Memiliki warna yang serupa -merah, hitam, putih, dan hijau- dengan bendera nasional Palestina, irisan buah semangka dijadikan sebagai simbol yang dapat merepresentasikan bendera nasional itu. Praktik penggunaan simbol ini merupakan bentuk protes terhadap pemerintahan Israel yang melarang pengibaran bendera Palestina. Canggihnya kemajuan teknologi informasi, menjadikan simbol irisan buah semangka populer di sejumlah platform media sosial baru-baru ini.
Pada awal tahun 2023, tepatnya bulan Januari lalu, Menteri Keamanan Nasional Israel sayap kanan Itamar Ben-Gvir memberikan instruksi kepada polisi untuk menyita bendera Palestina yang dipasang di ruang publik. Tindakan tersebut diikuti dengan pemungutan suara pada bulan Juni mengenai rancangan undang-undang yang melarang pengibaran bendera Palestina di sejumlah lembaga yang didanai negara, termasuk universitas. Awalnya UU tersebut berhasil, namun kemudian gugur karena pemerintahan Israel bubar.
Dilansir Time, sejatinya penggunaan semangka sebagai simbol dari negara Palestina bukanlah hal yang baru. Praktik ini sudah dilakukan sejak tahun 1967 pada Perang Enam Hari atau Six-Day War, yakni ketika Israel menguasai Tepi Barat dan Gaza serta mencaplok Yerusalem Timur. Pada peperangan itu pula Pemerintahan Israel menjadikan pengibaran bendera Palestina sebagai pelanggaran pidana di Gaza dan Tepi Barat.
Untuk menghindari larangan yang ditetapkan oleh pemerintahan Israel itu, warga Palestina kemudian menjadikan irisan buah semangka sebagai simbol dari bendera nasional mereka. Mengetahui kabar tersebut dengan cepat, pemerintah Israel kemudian menindak tegas praktik tersebut. Pameran seniman terkemuka Palestina, Sliman Mansour dan rekan-rekan seniman lainnya ditutup lantaran dianggap memuat unsur politik. Bukan hanya bendera Palestina yang tidak diperbolehkan, tapi apa pun yang memiliki kombinasi warna serupa dengan warna bendera nasional itu juga dilarang total.
"Mereka mengatakan kepada kami bahwa mengecat bendera Palestina itu dilarang, warnanya juga dilarang. Kemudian Issam berkata, ‘Bagaimana jika saya membuat bunga berwarna merah, hijau, hitam dan putih?’, dan petugas itu menjawab dengan marah, ‘Ini akan disita. Bahkan jika kamu mengecat semangka, itu akan disita,’" kata Mansour kepada The National pada 2021 ketika mengisahkan ditutupnya 79 galeri di Ramallah oleh pemerintah Israel pada 1980.
Mengutip Decolonized Palestine, Mansour sendiri sebenarnya tidak ingat apakah ada seniman yang menggunakan semangka dalam karya seninya sebagai pernyataan politik atau tidak. Memang benar ada ungkapan tentang orang-orang yang menggunakan semangka sebagai contoh kombinasi warna yang dilarang. Namun tidak ada satu pun referensi yang menyebutkan penggunaan irisan semangka sebagai pernyataan politik atau sebagai pengganti bendera Palestina.
Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa kibaran bendera Palestina, Israel akhirnya mencabut larangan penggunaan bendera Palestina pada tahun 1993 sebagai bagian dari Perjanjian Oslo. Perjanjian itu mencakup pengakuan bersama Israel dan Palestina serta menjadi perjanjian formal pertama yang berupaya menyelesaikan konflik di antara dua negara itu. Bendera Palestina kemudian disetujui sebagai representasi dari otoritas Palestina, otoritas yang akan mengelola Gaza dan Tepi Barat.
Simbol Identitas Negara Palestina
Memang, irisan buah semangka memiliki warna yang sangat mirip dengan warna bendera nasional Palestina. Namun, buah tersebut bukan satu-satunya tumbuhan yang menjadi simbol dari identitas negara itu. Beberapa tumbuhan yang juga menjadi simbol dari negara Palestina di antaranya jeruk dan pohon zaitun.
Jeruk
Jeruk, atau tepatnya jeruk Jaffa adalah jenis jeruk yang dikenal dengan rasanya yang manisnya, dagingnya yang tebal, dan kulitnya yang mudah dikupas.
