Dini hari: waktu untuk berdoa dan membuat percakapan dengan Tuhan. Waktu itu mengesankan hening dan lambat. Mata terbuka bagi pendoa dan “pembuka” selubung-selubung dunia sebelum matahari terbit. Jumat, 19 Januari 2024, dini hari sosok itu pamit. Ia berpisah dari kita dan dunia. Pamit dengan memberikan warisan puisi-puisi. Doa-doa untuk Abdul Hadi WM (1946-2024) saat hari-hari milik kita masih bergelimang puisi.
Pada 1975, ia menggubah puisi berjudul “Pembaringan”, persembahan untuk nenek. Bait terbaca lagi: Di pembaringan kau sebuah dia, kepekatan belukar/ dekat jendela dan halaman kuburan tak berpagar/ Biarlah pancuran antara kau dan aku sekarang berhenti/ dan pagi lain berangkat dari subuh malam. Kematian tak selesai dengan tangisan. Ia masih “memiliki” dengan ikhlas saat pergi. Kematian mengingatkan waktu: berhenti dan bergerak bagi manusia. Di situ, manusia menjelma menjadi doa.
Kini, si penggubah puisi turut pamit. Kita memberi janji untuk puisi-puisi sambil membuka halaman-halaman telah dibuat Abdul Hadi WM selama hidup. Dulu, ia mengungkap “tergantung pada angin”, diubah A Teeuw menjadi “tergantung pada kata”. Kita pun mengubah menjadi “tergantung pada puisi”. Kita masih bersama puisi-puisi gubahan Abdul Hadi WM di kesuburan sastra Indonesia.
Puisi berkaitan kematian dan pujangga silam itu berjudul “In Memoriam Amir Hamzah”. Sejak mula, ia membaca puncak-puncak puisi (berbahasa) Indonesia, sejak masa 1930-an. Amir Hamzah menjadi tokoh, memberi puisi-puisi religius. Pada masa berbeda, Abdul Hadi WM menuliskan “kehadiran” bersama saat mengenang: Kita jenguk air. Obor itu menyalakan malam/ Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus// sampai senja lain tiba. Pada masa 1970-an, ia tampil dengan arus sastra sufistik tak tak ingin “meniru” dan menjadi “salinan” Amir Hamzah. Ia mengerti puisi-puisi terus digubah memiliki kiblat berbeda.
Doa dituliskan Abdul Hadi WM berbeda dengan doa-doa ditulis Amir Hamzah, JE Tatengkeng, Chairil Anwar, Rendra, dan Sapardi Djoko Damono. Abdul Hadi menulis puisi berjudul “Doa II”. Kita membaca lagi setelah ribuan puisi bertema doa bertebaran di Indonesia: Tuhan, kami yang berumah di udara dan air/ bahagia beroleh angin dapat lagi mengalir. Di kesusastraan Indonesia, ia rajin mencantumkan Tuhan dalam puisi-puisi. Ia merasa “dekat” dan “akrab”. Berpuisi itu berdoa. Berpuisi: pertemuan dengan Tuhan.
Di buku berjudul Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (1999), Abdul Hadi WM mengungkapkan tentang “sastra sufistik” atau “sastra transendental”. Penjelasan sederhana: “… pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.” Penjelasan itu terus mendapat tambahan dengan penulisan esai-esai dan disertasi bertumpu “sastra sufistik”. Ia dalam ketekunan akademik selain menggubah puisi-puisi.
Dulu, ia telah berdoa untuk Indonesia. Pada saat Indonesia sedang bimbang dan berantakan, ia tak menggubah puisi lagi. Kita membaca “Doa Untuk Indonesia”, membaca persembahan dari puluhan tahun lalu berlatar Orde Baru: Indonesia adalah sebuah kamus/ Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet/ Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik/ Sampai mata menjadi bengkak/ Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda/ kata ulang, kata sifat/ Kata sambung dan kata majemuk masuk ke dalam mimpimu/ Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia?/ Di manakah kamus itu kau jual di pasar dunia?
Puisi mengingatkan Indonesia geger kata gara-gara hajatan demokrasi. Orang-orang mau menjadi penguasa itu memilih dan mengumbar kata-kata meminta suara dan tepuk tangan. Mereka menjadikan kata-kata itu pikat meski mengandung dusta dan ilusi. Abdul Hadi WM meninggalkan kita saat “kamus politik Indonesia” makin tak keruan. Politik tak puitis. Politik melulu picik. Politik dengan kerancuan imajinasi dan penghancuran nalar (berbahasa) Indonesia.
Ia mengadu kepada Tuhan, bukan soal kamus tapi kehendak makmur makin mustahil terwujud di Indonesia: Tuhanku, mengapa kau biarkan ular-ular yang lapar ini/ Melata di bumi merusak hutan-hutan/ Dan kebun-kebunmu yang permai/ Mengapa kau biarkan mereka. Larik-larik bermasa lalu. Kita bisa menjadikan kutipan (aktual) dalam melihat Indonesia sebelum dan setelah hajatan demokrasi.
Pada 2003, Abdul Hadi WM menulis puisi berjudul “Doa”, mendokumentasi diri dan dunia berubah. Ia tak pernah selesai berdoa, mengajukan kata-kata mengandung permintaan dan keluhan. Kita membaca: Himpunlah daun yang berserak-serak ini/ Jadikan pohon penghias tamanmu yang naung/ Sungguh hidup ini akan iri pada mati/ Jika mati demi Kau dan di jalan-Mu/ Tinggallah dalam jiwa kami sekali lagi/ Dengan seruan “Aku lebih dekat”-Mu di kalbu kami. Petikan dari puisi panjang itu menunjukkan pengalaman religius beralamat di Mekkah dan Jakarta. Ia terus menulis puisi. Ia tetap mencantumkan Tuhan.
Di tulisan berjudul “Catatan-Catatan Seorang Penyair”, kita membaca pengakuan Abdul Hadi WM (1983) memilih di jalan puisi: “Saya tak pernah merasa benar-benar puas atas sajak-sajak yang pernah saya tulis.” Ia telah menghasilkan buku-buku puisi tapi merasa “belum” dan “sembrono” dalam kepuasan. Kita mengenang pijakan berpuisi telah dirawat sejak lama: “Tapi, kenyataan paling penting bagi penyair untuk sajak-sajaknya bukan melulu kenyataan di dunia luar, melainkan justru dunia di dalam dirinya sendiri yang disebut jagad kecil atau alam saghir. Menulis puisi teruatama adalah menyelami jagad kecil ini secara kreatif, mencari getaran-getaran hidup di dalamnya, dan mencoba berdialog dengan yang kekal dan menyatukannya dengan yang fenomenal.”
Puisi dan pengakuan dari masa lalu bersama kita saat berdoa atas kepergian Abdul Hadi WM. Ia pamit tapi puisi-puisi masih “berpahala”, menemukan pembaca-pembaca sampai kelak untuk anak dan cucu. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah