sayyid, yang secara tradisional diyakini berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw dan karenanya dianggap memiliki status sosial lebih tinggi dari orang dan keluarga Arab lain. Utsman sejak kecil telah mendapat perlakuan istimewa dari kalangan masyarakat Arab dan muslim Nusantara secara umum.
Al-Misri (Abd al-Rahman al-Misri), kakeknya, adalah seorang ulama yang dihormati di Batavia dan mengasuh Utsman muda ketika ayahnya kembali ke Makkah. Tatkala al-Misri meninggal pada 1847, Utsman, waktu itu berusia 18 tahun, pergi ke Arab untuk melanjutkan studinya. Abdul Ghani Bima dan Ahmad Zaini Dahlan adalah di antara gurunya di Makkah. Dia juga melakukan perjalanan ke negara-negara lain di Timur-Tengah, Afrika Utara dan Istanbul, sebagiannya untuk belajar pada ulama termasyhur. Utsman kemudian kembali ke Batavia pada 1862, dan mulai mendirikan usaha percetakan.
Dalam bukunya, Islam, Colonialism, and the Modern Age in the Netherlands East Indies: A Biography of Sayyid ‘Uthman, 1822-1914 (2014), sejarawan Nico J.G. Kaptein mendedahkan bahwa reputasi Utsman bermula ketika dia masuk ke dalam lingkaran kekuasaan kolonial pada 1885. Tulisannya ihwal tarekat sufi Naqsyabandiyah, al-Nasihat al-Aniqa li al-Mutallabisin bi al-Thariqah (Nasihat Elok untuk Pengikut Tarekat, Batavia 1883), dipakai oleh Pemerintah Belanda, khususnya Holle, dalam menangani peristiwa Cianjur pada 1885. Karya Utsman yang anti-Naqsyabandiyah ini dijadikan Holle, sebagai dasar argumen tentang bahaya potensial tarekat di Cianjur pada periode itu, yang mana seorang aristokrat pribumi di wilayah itu menjadi anggotanya yang aktif.
Tanpa perlu menjelaskan secara mendetail peristiwanya, perihal hakiki ditekankan di sini ialah, peristiwa Cianjur menjadi sebuah momen untuk terciptanya kolaborasi antara Sayyid Utsman dan pemerintah kolonial Belanda.
Adalah Snouck Hurgronje yang kemudian menjadi pelindung Utsman. Menurut sejarawan Wim van Den Doel dalam bukunya, Snouck: Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje (2023), Snouck Hurgronje mungkin telah mengenal Utsman melalui Van der Chijs di Hijaz, yang dengannya Utsman menjalin kontak secara intensif. Ketika pemerintah kolonial tengah memberi perhatian besar pada pertumbuhan komunitas Hadramaut di Hindia Belanda, ulama hadrami terkemuka seperti Utsman sangat potensial untuk menjadi pemimpin yang sedang dicari-cari Snouck Hurgronje.
Pada 1886, Snouck Hurgronje memuji Utsman sebagai sekutu Arab Pemerintah Hindia Belanda. Dengan cara yang sama Utsman menyadari bahwa Snouck Hurgronje adalah pelindung potensial untuk dirinya. Karena itu, dalam sebuah surat yang dia kirim kepada Snouck Hurgronje, dia menyatakan kesediaannya mengabdi kepada Belanda. Alhasil, pada 1889 Utsman direkomendasikan untuk menduduki sebuah posisi di pemerintahan, tidak lama setelah kedatangan Snouck Hurgronje di Batavia. Pasca dua tahun bekerja, titimangsa 20 Juni 1891, Utsman kemudian diangkat sebagai Penasihat Kehormatan untuk urusan-urusan Arab.
Utsman mendedikasikan hidup dan kemampuan intelektualnya kepada Pemerintah Hindia Belanda, menambah pengetahuan tentang Islam yang dihimpun Belanda dari penghulu (Suminto 1985). Dia, seperti halnya penghulu, tampil sebagai seorang elite agama yang menyuarakan rust en orde (kedamaian dan keteraturan) di Hindia Belanda. Peran ini dalam beberapa hal sejalan dengan elan keagamaan Utsman yang sebagian berasal dari tanah leluhur, di mana pembaruan yang dia suarakan, terutama mengenai perlawanannya kepada keyakinan dan praktik lokal, juga tarekat, bertemu dengan kepentingan dan agenda kolonial Belanda.
Sayyid Utsman adalah seorang ulama yang loyal, yang bertungkus-lumus untuk–seperti diharapkan oleh Snouck–memberi legitimasi agama kepada kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Hal ini membuat patronnya kemudian menciptakan sebuah jabatan setengah resmi pada 1887, di mana Utsman ditugaskan sebagai mufti Batavia.