Sebelum malapetaka Nakba terjadi pada tahun 1948, yakni pembentukan negara Israel yang mengakibatkan 750.000 penduduk Palestina terusir dari tanah di mana tempat nenek moyang mereka tinggal, jeruk Jaffa menjadi salah satu ekspor utama para petani dan pengusaha Palestina. Karena keunggulan jeruk Jaffa, buah itu juga mewakili identitas negara Palestina dari segi seni dan sastra.
Novelis sekaligus jurnalis Palestina Ghassan Kanafani menggunakan jeruk untuk melambangkan kehilangan dalam cerpennya. Karya tersebut ia buat pada tahun 1958 tentang Nakba, berjudul The Land of Sad Oranges. Kisah itu bermula ketika narator dan temannya tengah mengamati keluarga mereka pada malam ketika Nakba terjadi. Masing-masing keluarga mereka mengemas barang-barang yang mungkin bisa dikemas. Sayangnya, mereka tidak bisa mengemas pohon jeruk Jaffa sehingga terpaksa meninggalkan pohon jeruk yang sudah dirawat dengan baik yang telah dibeli satu per satu.
Penggalan cerita tentang pohon-pohon jeruk Jaffa yang dirawat dengan hati-hati dalam jangka waktu yang lama memiliki makna adanya hubungan yang begitu erat antara petani Palestina dengan tanah tempat mereka tinggal. Namun hubungan itu terpaksa harus disudahi oleh ratusan ribu warga Palestina karena peristiwa Nakba.
Sebelum meninggalkan Palestina dan memasuki wilayah Lebanon, narator berhenti sejenak untuk menghampiri pedagang jeruk Jaffa di sisi jalan. Di tengah isak tangis keluarganya, ia membeli beberapa jeruk Jaffa sebagai bentuk kenangan untuk semua pohon jeruk yang ditinggalkan untuk orang-orang Yahudi.
Di Lebanon, kehidupan yang dijalani oleh para pengungsi sangat sulit, terutama bagi ayah dari teman narator. Kisah ini berakhir ketika narator menyaksikan ayah temannya mengidap gangguan mental. Narator menyadari bahwa diusir secara paksa dari “negeri jeruk” merupakan kerugian yang sangat besar yang diterima rakyat Palestina.
Pohon Zaitun
Pohon Zaitun juga merupakan salah satu simbol perlawanan negara Palestina. Pohon yang dapat ditemui di seluruh penjuru negara Palestina ini dipercaya oleh salah seorang penduduk Palestina Nour Alhoda Akel sebagai tumbuhan diasosiasikan dengan identitas Palestina. Sama halnya dengan kisah pohon jeruk Jaffa dalam cerpen karangan Kanafani, pohon zaitun mewakili hubungan mendalam masyarakat Palestina dengan tanah air mereka.
“Pohon zaitun bisa hidup ratusan tahun,” kata Akel, seperti dikutip dari Aljazeera.
“Jadi kalau pohon di luar rumah saya berumur 100 tahun, saya secara otomatis terhubung dengannya,” jelasnya mengacu pada tanah tempat pohon itu berdiri.
Setiap tahun saat masa panen tiba, Akel bersama dengan keluarga besarnya memetik buah zaitun dari kebun mereka, yang merupakan pusaka keluarga. Seminggu hari setelahnya, mereka membuat minyak zaitun dari hasil panen dan mengawetkannya. Minyak zaitun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga panen tahun depan.
Bagi masyarakat Palestina, pohon Zaitun adalah sumber pendapatan yang sangat penting. Bukan hanya minyaknya, buah dari tumbuhan Zaitun juga dapat dimanfaatkan untuk membuat kosmetik dan sabun. Nahasnya, dalam beberapa tahun terakhir pohon-pohon zaitun milik penduduk Palestina justru rusak akibat ulah pemukim Israel yang menduduki Tepi Barat.
Pada lima bulan pertama tahun 2023, PBB mengungkap bahwa sebanyak 5.000 pohon zaitun rusak. Dan pada tahun-tahun sebelumnya, pemukim Israel juga menyerang warga Palestina saat panen zaitun, yang biasanya jatuh di bulan Oktober dan November. Pada bulan Oktober 2021, pemukim Israel mencabut 900 pohon zaitun dan aprikot, serta mencuri tanaman zaitun di desa Sebastia, sebelah utara Nablus.