Satu tahun kemudian, Utsman diminta menyusun sebuah doa khusus untuk Ratu Wihelmina dalam upacara naiknya sang ratu ke singgasana, 31 Agustus 1889. Utsman pun ikut serta dalam doa untuk sang ratu, memuji perlakuan kolonial yang “adil” kepada muslim Hindia Belanda, karena membolehkan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka dan menjaga keamanan dan keadilan dalam kehidupan negara. Utsman membacakan doa untuk Ratu Wihelmina di Masjid Pekojan, kota kelahirannya, pasca sembahyang Jum’at, pada 2 September 1898. Dia juga membagikan salinan doa itu untuk dibaca dalam sembahyang Jum’at di seluruh Jawa dan Madura. Doa ini mengundang reaksi keras dari beberapa faksi komunitas Muslim dan Arab, baik di Hindia Belanda maupun Singapura.
Mendukung Sarekat Islam
Kongres Sarekat Islam (SI) di Solo pada 23 Maret 1913 menjadi arena politik tersendiri bagi Sayyid Utsman untuk tampil memberikan pidato dalam kedudukannya sebagai pejabat pemerintah kolonial dan sekaligus tokoh agama (mufti). Walaupun diberitakan tidak terdengar jelas–mungkin karena faktor usia–beberapa hal bisa diidentifikasi. Pidatonya menegaskan bahwa gerakan SI memiliki makna penting bagi kebaikan muslim Hindia Belanda; apa yang menjadi inti perjuangan SI tidak lain adalah menciptakan kebaikan dan kemajuan. Karenanya, menurut Utsman, SI jelas penting bagi umat muslim, dan lebih penting lagi tidak membahayakan kepentingan pemerintah kolonial (de Jonge 2022).
Gerakan SI maujud dari kondisi yang patut disyukuri, di mana suasana aman dan tertib telah tercipta berkat pemerintah kolonial Belanda. Selanjutnya, kebijakan pemerintah yang tidak ikut campur dalam urusan agama, tetapi justru memfasilitasi muslim untuk melaksanakan ibadahnya, menjadi satu butir yang sangat dihargai. Oleh sebab itu, sebagaimana peserta kongres pada umumnya, Utsman menekankan perlunya hormat dan patuh kepada pemerintah kolonial.
Pidato Sayyid Utsman senada dengan aspirasi tokoh dan pengurus SI yang kala itu tengah menunggu persetujuan dari pemerintah. Bahkan, pemikiran Utsman–khususnya terkait hubungan agama [Islam] dan negara–nampak menjadi alasan pokok yang dibawa pengurus SI Pusat dalam sebuah pertemuan khusus dengan Gubernur Jenderal Idenburg pada 29 Maret 1913. Dalam pertemuan itu, pengurus SI memperdalam sejumlah dasar pemikiran untuk menjadi pertimbangan pemerintah memberi persetujuan hukum bagi keberadaan SI. Di situ tertulis sejumlah butir, di antaranya yang pertama adalah bahwa kaum pribumi sangat menghargai sikap pemerintah yang tidak ikut campur dalam urusan agama; butir kedua menekankan dukungan pemerintah untuk melaksanakan ajaran agama dengan baik, seperti membantu pembangunan masjid, memfasilitasi urusan perkawinan dan pelaksanaan hukum waris. Dasar pemikiran tersebut merupakan butir-butir utama dari isi pidato Utsman.
Pidato Utsman mendapat sambutan sangat luas. Jurnal al-Munir di Padang bahkan memuat penuh pidato Utsman dalam sebuah edisi yang terbit sebulan kemudian (April 1913). Tak hanya pidato di depan peserta kongres, pemikiran Utsman tentang SI juga tertuang dalam sejumlah karya. Salah satunya berupa fatwa yang kemudian diperluas menjadi satu kaya kecil berjudul Selampai Tersulam (1913). Dalam hal ini, Utsman mencatat bahwa SI didirikan untuk tujuan yang baik, yang sesusai dengan ajaran Islam–bukan untuk demonstrasi dan juga tidak untuk memboikot suku tertentu yang hidup di Hindia Belanda. Sejalan dengan perihal itu, anggota dan simpatisan SI diharapkan bersikap dan berprilaku beradab, baik itu antara sesama umat manusia (perlunya membangun solidaritas), maupun dengan pemerintah (setia kepada aturan negara).
Sekitar satu bulan kemudian, dalam rangka menanggapi diskusi publik yang terus memanas, Sayyid Utsman kembali menulis karya pendek lain berjudul Sinar Astrallamp (1913), yang secara khusus dikarang untuk menerangkan tentang SI atas hujatan sejumlah pihak antara lain, dari tarekat Naqshabandiyah. Melalui sebuah fatwa, tarekat itu mendiskreditkan SI sebagai organisasi Kristiani dan air yang digunakan dalam upacara pengambilan sumpah untuk anggotanya adalah air Nasrani. Menangkis hujatan tersebut, Utsman melalui karya itu memdedahkan bahwa SI tidak seperti anggapan tarekat Naqshabandiyyah. Dengan mengutip beberapa ayat Alquran, Utsman menegaskan bahwa SI sangat berguna bagi umat muslim dan keberadaannya sesuai dengan ajaran Islam. Dia mempertajam pernyataan itu dengan menghadirkan sejumlah fakta bahwa, dengan keberadaan SI ini, gairah keislaman tampak makin meningkat.
Perihal ini merupakan bukti Sayyid Utsman dalam mendukung SI sekaligus menjamin pihak penguasa, bahwa kehadiran SI jauh dari ancaman yang membahayakan. Meski tentu bukan satu-satunya, suara Utsman ini tampaknya telah menjadi petimbangan pemerintah kolonial Belanda. Perlu ditegaskan bahwa seiring jabatannya, pandangan Utsman telah mengisi pengetahuan pihak penguasa tentang SI. Akhirnya, pada 30 Juni 1912, Idenburg mengabulkan permohonan SI dengan memberi dasar hukum resmi atas keberadaan SI (Kaptein 2014).
Lanskap kehidupan Sayyid Utsman ini menjelaskan bahwa, dia merupakan suatu bentuk penyesuaian diri yang dituntut dari seorang imigran. Seperti rekan-rekannya sesama Hadrami dan Arab lainnya, “status Arab”-nya telah membuat mereka sangat dihormati oleh muslim Hindia Belanda. Akan tetapi, secara bersamaan hal itu membuat dia, dan orang hadrami serta Arab pada umumnya, berada dalam ketidakpastian ke negara mana mereka harus menyatakan dan menunjukkan kesetiaannya. Ini menjadi isu hangat pada permulaan abad ke-20.
Menurut sejarawan Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, sikap akomodasionis Sayyid Utsman terhadap Belanda bukanlah satu-satunya. Banyak karya penting tentang orang-orang Hadrami memperlihatkan bahwa di Hindia, mereka umumnya mendukung penguasa non-Muslim di tanah kaum muslim, bahkan di tanah air mereka sendiri, Hadramaut.
Sebaliknya, sebagian besar dari mereka dianggap mengabaikan masalah-masalah politik; orang-orang Hadrami di Hindia mengabaikan penindasan Belanda kepada kaum muslim pribumi sepanjang kepentingan mereka tidak dalam bahaya. Mereka hampir selalu memihak Belanda dalam konflik dan perang melawan kaum muslim pribumi. Belanda mempunyai daftar panjang para sayyid Hadrami terkemuka yang mendukung Belanda dalam upaya menumpas berbagai kerusuhan dan pemberontakan di kalangan kaum muslim lokal di seluruh Nusantara.
Mereka termasuk Sayyid Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Qadri di Sumba, Sayyid Abd al-Rahman bin Hamid al-Qadri di Banjarmasin, Sayyid Abd Allah bin Mashur al-Aidarus di Batavia, Sayyid Abu Bakr di Palembang, dan Sayyid Umar al-Habsyi di Surabaya. Dalam banyak kasus, mereka dianugerahi gelar kehormatan oleh Belanda atas pengabdiannya (Azra 2002: hlm. 147).
Selain itu, Utsman berhasil “mengkapitalisasi” kemampuan keulamaannya–di luar ulama-ulama pesantren–untuk meraih kedudukan strategis di pemerintahan, sehingga bisa mentransformasikan pemikiran keagamaannya menjadi rumusan kebijakan kolonial ihwal Islam dan kaum muslim. Meski pernah berhadapan dengan pengikut tarekat dan ulama pondok pesantren, terutama dalam kasus pemberontakan Cilegon tahun 1888 (lihat Kartodirdjo 1966), posisi Sayyid Utsman sangat strategis membantu Sarekat Islam mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Belanda pada awal abad ke-20. Dengan cara itu, Utsman telah ikut mewarnai Islam Nusantara.
Sayyid Utsman wafat titimangsa 18 Januari 1914. Kiwari, di kompleks pemakamannya di Pondok Bambu–pasca dipindahkan dari Tanah Abang dan kemudian Jeruk Purut–makam ulama Hadramaut ini banyak diziarahi orang. Bersamaan dengan itu, di masjid yang dibangun di samping makam, banyak kalangan muslim menyelenggarakan pelbagai ritual keagamaan.
Muhammad Iqbal
Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).